Monday, December 15, 2008

RESENSI BUKU

KETERANGAN BUKU
Judul : PSIKOLOGI PERTUMBUHAN
Penulis : MIF Baihaki
Penerbit : PT Remaja Rosdakarya
Cetakan : Pertama, 2008
Halaman : xiv + 261 Halaman
Ukuran : 15.7 x 24 cm
ISBN : 979-629-933-3
Harga : Rp 41.000,00

MENYEBARKAN GAGASAN KESEHATAN MENTAL


Abraham Maslow, seorang pundit psikologi humanistik terkemuka, pernah mengungkapkan bahwa psikologi klasik Freudian dan Pavlovian merupakan pendekatan yang cenderung pesimistik, negatif dan sarat limitasi dalam memahami manusia.

Psikologi dikritik terlalu mendedikasikan diri pada eksplanasi berbagai penyakit mental, dibanding mengembangkan kesehatan mental (personal wellness). Kritik ini kemudian diterjemahkan oleh beberapa pakar psikologi humanistik awal, semisal Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Victor E Frankl, dengan mengisi bagian psikologi yang sehat.

Mereka mengembangkan suatu teori dan praksis psikologi baru yang lebih positif mengenai manusia, nilai-nilai tertinggi, cita-cita, pertumbuhan dan aktualisasi potensi manusia. Ketika sains klasik menyumbang postulat dan penemuan fisik untuk memahami dunia materi, maka psikologi model ini mencoba menggali dimensi-dimensi positif, aspek kekuatan dan kebaikan dalam struktur dan dinamika mental manusia yang kompleks. Termasuk menelaah manifestasinya dalam perilaku manusia dan pengembangan masyarakat.

Pada era psikologi posmodern ini, pendekatan kesehatan mental ini berkembang jauh lebih kompleks. Bukan sekedar humanistik, tapi juga psikologi positif, transpersonal, psikologi eksistensial, dan juga psikologi pertumbuhan.

Life of Affiliation
Meski belum menjadi pendekatan utama, psikologi pertumbuhan juga memiliki peran signifikan bagi pengembangan kesehatan mental manusia dan masyarakat. Psikologi pertumbuhan tidak semata berbicara mengenai pertumbuhan fisik manusia, tapi juga struktur kepribadian dan set mental yang dapat mendorong manusia menuju keadaan nyaman, sehat secara mental, bahagia dan bermakna.

Seperti keyakinan Danah Zohar, ditengah sebagian masyarakat posmodern yang krisis makna ini, berkembangnya pribadi-pribadi yang sehat adalah derivasi dari masyarakat-bangsa yang sehat. Dan buku ini, seperti diharapkan penulisnya, juga memiliki tujuan yang sama; menjadi bagian dari pengembangan kesehatan mental masyarakat (hal vi).

Buku ini sendiri memuat model-model kepribadian sehat yang dikembangkan oleh enam tokoh psikologi yang dikenal luas tidak hanya dikalangan psikologi. Yakni Carl Gustav Jung, Gordon Allport, Erich Fromm, Carl Rogers, Victor E Frankl dan Abraham Maslow. Untuk memperkaya perspektif, juga dimuat model Frederick Perls dari pendekatan psikologi Gestalt.

Masing-masing tokoh diatas, melalui riset-riset tematik mereka, mempostulatkan model kepribadian yang sehat berdasarkan karakteristik dan sifat-sifat yang unik. Walaupun melalui pisau analitik yang berbeda-beda, ada beberapa dimensi yang identik dari ketujuh model tersebut (hal 10). Diantaranya adalah penemuan dan pengembangan diri, serta tanggung jawab terhadap orang lain.

Dimensi tanggung jawab terhadap orang lain ini sangat menarik. Martin Seligman, psikolog dari Universitas Pennsylvania, menyebutnya sebagai ‘life of affiliation’, yakni bagaimana perasaan positif, kenyamanan dan kesehatan mental kita didasarkan pada kontribusi dan perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dibanding eksistensi kita sendiri (seperti orang lain dan masyarakat, alam, organisasi sosial, tradisi dan sistem kepercayaan).

Kesehatan mental salah satunya adalah bergantung pada bagaimana kita mampu memberikan kontribusi positif terhadap kebaikan masyarakat.

Aspek menarik lain dalam buku ini, terutama dari perspektif latar belakang ketujuh tokoh lainnya, MIF Baihaki memasukkan model kepribadian sehat oleh Samsoe Basaroedin, seorang penggiat psikologi islami di lingkungan Masjid Salman ITB, Bandung (hal 228).

Buku ini layak untuk diapresiasi. Terutama karena masyarakat Indonesia masa kini membutuhkan pribadi-pribadi sehat secara mental, yang bukan sekedar hidup (living), tapi juga berusaha mengembangkannya (thriving) dan menyebarluaskan nilai-nilai positif bagi masyarakat.***

PHK & TINGKAH LAKU AGRESI

Semenjak krisis finansial berlangsung pada pertengahan tahun ini, keberlangsungan komunitas buruh menjadi salah satu arus utama perdebatan publik. Seiring dengan ambruknya beberapa sektor industri di negeri ini, komunitas buruh mesti menghadapi kenyataan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara tiba-tiba.

Menurut Hans Timmer, analis ekonomi internasional dari Bank Dunia, krisis finansial saat ini akan menurunkan angka pertumbuhan ekonomi secara global. Penurunan pertumbuhan sekitar satu hingga dua persen dapat membuat industri-industri menurunkan jumlah produksinya, melakukan rasionalisasi tenaga kerja, hingga menghentikan sama sekali produksi mereka.

Dengan situasi resesi ekonomi yang diramalkan masih akan berlangsung hingga tahun depan, prediksi Organisasi Buruh Internasional (ILO) secara tepat menggambarkan kondisi tenaga kerja global saat ini. Berdasarkan analisis ILO, melalui Global Employment Trend (GET) 2008, setidaknya ada dua tren utama sepanjang 2008.

Pertama, angka pengangguran global tahun 2008 akan meningkat sekitar 5 juta orang. Ini disebabkan krisis pasar keuangan dunia dan lonjakan harga minyak mentah. Kedua, ILO juga mencatat penurunan serapan tenaga kerja di level bawah, yakni di sektor pertanian dan industri.

Tren ini, menurut Jeremy Rifkin (The End of Work, 1995), adalah bagian dari siklus global yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, yakni revolusi pertanian, industri, dan kini revolusi sektor jasa dan pengetahuan. Dalam setiap siklus revolusi itu, jenis-jenis pekerjaan “berulang-ulang” dengan keterampilan rendah akan lenyap.

Dampak Psikososial
Masalahnya justru karena sebagian pekerja di negeri ini bergerak di “industri peluh” (sweatshop), yang paling banyak terkena dampak krisis ekonomi global. Akibatnya, jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK akan meningkat secara signifikan.

Mereka yang beruntung masih bekerja, selain terjebak dalam kehidupan murah, juga mesti menghadapi anomali pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan tenaga kerja murah yang melimpah. Penganggur dalam jumlah berlebih saat ini dapat sewaktu-waktu mengganti posisi mereka.

Risiko kehilangan pekerjaan dialami oleh tidak hanya buruh di sektor industri, tapi juga kelas pekerja pada sektor informal yang setidaknya berjumlah sekitar 70,8 persen, dari 107 juta angkatan kerja di negeri ini (Asian Development Bank, 2006).

Peningkatan pengangguran, baik akibat PHK maupun angkatan kerja baru, dapat memicu deret permasalahan sosial baru di masyarakat. Dampak ini bisa terjadi pada level individual, keluarga, hingga masyarakat dan negara.

Dalam perspektif psikologi sosial, salah satu dampak kemiskinan dan pengangguran adalah menciptakan simpul-simpul budaya kekerasan baru. Jay Belsky (Social Psychology, 2000) menegaskan peran penting kemiskinan bagi genealogi kekerasan dalam keluarga. Kerapuhan ekonomi dan kehidupan yang serba kurang memberikan tekanan bagi keluarga, yang kemudian memunculkan rasa frustasi.

Keadaan frustrasi ini, dengan pemicu yang seringkali sederhana, mampu membangkitkan tingkah laku agresi. Objek kekerasannya adalah sesama anggota keluarga, dan seringkali terhadap anak dan istri karena posisinya yang lemah.

Selain itu, dengan kondisi kehidupan yang lebih sulit ke depan, peluang meningkatnya kasus-kasus gangguan mental dalam masyarakat juga makin besar. Rasa frustrasi, dan keseharian hidup yang memberikan stres berlebih, jika tidak dapat dikelola, akan mendorong individu dalam keadaan mental yang tidak menyenangkan. Bentuknya bisa gangguan mental ringan, hingga bunuh diri.

Secara tidak langsung, jumlah pengangguran berlebih juga berpotensi meningkatkan kriminalitas. Fenomena blocked opportunity di kota-kota besar memaksa individu-individu bertahan hidup melalui cara-cara yang melanggar hukum. Kekerasan yang terjadi dalam kasus kriminalitas juga merupakan bentuk rasa frustrasi.

Bagaimanapun, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran merupakan satu dari tujuh penyakit kota, atau urban ills, yang elusif (Wheeler & Beatley, 2004). Ia menjadi derivasi langsung bagi pecahnya komunitas, atau social disorders. Karena, seperti diramalkan Alvin Toffler dalam Future Shock (1998), perpaduan antara kemiskinan dan pengangguran adalah awal dari malapetaka sosial.

Kegelisahan orang-orang tidak bekerja dan masyarakat miskin yang makin frustrasi dapat memunculkan banyak ketidakpuasan. Hal ini bisa berkembang menjadi konflik dan hasrat komunal untuk melakukan perubahan radikal.

Karena itu, pemerintah perlu mengatasi masalah ini dengan ketergesaan dan kesungguhan. Pendekatan ini menjadi penting karena terkadang kemiskinan masih menjadi masalah bisu. Ia baru terlihat ketika orang-orang miskin kelaparan, mati ataupun marah. Kita kerap melihat kemiskinan dan pengangguran dalam angka, dan kurang peduli pada substansi.

Selain dengan mengarahkan prioritas dan kebijakan yang proburuh dan masyarakat miskin, dampak psikososial di atas dapat direduksi melalui penguatan dukungan sosial dalam masyarakat. Keluarga, tokoh masyarakat dan pemimpin, media massa juga sistem pendidikan perlu mentransfer nilai-nilai positif.

Ruang-ruang publik didesain untuk mengkloningkan emosi positif (optimisme, kebahagiaan, kasih sayang) dan sifat-sifat positif (perasaan peduli dan empati, kebajikan, kreativitas, keadilan, keberanian, dan cinta). Seperti keyakinan Martin Seligman, pendiri psikologi positif, nilai-nilai baik tersebut merupakan doktrin mental terpenting bagi keberlangsungan kesehatan mental masyarakat.***

*Juga dipublikasikan di Harian Pagi, Tribun Jabar, 15 Desember 2008

Sunday, December 14, 2008

SUTAN SJAHRIR, THE SMILING DIPLOMAT
























Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu, dan tidak pernah diajar memimpin. Oleh karena itu pemuda tidak berpengetahuan lain. Cara pemuda mengadakan propaganda dan agitasi pada rakyat banyak itu seperti dilihatnya dari Jepang. Sangat menyedihkan keadaan jiwa pemuda kita
(Sutan Sjahrir, dalam Perdjoeangan Kita; 10 November 1945)

Saat banyak pemuda masih terikat dalam organisasi kedaerahan, pada 20 Februari 1927, Sutan Sjahrir termasuk dalam 10 orang penggagas himpunan pemuda nasionalis, atau Jong Indonesie.

Perhimpunan ini lalu dikenal dengan Pemuda Indonesia, yang turut memicu pelaksanaan kongres monumental Pemuda Indonesia dengan introduksi Sumpah Pemuda pada 1928.

Aktivitas politik Sutan Sjahrir diantara kelompok-kelompok pemuda terpelajar membuatnya menjadi politikus terkemuka Indonesia, yang kerap disebut sebagai ‘orang ketiga’ setelah Soekarno dan Hatta.

George McTurnan Kahin, profesor sejarah Cornell University, dalam karya klasiknya Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), menegaskan bahwa Sjahrir adalah tokoh berpengaruh menjelang proklamasi kemerdekaan dan sesudahnya.

Sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, Sjahrir mengarsiteki perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer. Dengan perubahan high politics itu, Indonesia pun menganut sistem multi-partai, sekaligus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Indonesia adalah perjuangan bangsa yang beradab dan demokratis.

Sutan Sjahrir adalah perdana menteri pertama (14 November 1945 - 20 Juni 1947) dan termuda Indonesia. Seorang diplomat yang dijuluki the smiling diplomat oleh wartawan peliput sidang Dewan Keamanan PBB pada medio Agustus 1947.

Meski sangat berjasa, Sjahrir meninggal di pengasingan sebagai tawanan politik pemerintahan Soekarno, di Zurich, Swiss, pada 9 April 1966.

Proletar Pendidik
Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 5 Maret 1909. Sjahrir menempuh pendidikan dasar (ELS) dan menengah (MULO) terbaik di Medan. Bukan sekedar bersekolah, Sjahrir juga memperkaya diri dengan berbagai buku asing dan novel Belanda.

Pada 1926, Sjahrir melanjutkan ke sekolah menengah atas (AMS) di Bandung. Di sekolah itu, Sjahrir bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor.

Hasil pementasan teater itu digunakan untuk membiayai sekolah yang Sjahrir dirikan, yakni Tjahja Volksuniversiteit. Sekolah gratis ini adalah gerakan melek huruf bagi anak-anak miskin.

Selama kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Leiden - Belanda, Sjahrir mendalami sosialisme dalam teori dan praksis. Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat di Belanda, berkisah perihal Sjahrir yang mencari teman-teman radikal dan mengeksplorasi hingga jauh ke kiri.

Sjahrir bahkan sempat bergabung dengan kaum anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme; bertahan hidup secara kolektif dan saling berbagi satu sama lain.

Seperti mahasiswa pergerakkan lainnya, Sjahrir juga aktif di Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin Hatta.

Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di majalah Daulat Rakjat, dan memperluas visi utama pemimpin politik mengenai pendidikan rakyat. ‘Pertama-tama, marilah kita mendidik, yakni memetakan jalan menuju kemerdekaan’.

Pada saat-saat membangun gerakan bawah tanah di masa pendudukan Jepang, Sjahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjuangan Kita adalah manifesto terbesar Sjahrir.

Risalah itu kemudian disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, ‘Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang mempengaruhi Indonesia, dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan’.***

BUNG HATTA, BUKU & PERJUANGAN
















Sesudah itu aku dibawanya ke sebuah toko buku Antiquariaat, di sebelah societeit Harmonie. Di sana tampak oleh Ma’ Etek Ayub tiga buku yang dianggapnya perlu aku baca nanti, yaitu dua jilid buku Staathuishoudkunde karangan NG Pierson, De Socialisten oleh HP Quack, dan buku Bellamy, Het Jaar 2000
(Memoir Mohammad Hatta, 1979. Hal 69)


Saat itu, pada suatu siang di bulan Juli 1919, Mohammad Hatta yang sedang menempuh pendidikan di Prins Hendrik School (Sekolah Dagang Menengah di Batavia), untuk pertamakalinya memiliki buku-buku nonpelajaran, yang dibelikan oleh pamannya, Ma’ Etek Ayub.

Seperti diakui Bung Hatta dalam memoir tersebut, itulah perkenalan pertamanya dengan buku-buku umum, yang sekaligus menjadi dasar bagi perpustakaan pribadinya di masa depan.

Bung Hatta, memang begitu mencintai buku. Sebagai seorang yang dikenal sangat disiplin, Ia terbiasa membaca buku pelajaran pada malam hari, dan membaca buku-buku lainnya untuk memperluas pengetahuan pada sore hari sesudah pukul empat.

Kebiasaan membaca ini senantiasa dijaga Bung Hatta, baik ketika Ia melanjutkan studi ke Rotterdamse Handelshogeschool di negeri Belanda, ataupun ketika Ia menjalani pembuangan di Tanah Merah Digul dan Banda Neira.

Bukan sekedar membaca, Bung Hatta tentu saja gemar membeli buku. Selama kuliah di Rotterdam, Bung Hatta mengadakan perjanjian dengan toko buku terkenal di kota itu, De Westerbookhandel. Perjanjian yang memungkinkannya untuk terus memesan buku hingga jumlah semuanya tidak lebih dari 150 gulden, dengan pembayarannya dapat diangsur 10 gulden setiap bulan.

Bahkan, pada liburan pertamanya di Hamburg, akhir Desember 1921, Bung Hatta memborong puluhan buku teks pada sebuah toko buku bernama Otto Meissner. Buku-buku yang berharga puluhan dan ratusan Mark Jerman tersebut, dapat dibeli dengan harga murah karena Jerman sedang dihantam inflasi hebat. Nilai Gulden Belanda dan Mark Jerman saat itu, seperti 1 berbanding 100.

Tidak heran, setelah menjadi sarjana ekonomi dan pulang ke Indonesia, Bung Hatta membawa serta empat m3 buku, dalam 16 peti besi yang berukuran seperempat m3. Itupun, sebagian lainnya terpaksa ditinggal, dan diberikan untuk teman dekat Bung Hatta di Den Haag; Sumadi dan Rasjid Manggis.

Grand Narratives
Kecintaan Bung Hatta pada buku, dan perhatian besarnya pada pendidikan turut membentuk karakteristik perjuangan yang terus diyakininya, sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.

Bung Hatta mempercayai bahwa pergerakan yang berkarakter diawali oleh kesadaran pendidikan. Akselarasi akan didorong oleh generasi terpelajar, yang mampu menghadirkan organisasi perjuangan dan serangan intelektual terhadap rezim penindas.

Melalui organisasi pergerakannya, Pendidikan Nasional Indonesia, Bung Hatta memberikan kursus-kursus, mendidik kader-kader baru, mengembangkan pola pikir, hingga membentuk budi dan pekerti rakyat.

Dalam setiap kursus kader Pendidikan Nasional Indonesia, bukan agitasi dan gerakan massa yang diajarkan, tapi diarahkan pada analisa serta memecahkan masalah nyata. Kader-kader Pendidikan Nasional Indonesia pun dianjurkan memperluas pengetahuan dan meningkatkan metode-metode analisis yang lebih maju, selain memahami ‘bacaan wajib’ semisal buku Bung Hatta (Indonesia Vrij & Tujuan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia), buku Indonesia Menggugat karya Soekarno, serta majalah Daulat Rakyat.

Bagi Bung Hatta, dan bagi banyak ilmuwan filsafat-politik lainnya, pendidikan adalah kunci pertama bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Proses pendidikan, baik itu formal ataupun informal, dengan visi dan kualitas yang memadai, seyogianya mampu memproduksi sekelompok generasi terpelajar, yang kode genetik utamanya terdiri atas: berpikir kritis (critical thinking), membuat hubungan antar gagasan (making connections between ideas) dan mengetahui bagaimana belajar dengan berkelanjutan (knowing how to keep on learning).

Hal ini sama seperti penuturan Claude Levi-Strauss dalam bukunya, a World on the Wane, mengenai bagaimana pendidikan Prancis mentransfer pola-pola intelektual pada dirinya. Menurut Levi-Strauss, lima tahun di Universitas Sorbonne mengajarinya bentuk latihan mental dalam memecahkan berbagai masalah, layaknya dinamika tesis-antitesis-sintesis.

Dengan demikian, pendidikan bukan sekedar mengkloningkan individu-individu yang selalu merasa tidak puas dan menginginkan perubahan, tapi juga individu yang mampu melihat arah perubahan tersebut, menciptakan proses-prosesnya, dan men-share hasrat kemajuan yang tertanam di dalam dirinya.

Bagaimanapun, produksi ingatan sejarah kita ihwal kehidupan dan perjuangan almarhum Bung Hatta adalah salah satu narasi besar, grand narratives, dari sejarah Indonesia modern. Narasi ini merekam realitas bahwa, awalnya boleh jadi sebuah buku, dan kemudian pendidikan sebagai alat perjuangan pokok demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Karena, sekali lagi, masyarakat yang cerdas (dengan kemampuan berpikir, merasa dan bertindak sesuai tuntutan zaman), akan memiliki kapasitas yang lebih baik dalam mengelola, mengembangkan dan mengorganisasikan kemajuan, sekaligus berdiri diatas kaki sendiri.

Pada akhirnya, layaknya sebuah narasi yang akan dituturkan dan dilestarikan secara terus menerus bagi generasi masa depan, bagian terpenting dari sejarah ini adalah bagaimana kita memaknakannya, dan mem-fungsionalisasikan narasi tersebut sejalan dengan konteks kekinian.***

Friday, December 12, 2008

Thursday, December 11, 2008

SIAPA YANG BERBICARA LEBIH BANYAK?

‘Karena untuk berbicara, orang harus lebih dulu mendengarkan. Belajarlah bicara dengan mendengarkan’ (Jalaludin Rumi)

Inti dari kehidupan adalah berkomunikasi. Berbicara dan mendengarkan adalah bagian esensial dari tindakan komunikasi yang membentuk kehidupan kita. Dengan berkomunikasi, kita berinteraksi dengan orang lain, mengekspresikan apa yang kita inginkan, mencoba memahami apa kebutuhan orang lain, hingga menyatakan eksistensi diri kita di kehidupan ini.

Berbicara adalah kebiasaan intrinsik kita sebagai manusia. Kita pasti mempunyai teman, entah itu pria atau wanita, yang suka sekali berbicara di depan umum, atau di dalam pertemuan-pertemuan publik. Pada era dimana kita dimanjakan untuk berkomunikasi, kita juga kerap melihat sebagian orang bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk ngobrol di telepon, atau berkomunikasi melalui chat rooms.

Menjadi hal yang menarik untuk mengetahui, siapa sih sebenarnya yang lebih banyak berbicara, apakah pria atau wanita? Berdasarkan stereotype, atau generalisasi yang lazim disepakati publik, wanita diyakini dan lebih dianggap banyak berbicara dibanding pria. Wanita, dalam pandangan umum masyarakat, dinilai lebih suka menghabiskan waktu untuk berbicara dan berinteraksi.

Namun demikian, banyak studi yang justru menunjukkan bahwa pria berbicara jauh lebih banyak dibanding wanita. Seperti dalam rapat atau diskusi kelompok yang terdiri atas pria dan wanita. Salah satu riset oleh RG Eakins (1978), memperkuat hipotesis ini.

Melalui pengamatan terhadap tujuh pertemuan di sebuah universitas di Amerika, riset Eakins ini menunjukkan kenyataan bahwa pria lebih sering berbicara dalam jangka waktu yang lama. Bahkan, jangka waktu bicara wanita yang paling lama, masih lebih sebentar dibanding waktu berbicara pria yang terpendek.
Kalau begitu, siapakah yang lebih banyak berbicara?


Publik & Private
Riset Eakins diatas juga mengungkapkan perbedaan yang harus kita pahami dalam komunikasi diantara pria dan wanita. Antara apa yang disebut sebagai public speaking dan private speaking. Pria merasa lebih nyaman melakukan public speaking, sedangkan wanita lebih menyukai melakukan pembicaraan yang bersifat private.

Atau dalam bahasa lain, kita dapat menggunakan istilah repport talk dan rapport talk. Dimana bagi kebanyakan pria, berbicara terutama bermakna untuk mempertahankan kemandirian, dan menjaga status dalam hierarki sosial. Bicara di depan publik adalah ekspresi eksistensi. Sedangkan bagi sebagian besar wanita, bahasa komunikasinya didominasi oleh bahasa rapport (pendekatan).

Maka, tidak mengherankan jika dalam pembicaraan publik dan terbuka, kita lebih sering melihat pria yang banyak berbicara. Di sisi yang berbeda, terutama dalam ruang-ruang pribadi, wanita diidentikkan lebih banyak berbicara dibanding pria.

Bagi pria, berbicara adalah informasi. Sedang bagi wanita, berbicara adalah interaksi, membangun hubungan dan keintiman. Oleh karena itu, ketika pria dikritik, mereka terkadang merasa kompetensinya dipertanyakan. Dan jika kritik dialami oleh wanita, terkadang mereka merasa bahwa hubungan dan keintimannya telah putus. Inilah salah faktor yang membuat wanita dianggap lebih sensitif dalam berkomunikasi, dibanding pria kebanyakan.

Terdapat banyak contoh lain yang memperlihatkan bagaimana pria dan wanita berbicara secara berbeda. Ini karena keduanya hidup, berinteraksi dan bekerja dalam sistem yang berbeda. Masing-masing berbicara dan berkomunikasi dalam suatu genderlect yang berbeda.

Namun, hasil riset diatas juga memberi ruang yang luas bagi perbedaan. Sehingga, kita juga sering melihat contoh-contoh berbeda, dimana ada pria yang suka sekali curhat, dan ada juga wanita yang begitu pandai mengutarakan pendapatnya, bahkan didepan mayoritas pria sekalipun.

Bagaimanapun, satu hal yang juga harus kita pahami adalah: bahwa berbicara, rangkaian kata-kata yang kita ungkapkan, tidak akan bermakna bila tidak ada yang mendengarkan. Untuk itu, seperti kata Rumi diatas, seorang pembicara yang baik adalah (juga) pendengar yang baik.

*Dimuat juga di Harian PIKIRAN RAKYAT, 09 Oktober 2008.

RUANG BELAJAR BERNAMA PENDIDIKAN TINGGI


Sebagian sarjana barat menyebut era informasi yang mulai berkembang sejak dekade 1990an sebagai peradaban ‘high modernity’ (Anthony Giddens, Modernity & Self-Identity; 1991). Suatu peradaban yang menawarkan pilihan tidak terbatas, dengan segala sesuatunya mungkin dilakukan.

Ketidak-terbatasan ini membuat keterandalan kita dalam menghadapi masa depan adalah bergantung pada kemampuan dalam menyerap berbagai konsep baru, menentukan pilihan-pilihan baru, dan belajar serta beradaptasi sepanjang hidup.

Ranah berbagai kemampuan diatas, sebagian besar diperkenalkan dan diinternalisasi semasa pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Ketika pendidikan dasar terkait erat dengan perolehan pengetahuan, maka pendidikan yang lebih tinggi terfokus pada pengembangan kearifan, karakter dan kematangan emosi.

Bagi peradaban yang maju di seluruh dunia, kualitas pendidikan tinggi adalah aset paling strategis. Pendidikan tinggi dipercaya dapat menginspirasi dan memampukan diri kita untuk mencapai potensi dan kemampuan tertinggi. Sehingga kita dapat mengembangkan intelektualitas, memberikan kontribusi secara efektif pada masyarakat, dan sekaligus mencapai prestasi-prestasi individual.

Trivium Plato
Pendidikan tinggi sejatinya merupakan ruang belajar yang memadai bagi transformasi manusia (humanus) menjadi lebih manusiawi (humanior). Dalam tradisi pendidikan tinggi di Jerman, ruang belajar ini mesti diisi dengan kualitas, yang disebut dengan hochschulreife: taraf kematangan, baik intelektual ataupun emosional, agar kita dapat menempuh pendidikan lebih lanjut.

Lanskap kematangan tersebut antara lain berbentuk kemampuan bernalar dan bertutur yang baik. Menurut Romo Drost, seorang pakar pendidikan Indonesia, pendidikan tinggi mengajarkan kemampuan mengendalikan nalar, dan cara berpikir yang kritis. Dimana kita akan mampu membedakan macam-macam konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa perasaan, mengolah generalisasi-generalisasi yang lemah, tidak menerima propaganda sebagai pembuktian, sekaligus mampu menjalankan kritik-diri demi objektivitas.

Kemampuan diatas dapat diperoleh dari suatu model kurikulum yang diinspirasi oleh tulisan filosof Plato, dalam master piece-nya, Republic (375 SM). Model kurikulum yang dikenal luas dengan trivium tersebut terdiri atas: gramatika (tata bahasa), retorika, dan filsafat atau logika.

Dengan gramatika, kita dididik untuk dapat menguasai sarana komunikasi (bahasa) secara memadai. Materi retorika akan membuat kita mampu bertutur secara baik, termasuk didalamnya mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, serta mampu menyesuaikan diri dengan perasaan dan kebutuhan tersebut.

Sedang pembelajaran logika akan melengkapi keterampilan trivium individu, yang memungkinkan individu memiliki kapasitas untuk menyampaikan sesuatu sedemikan rupa sehingga dapat diterima dan dimengerti oleh akal sehat orang lain.

Bagi Plato, model kurikulum dasar ini didesain untuk menyediakan metode-metode dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan esensial lainnya.

Dalam versi postmodern-nya, trivium Plato ini dielaborasikan oleh Partnership for 21st Century Skills menjadi kemampuan kognitif berlevel tinggi, yang disebut portable skill: berpikir kritis (critical thinking), membuat hubungan antar gagasan (making connections between ideas) dan mengetahui bagaimana belajar dengan berkelanjutan (knowing how to keep on learning).

Bagaimanapun, beberapa ahli pendidikan meyakini bahwa di setiap tingkatan lembaga pendidikan juga terdapat suatu kurikulum tersembunyi, yang tidak terkait dengan isi apa yang diajarkan, tetapi lebih mengenai proses dari apa yang sebenarnya terjadi.

Dan pendidikan tinggi, seperti penuturan Claude Levi-Strauss dalam A World on the Wane, lebih banyak mentransfer pola-pola intelektual pada diri kita. Menurut Levi-Strauss, lima tahun di Universitas Sorbonne mengajarinya bentuk latihan mental dalam memecahkan berbagai masalah, layaknya dinamika tesis-antitesis-sintesis.

Tuesday, December 02, 2008

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS DIFABEL

Kode genetik terpenting dalam peradaban global saat ini adalah media informasi. Superioritas media sebagai agen peradaban tercermin dari kapasitasnya dalam membangun opini publik, mengarahkan gaya hidup dan trend pemikiran.

Media dapat menghibur, mengajar, mendidik, sekaligus menyesatkan kita. Tanpa henti, dengan variasi yang tidak pernah berakhir. Seringkali kita mengikuti arus, bereaksi pada isu-isu tertentu akibat stimulus media.

Salah satu produksi persuasif media adalah ritual untuk memperingati hari-hari tertentu. Di bulan Desember ini, salah satu hari yang paling populer adalah 1 Desember, yang lazim diperingati sebagai Hari AIDS internasional.

Dan umumnya, pada sisi yang kontras, kelesuan publisitas mengakibatkan hal-hal tertentu terlupakan. Seperti peringatan Hari Penyandang Cacat Internasional pada tanggal 3 Desember. Banyak diantara kita mungkin tidak mengetahui, atau tahu tapi kurang peduli terhadap eksistensi peringatan ini.

Padahal, bentuk-bentuk ekspresi sosial telah digunakan oleh penyandang cacat, atau belakangan disebut dengan difabel (different ability, bukan disabled ability), di berbagai Negara. Bukan sekedar mengekspresikan eksistensi, komunitas difabel juga berusaha mereduksi paradigma negatif masyarakat terhadap keberadaan mereka.

Ritual peringatan tahunan Hari Penyandang Cacat Internasional, seringkali terinspirasi dan dihubungkan dengan aksi duduk penyandang cacat Amerika Serikat di kantor Federal San Fransisco, sepanjang tahun 1977. Aksi ini merupakan manifestasi pemeliharaan rasa bangga dan solidaritas dalam komunitas difabel.

Masyarakat Kelas Dua
Penyandang cacat terkadang dihakimi sebagai ‘an existence which should not exist’. Mereka merupakan eksistensi yang seharusnya tidak ada. Dan tanpa kita sadari, kelompok difabel ini telah tersub-ordinasi menjadi masyarakat kelas dua. Suatu prototipe masyarakat yang didesain untuk menerima diskriminasi fisik dan non-fisik.

Diskriminasi ini bahkan dilakukan oleh orangtua. Diantaranya dengan mengisolasi anak cacatnya dalam rumah, membatasi relasi sosial anak dengan dunia luar, dan membuatnya tampak tidak berdaya.

Fungsi tradisional keluarga seakan tenggelam ditengah able-bodied culture, sejenis budaya eugenik dalam masyarakat yang memberi label orang cacat sebagai nasib buruk.

Budaya able-bodied ini tercermin dalam kristalisasi nilai-nilai tertentu yang menjadi norma sosial, sebuah penindasan samar yang terlembagakan mengenai habituasi mengasihani diri sendiri, hingga ketergantungan pada rumah, lembaga sosial dan masyarakat.

Budaya able-bodied ini juga memaksa komunitas difabel menempuh pendidikan yang kurang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut sebagai segregasi pendidikan. Pendidikan yang membedakan mereka dengan kaum ‘normal’. Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sejak lama, dan mengasingkan mereka dari lingkungan sosial. Komunitas difabel tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal.

Lebih mencemaskan lagi, ketika anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang baik. Bagaimana mereka dapat berempati dan bersimpati kepada teman mereka yang berkemampuan berbeda, jika mereka sendiri tidak pernah bergaul dengan kelompok difabel ini.

Keadaan masif yang tercipta tentang buruknya posisi komunitas difabel di Indonesia ini juga merupakan produk dari kelambanan sejarah perubahan di negeri ini. Lambannya pemerataan pembangunan, kualitas pendidikan yang mencemaskan, tersendatnya penanggulangan krisis ekonomi dan kemiskinan, ataupun pemberantasan korupsi, membuat fokus terhadap pemberdayaan komunitas difabel merupakan prioritas kesekian dari produk kebijakan-kebijakan publik pemerintah.

Dengan demikian, untuk merangsang perubahan yang lebih progresif, maka upaya mentransformasi contoh-contoh terbaik dalam lanskap gerakan persamaan hak asasi komunitas difabel di berbagai belahan dunia menjadi begitu penting. Salah satu keberhasilan terbaik adalah Independent Living Movement di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 70-an, dan di Jepang sebagai pengikut terbaiknya satu dekade kemudian.

Kemandirian
Independent Living merupakan filosofi gerakan yang terkait dengan penyediaan layanan bagi penyandang cacat berbasis masyarakat. Sebuah sistem berpikir dan cara hidup yang meng-integrasikan kemandirian dan alternatif untuk menjalani kehidupan berlandaskan self-help (menolong diri sendiri).

Pusat-pusat Independent Living di Amerika Serikat dan Jepang umumnya memiliki program semisal peer-counseling (konseling swa-kelompok), pendampingan bagi komunitas difabel, dan pelayanan rumah singgah.

Berbagai program tersebut mentransfer sikap, tingkah laku dan skill sosial yang dibutuhkan komunitas difabel untuk hidup di masyarakat. Kompetensi-kompetensi diatas didapat melalui kelas-kelas peningkatan kepercayaan diri, motivasi untuk hidup, dan proses belajar yang bertujuan memperkuat self esteem dari setiap individu (Tsutsumi & Higuchi, 1998).

Dengan visi besar Independent Living-lah, komunitas difabel di kedua negara maju tersebut menjadi organisasi modern yang cukup mapan, memiliki kapasitas bertahan dan bernegosiasi dengan pemerintah secara memadai.

Penyandang cacat di Amerika dan Jepang telah dapat hidup independen, dengan sarana-sarana publik yang aksesibel bagi mereka. Kemandirian ini sekaligus meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam menikmati hidup. Pencapaian-pencapaian ini tentu saja membutuhkan organisasi gerakan yang kuat dan proses panjang.

Bagaimanapun, peringatan tahunan Hari Penyandang Cacat Internasional ini bukan sekedar sebagai medium sosialisasi bagi gerakan kemandirian komunitas difabel, tetapi juga menjadi embrio berkelanjutan yang mencerahkan kesadaran etis masyarakat.

Kesadaran yang diawali ketika para orang tua tidak lagi malu dan mengurung anaknya yang cacat di rumah, yang ditopang dengan pendataan jumlah individu difabel secara lebih akurat, serta ketika tata ruang publik mencerminkan lingkungan bersahabat yang manusiawi, yang memberikan kemudahan bergerak dan ‘ramah orang cacat’.

Juga ketika kita mulai memandang penyandang cacat dengan lebih baik, mengenalinya dengan komunitas berkemampuan berbeda (different ability), bukan tidak berkemampuan (disabled), serta tidak menjadikannya sebagai manusia eksklusif (yang patut dikasihani).

Yang jauh lebih penting adalah ketika organisasi difabel mengekspresikan apa yang mereka butuhkan, seperti keyakinan yang selama ini mulai dikembangkan: ‘jangan pernah membicarakan hak-hak difabel, tanpa melibatkan kita (penyandang cacat)’.

Pada akhirnya, pertanyaan penting selanjutnya bagi kita adalah mengapa isu tentang komunitas difabel ini penting? Bahkan bagi orang yang tidak cacat sekalipun. Jawabannya mungkin persis sama dengan bagaimana kita seharusnya menyikapi fenomena kemiskinan.

Empati yang dangkal, pengabaian kronis dalam masyarakat terhadap orang-orang yang kurang beruntung misalnya, ataupun tidak adanya energi tersisa untuk memperhatikan hal-hal yang secara pragmatis tidak menguntungkan kita. Ketidak-pedulian sosial ini adalah noda dalam identitas kemanusiaan kita.

Berbagai permasalahan sosial, seperti kemiskinan ataupun eksistensi komunitas dfabel, bukan sekedar beranalogi bagaimana kalau besok kita cacat atau menjadi miskin. Semuanya bisa saja terjadi. Tetapi, yang kita perlukan adalah proses menggugah kesadaran serta mengembangkan masyarakat yang saling menolong, mengaktualisasikan kembali kolektivitas dan struktur keramahan kita, yang ironisnya mulai berkurang belakangan ini. Padahal, menurut keyakinan banyak ahli sosial Eropa, masyarakat yang inklusif adalah berakar dari negara agraris, seperti Indonesia!

Wednesday, October 15, 2008

AKHIR DARI NEOLIBERALISME?

There is no alternative. Inilah pernyataan paling terkenal dari para penganjur demokrasi liberal & ekonomi liberal. Kegagalan masyarakat komunis, masyarakat demokrasi sosial, dan bahkan masyarakat di negara yang menerapkan prinsip kesejahteraan, telah mendorong liberalis pada satu keyakinan: (neo)liberalisme adalah satu-satunya pilihan.

Francis Fukuyama, dalam magnum opus-nya ‘The End of History & the Last Man’ (1992), menilai bahwa neoliberalisme adalah akhir dari sejarah, suatu puncak evolusi dari sistem politik dan ekonomi dunia. Neoliberalisme menjadi tatanan global. Suatu arus utama pemikiran ekonomi dan politik pada zaman kita.

Dengan pandangan fundamentalisme pasar, dipadu prinsip laissez-faire yang berbasis pada filsafat individualisme dan teori Darwinisme Sosial, neoliberalisme telah membiarkan sekelompok kecil pihak swasta mengontrol sebanyak mungkin kehidupan sosial dalam rangka memaksimalkan keuntungan pribadi mereka.

Meskipun mendapat pelbagai tantangan humanis yang tajam, liberalisasi ekonomi dan politik tetap menjadi pendekatan utama yang digunakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia.

Kritik Atas Liberalisasi
Kritik terhadap kapitalisme dan paham liberal adalah fakta lazim, yang sudah dimulai sejak zaman Karl Marx pada abad 19, ketika ilmu ekonomi modern baru saja lahir.

Sekelompok ilmuwan sosial, yang dikenal dengan sebutan Frankfurt Schulle, mengkritik liberalisasi yang tidak mengabdi pada kepentingan praksis-moral (how to run good life), tapi lebih pada pemuasan kebutuhan bagi segelintir masyarakat kaya pemilik modal.
Alih-alih menciptakan masyarakat sipil, liberalisasi sekedar mencetak konsumen. Dan, alih-alih membangun komunitas inklusif, ideologi ini malah mempopulerkan pusat-pusat perbelanjaan.

Dampak sosial-ekonomi dari liberalisasi, dengan doktrin utama survival of the fittest, mengakibatkan dampak yang identik di seluruh dunia. Semakin asimetrinya pembagian kaya-miskin, ketertinggalan yang mencolok diantara negara-negara dan masyarakat termiskin, serta kerusakan akut lingkungan akibat pendekatan ekonomi eksploitatif.

Kritik lain, yang sekarang ini justru menjadi arus utama perdebatan, adalah semakin mudahnya kelompok kaya pemilik modal dalam mendapatkan uang dengan cara-cara yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Dosa sosial berbentuk ‘kekayaan tanpa kerja keras’ inilah, seperti keyakinan Mohandas Gandhi, yang menjadi pemicu dari ketidak-stabilan ekonomi dunia.

Menurut pandangan Joseph E Stiglitz, ekonom AS peraih Nobel Ekonomi 2001, dengan prinsip pasar bebas tanpa regulasi, para pelaku pasar berhasrat untuk meraup keuntungan dengan berinvestasi pada produk-produk spekulatif. Masyarakat kaya dengan uang berlebih, serta para spekulan pasar, telah mengambil keuntungan dari ketidak-stabilan pasar yang sebenarnya kerap direkayasa oleh mereka sendiri.

Keserakahan dan penipuan inilah yang menjadi penyebab krisis kredit perumahan beresiko tinggi (sub-prime mortgage), yang kemudian memicu krisis finansial secara global. Bangkrutnya lembaga investasi raksasa AS, Lehman Brothers dan Washington Mutual pada pertengahan September 2008 lalu misalnya, serta berimbas pada lembaga keuangan di seluruh dunia, telah memaksa pemerintah AS mengeluarkan Paket Dana Penyelamatan (bailed out) senilai 700 miliar USD, atau setara Rp 6500 triliun.

Meski krisis finansial global masih menggoyang kerapuhan perekonomian dunia, terutama perekonomian AS, mayoritas ekonom di seluruh dunia masih menganggap penurunan ekonomi ini hanya terjadi secara melandai, yang disebut dengan resesi. Bukan suatu krisis yang mengarah pada depresi besar, seperti yang terjadi pada tahun 1929 lalu.

Bagaimanapun, saat sekarang begitu banyak orang yang menduga-duga, apakah krisis finansial ini adalah akhir dari liberalisasi yang berpijak pada fundamentalisme pasar? Seperti penafsiran Michel Foucault, setiap masyarakat dalam tiap periode memiliki rezim kebenarannya sendiri-sendiri. Apakah krisis ini adalah akhir dari rezim kebenaran neoliberalisme yang hegemonik itu, masih menjadi misteri apokaliptik bagi kita semua.

Tuesday, April 29, 2008

KEMISKINAN DI SEKITAR KITA

Profesor Muhammad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian 2006 dari Bangladesh, pada bulan Agustus tahun 2007 lalu hadir di Bandung, dan memberikan kuliah umum 'Kredit Kecil Untuk Mengentaskan Kemiskinan' (Micro-credit for Poverty Reduction). Kegiatan di Gedung Merdeka tahun lalu itu juga menjadi bagian dari Dies Natalis Universitas Padjadjaran yang ke 50.

Dalam kuliah umum tersebut, prof Yunus menegaskan bahwa kemiskinan tidak tercipta karena masyarakat miskin itu sendiri, tetapi lebih diakibatkan oleh sistem yang tidak memberikan kesamaan kesempatan bagi semua kalangan untuk bangkit, bekerja dan berkreasi sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Sebagai dosen ekonomi yang sejak tahun 1974 berjuang untuk membangun pilar terpenting perdamaian, yakni pemberantasan kemiskinan, pendapat prof Yunus diatas memang dapat diandalkan.

Seperti diberitakan media massa di seluruh dunia, prof Yunus berusaha mereduksi kemiskinan dengan memberikan akses modal bagi kaum miskin, tanpa jaminan dan collateral (syarat) berbelit-belit. Akses modal ini dikelolanya dalam lembaga kredit, yang kemudian dirubah menjadi bank formal, bernama Bank Grameen.

Sejak berdiri tahun 1983, Bank Grameen, atau Bank Desa dalam bahasa Bengali, telah memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Bank itu kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS, setiap bulan, kepada sekitar 6 juta lebih kaum miskin yang menjadi nasabahnya.

Kemiskinan Di Indonesia

Dengan kemenangan Nobel Perdamaian bagi prof Yunus tersebut, mikrokredit untuk masyarakat miskin menjadi arus utama perhatian. Upayanya menjadi inspirasi, dan menjadi 'model anti tesis kemiskinan yang nyata' dari seorang intelektual kampus.

Mungkin, dengan alasan inilah prof Yunus diundang oleh Universitas Padjadjaran, dan menjadi bagian dari perayaan tahunan berdirinya universitas negeri pertama di Jawa Barat tersebut.

Sebagai institusi publik yang sifat utamanya adalah pengabdian pada masyarakat, dan terutama karena perannya sebagai jantung penggerak peradaban, setiap perguruan tinggi dituntut untuk lebih memainkan peran strategisnya dalam menerapkan visi pro bono humani generis (for the good of human kind) di masyarakat di sekitarnya.

Kebaikan visi pro bono itu, antara lain adalah memproduksi dan mengimplementasikan berbagai anti-tesis bagi salah satu masalah utama masyarakat di seluruh wilayah di Indonesia, yakni pengangguran dan kemiskinan. Karena, meski pertumbuhan ekonomi makro Indonesia cenderung mengalami kenaikan dalam tahun-tahun terakhir, angka kemiskinan dan pengangguran ironisnya tidak mengalami perubahan berarti.

Program-program baru semisal Program Bantuan Tunai Langsung dalam skala nasional, atau program-program berskala lokal semisal Program Peningkatan Kemakmuran (PBPK) yang dijalankan di Kota Bandung, hingga Program Keluarga Harapan (PKH) yang dibagikan kepada 89 ribu keluarga miskin di sekitar 12 kota/kabupaten di Jawa Barat misalnya, masih memerlukan pembuktian keberhasilan jangka-panjangnya dalam mereduksi kemiskinan.

Bagaimanapun, masalah kemiskinan bukan semata terkait dengan penderitaan manusia dan keadilan sosial-ekonomi masyarakat, tapi juga menyangkut perdamaian dan ketidakstabilan. Seperti rekomendasi 30 Rektor PTN/PTS dari seluruh Indonesia, yang dikumpulkan secara khusus oleh Dirjen Potensi Pertahanan – Departemen Pertahanan (20/2/07), bahwa kemiskinan adalah ancaman pertahanan terbesar negeri ini.

Perpaduan antara kemiskinan dan pengangguran, menurut Alvin Toffler dalam Future Shock (1995), adalah awal dari malapetaka sosial. Kegelisahan orang-orang yang tidak bekerja dan masyarakat miskin yang makin tertekan dapat memunculkan banyak ketidakpuasan, dan dapat berkembang menjadi konflik dan hasrat komunal untuk melakukan perubahan radikal.

Peran Perguruan Tinggi

Dengan demikian, pemberantasan kemiskinan sejatinya dilihat dalam perspektif ketergesaan dan kesungguhan. Dimana, pada titik inilah pemberantasan kemiskinan memerlukan daya dukung nyata dari institusi pendidikan (tinggi).

Dalam suatu wawancara di majalah Time (13/10/06), prof Yunus berujar, ‘Kami, profesor universitas semuanya pintar, tetapi kami sama sekali tidak tahu mengenai kemiskinan di sekitar kami. Ketika banyak orang yang sekarat di jalan-jalan karena kelaparan, saya justru sedang mengajarkan teori-teori ekonomi yang elegan’.

Komentar ini adalah semacam gugatan terhadap intelektual ekonomi yang berada dalam menara gading, yang kerap terlalu memuja competitive economics, dan cenderung meremehkan cooperative economics. Karena ekonomi kompetitif, dengan mengagungkan rasio pertumbuhan ekonomi dan mekanisme pasar bebas semata, juga ikut serta melestarikan sistem sosial-ekonomi yang tidak adil bagi masyarakat miskin.

Dari seorang profesor yang bersahaja, kita belajar bahwa usaha mikro (dan koperasi) bukan semata berperan dalam pemberantasan kemiskinan, tapi juga dapat menjadi countervailing power (kekuatan penyeimbang) dalam era globalisasi ini. Kekuatan ini menyebarkan noble principle: menolong diri sendiri untuk mandiri secara bersama-sama (mutual self-help).

Selain menyumbangkan produksi pemikiran dalam pemberantasan kemiskinan, intelektual kampus dapat memberi supervisi, mengarahkan dan membuka ruang-ruang secara kreatif bagi pemberdayaan masyarakat. Intelektual kampus, pada hakikatnya, mesti berada dalam lapisan terdepan untuk menggerakkan tata kehidupan masyarakat menuju keadaan yang lebih adil.

Dari kehadiran prof Yunus di Bandung tersebut, kita belajar bagaimana seorang intelektual kampus berbuat sesuatu yang nyata untuk mewujudkan hasrat pribadinya dalam menghapus kemiskinan di Bangladesh pada tahun 2030 nanti.

Hal ini meninggalkan semacam pertanyaan apokaliptik bagi kita, segenap civitas academica di setiap perguruan tinggi, kapankah kita memicu suatu gerakan, yang berhasrat untuk 'memasukkan kemiskinan dalam museum sejarah kita di masa depan'?***

Thursday, April 24, 2008

EKOLITERASI

BEBERAPA pakar multidisiplin dari berbagai negara berkumpul dalam Intergovernmental Panel on Climate Change of the United Nations. Mereka mencoba menganalisis kemungkinan penyebab rangkaian bencana dalam beberapa tahun terakhir). Sebuah hipotesis kemudian dimunculkan bahwa pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca, dapat memicu perubahan iklim global, menghadirkan gelombang panas, memicu kenaikan permukaan laut, termasuk kekeringan dan banjir yang datang silih berganti.

Perubahan iklim global, bukan semata berdampak pada keseimbangan alam, tetapi juga memiliki trickle down effect yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Entah itu akibat polutan atau penyebaran serangga-serangga pembawa penyakit yang berkembang biak seiring makin panasnya cuaca.

Ancaman luar biasa dari pemanasan global juga demi keberlangsungan bumi di masa depan, membuat upaya-upaya anti-tesis bagi pemanasan global menjadi arus utama perdebatan masyarakat dunia. Kita pun mengenal frasa think globally, act locally, yang menggambarkan kontribusi perbaikan alam di tingkat lokal terhadap keseimbangan global.

Filsafat global

Sebelum Al Gore, salah seorang pengkhotbah pemanasan global terkemuka, menerima hadiah Nobel Perdamaian 2007, tema pemanasan global telah dipotret oleh para pengkritik sosial bertahun-tahun yang lalu.

Buku penting Michael Allaby, Thinking Green: an Anthology of Essential Ecological Writing (1989), manifesto Penny Green & Derek Wall dalam A Green Manifesto for the 1990s (1990), hingga anjuran mencerahkan Marry Mellor melalui karya Breaking the Boundaries: Towards a Feminist Green Socialism (1992), dipercaya sebagai sumber-sumber diskursus awal, yang berupaya mendorong pemanasan global menjadi episentrum pemikiran kritis mengenai pembangunan modern.

Pusat-pusat studi lingkungan berbentuk organisasi intergovernmental, program lingkungan PBB (UNEP), hingga Protokol Kyoto hanyalah rangkaian kampanye untuk menegaskan dukungan politik untuk mereduksi pemanasan global. Gerakan kontra pemanasan global, bukan semata didominasi ilmuwan ataupun politisi, tetapi juga dieksploitasi oleh media dan dunia entertainment melalui gaya mereka yang menghibur. Acara Earth Day Special, film dokumenter an Inconvenient Truth dan The 11th Hour, Arctic Tale hingga The Simpson Movie; berhasil mengangkat tema ramah lingkungan, memperkenalkan istilah carbon-neutral dan hybrid car dalam kualitas estetik yang menyenangkan.

Desain ekologi

Selain menjadikan arus utama perdebatan masyarakat, komunitas-komunitas hijau juga mengampanyekan integrasi antara ideologi kontra pemanasan global dan konsepsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Pembangunan berkelanjutan ini diawali sekelompok masyarakat dengan pemahaman kognitif yang memadai tentang hakikat dan prinsip-prinsip ekologi. Proses meningkatkan pemahaman inilah yang dinamakan ecological literacy atau ecoliteracy.

Ecoliteracy, sebuah paradigma baru yang dipopulerkan oleh Fritjof Capra, bertujuan meningkatkan kesadaran ekologis masyarakat. Ecoliteracy berupaya memperkenalkan dan memperbarui pemahaman masyarakat akan pentingnya kesadaran ekologis global, guna menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopangnya.

Dengan tingkat "melek ekologis`" yang baik, desain-desain dalam berbagai bidang kehidupan juga akan berbasis ekologi. Dengan demikian, setiap bidang kehidupan (eco-economy, eco-farming, eco-management, hingga eco-city) dapat dirancang dengan corak ekologis yang kental. Hal ini membuat ecoliteracy menjadi instrumen yang sangat penting. Terutama, karena kebijakan-kebijakan yang mengintegrasikan pembangunan dan keseimbangan ekologis, hanya akan muncul dari stakeholder yang mengetahui dengan baik nilai-nilai ekologi tersebut. Ecolteracy menjadi amat penting di negeri di mana para pejabat (penguasa) dan pengusaha berkolusi melahirkan kebijakan yang tidak prolingkungan.

@Juga dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, 06 Desember 2007. Dengan judul Ekoliterasi & Kebijakan Pro lingkungan

Sumber digital - http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=3593

MAY DAY, HARINYA KELAS PEKERJA

"Di bidang pertanian, manufaktur dan sektor jasa, mesin akan segera menggantikan tenaga kerja manusia, dan menjanjikan sebuah ekonomi dengan produksi otomatis pada dekade pertengahan abad ke 21. Pergantian total pekerja dengan mesin akan memaksa setiap negara untuk memikirkan kembali peran manusia dalam proses sosial" (Jeremy Rifkin, The End of Work, 1995)


Sebagai penulis futuristik, Jeremy Rifkin merasa perlu untuk memperlihatkan pada kita semua, suatu siklus global yang berhubungan dengan ketenaga-kerjaan: revolusi pertanian, revolusi industri, dan kini bergerak ke arah revolusi sektor jasa dan pengetahuan.

Dalam setiap siklus revolusi tersebut, jenis-jenis pekerjaan ‘berulang-ulang’ dengan keterampilan rendah akan lenyap. Dan industri-industri gelombang baru akan menciptakan lapangan kerja baru, dengan kebutuhan manusia yang memiliki keterampilan lebih kompleks.

Sekarang, di berbagai negara maju, pengembangan nano-tekhnologi akan mengubah secara revolusioner industri manufaktur dalam 25 tahun ke depan. Konsekuensinya, dalam pembicaraan di ruang-ruang direktur perusahaan, topiknya berkisar pada rencana menghasilkan produk dua kali lipat dengan separuh tenaga kerja yang ada.

Dengan demikian, otomatisasi dan efisiensi, menyebabkan berbagai jenis pekerjaan akan hilang.

Blame the Victim

Di Indonesia sendiri, pekerjaan-pekerjaan yang hilang bukan disebabkan oleh otomatisasi, tetapi lebih karena faktor restrukturisasi dan juga bangkrutnya perusahaan akibat perpaduan antara ekonomi biaya tinggi dan dampak linear dari keruntuhan (meltdown) pondasi ekonomi kita pada krisis 1998. Termasuk karena perusahaan-perusahaan multinasional memilih merelokasi investasinya ke negara lain, dengan human resources advantages yang lebih kompetitif, seperti China ataupun Vietnam.

Lebih mencemaskan, ketika buruh (yang dipersepsikan terlalu banyak menuntut) juga dijadikan ‘sasaran tembak’ bagi macetnya investasi asing di Indonesia. Model blame the victim, dengan menyalahkan buruh yang sudah terjepit dalam kehidupan ‘murah’, tentu merupakan prasangka yang terlalu berlebihan.

Karena, menurut kesimpulan Survey Global Competitiveness Report, yang dilakukan World Economic Forum sepanjang 2001-2004 terhadap 4.700 pebisnis senior di 80 negara, investor asing tidak lagi nyaman berinvestasi di Indonesia disebabkan buruknya infrastruktur, perizinan usaha yang memakan waktu, transparansi dan kinerja birokrasi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, serta lemahnya penerapan hukum dan jaminan stabilitas sosial-politik.

Pengakuan para pebisnis senior itu menegaskan bahwa keunggulan komparatif berbentuk ketersediaan pasar dan sumber daya alam, termasuk buruh murah, belumlah memadai untuk menarik minat investor asing. Sebenarnya, yang paling mendesak untuk diperbaiki adalah mereduksi ekonomi biaya tinggi, dan memperbaiki kinerja pemerintah.

Visi Kelas Pekerja

Hari Buruh Internasional, yang dikenal luas dengan istilah Mayday, adalah peringatan yang setiap tahun berusaha memperlihatkan sisi paradoks dari kelas pekerja. Dimana, kehidupan murah para kelas pekerja di berbagai belahan dunia, telah mensubsidi akselarasi dan memberi keuntungan besar bagi perusahaan. Dalam bahasa Marx, kelas pekerja telah memberikan ‘nilai lebih’ berkali-kali lipat bagi para pemilik modal.

Meski tidak semasif tahun lalu, peringatan Hari Buruh di Indonesia pada tahun ini, tetap diwarnai dengan ritual unjuk rasa damai oleh para kelas pekerja di berbagai daerah. Yang umumnya terkonsentrasi pada daerah-daerah industri dan kota besar.

Terlepas dari ritual-ritual kelas pekerja tersebut, Mayday juga dapat dijadikan sebagai refleksi dari dua visi besar Karl Marx mengenai gerakan kelas pekerja: pendidikan dan tindakan.

Karl Marx, filosof Jerman yang banyak menganalisis kehidupan kelas pekerja (dengan langsung hidup di tengah pemukiman kumuh kelas pekerja di kota London) mengungkapkan dua komponen terpenting dari gerakan kelas pekerja. Yakni pendidikan, yang berupaya mencerahkan pengetahuan dan wawasan bagi kelas pekerja, dan tindakan sebagai interpretasi dari filsafat acte (aksi) dari kelas pekerja untuk merubah kondisi ketertindasan mereka.

Selain itu, terutama bagi pemerintah, makna Mayday adalah memikirkan kembali strategi-strategi untuk melindungi dan memperbaiki kesejahteraan kelas pekerja pada tahun-tahun mendatang. Termasuk sebagai pemicu untuk membangkitkan kebijaksanaan pemilik modal dalam berbagi kesejahteraan. Dengan perlahan-lahan mereduksi motif eksploitatif, yang menempatkan kelas pekerja harus menjual tenaga mereka sehari penuh hanya untuk mendapatkan upah yang minimalis. Dan lebih menghargai nilai suatu perkerjaan, dengan memberi upah yang lebih baik.

@Juga dipublikasikan di Harian Banjarmasin Post, 03 Mei 2007

Tuesday, April 22, 2008

KRISIS PANGAN

Kasus gizi buruk kembali merebak di negeri ini. Pemberitaan media massa membantu kita melihat perspektif yang berbeda dari masyarakat Indonesia, yakni kelaparan dan kemiskinan, ditengah kemewahan dan hiruk pikuk kegembiraan yang dipertontonkan di ruang-ruang publik kita.

Terkadang, kita menjadi bingung untuk bersikap. Setelah melihat balita-balita ringkih yang kurang gizi, kita dipaksa untuk menikmati tontonan-tontonan kuliner yang menggugah selera. Seperti lirik satire Iwan Fals, obrolan kita di meja makan tentang mereka yang kelaparan, menggambarkan ironi yang mencemaskan tentang pembagian kaya-miskin di dunia ini.

Kelaparan dan gizi buruk adalah sedikit contoh dari ketidak-berdayaan masyarakat miskin yang diakibatkan oleh sistem yang meminggirkan mereka. Sistem sosial yang didesain untuk mengakomodasi persaingan bebas dan filsafat darwinisme sosial dari Herbert Spencer; biarkanlah yang terkuat hidup, dan yang lemah mati.

Inilah dialektika negatif, yang menindas ribuan (bahkan jutaan) masyarakat miskin sebagai rasionalisasi ‘tumbal sejarah’, demi mendorong standar hidup tinggi dari sedikit masyarakat elite yang sangat makmur.

Sistem ini pula yang membuat banyak negara seperti enggan memproteksi sektor pertanian dalam negeri mereka. Seperti di Indonesia. Meski harga pangan melonjak, petani-petani di Indonesia tidak mendapatkan perubahan berarti. Atau, meski Menteri Pertanian mengklaim produksi beras nasional tahun ini surplus 1.3 juta ton, masih banyak masyarakat miskin yang mengkonsumsi nasi aking hingga mati kelaparan. Begitu sulit bagi kita untuk menjelaskan realitas paradoks ini.

Kerusuhan Sosial

Kelaparan akibat krisis pangan juga menjadi isu global. Pertemuan ke-13 Badan Pangan & Pertanian Dunia (FAO) yang berlangsung di Brazil, 14 hingga 18 April 2008 ini, menyoroti krisis pangan yang terjadi di banyak belahan dunia.

Direktur Jendral FAO, Jacques Diouf, bahkan menegaskan bahwa persediaan pangan dunia saat ini berada dalam tahapan kritis. Stok pangan global tahun ini lebih rendah lima persen dibanding tahun lalu, atau terendah dalam 20 tahun terakhir.

Krisis ini disebabkan oleh makin meningkatnya kebutuhan pangan di sejumlah negara. Namun, pada saat bersamaan, produksi pangan mengalami penurunan akibat perubahan iklim global dan bencana yang dating silih berganti. Konsekuensinya, stok pangan mengalami krisis, dan memicu kenaikan harga pangan.

Keadaan ini semakin diperkeruh dengan sikap para spekulan pasar, yang justru dikembang-biakkan oleh liberalisasi sistem sosial-politik-ekonomi yang dianut oleh banyak negara. Keterbatasan produksi pangan dan kenaikan harga pangan, yang terjadi secara global, pada akhirnya mengancam jutaan penduduk. Terutama di negara-negara yang penduduknya mayoritas berpendapatan kurang dari satu dollar per hari.

Dari pengalaman sejarah, minimnya sumber daya energi telah memicu banyak peperangan di dunia ini. Dan minimnya stok pangan global, serta lonjakan harga pangan, dapat mendorong masalah sosial serupa. Dimana masyarakat miskin yang kelaparan, bukan sekedar berpotensi memicu kerusuhan sosial, tapi juga peperangan dan perubahan sosial yang radikal.

Kerusuhan sosial karena krisis pangan yang dicemaskan oleh FAO bukan sekedar isapan jempol semata. Atau wishful thinking dari pakar-pakar sosial yang paranoid. Kerusuhan model ini sudah terjadi di negara-negara pengekspor beras. Seperti di Bangladesh (12/04) dan Haiti (13/04) pada bulan ini, yang dipicu oleh aksi protes masyarakat terhadap kenaikan beras dan bahan bakar minyak dalam persentase yang begitu memberatkan.

Saat sekarang, realitas apokaliptikal bagi kita hanyalah menunggu saat-saat dimana masyarakat miskin di Indonesia yang kelaparan, berhenti bersikap pasrah dan menerima detik-detik kematian mereka. Saat dimana masyarakat miskin mulai memprotes sistem sosial yang meminggirkan mereka dan mendorong suatu perubahan sosial

Perubahan yang, mungkin, memaksa pengambil kebijakan bekerja dengan kesungguhan dan ketergesaan, dalam mereduksi kemiskinan dan kematian yang diakibatkan olehnya.***

Juga dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 16 April 2008

The Forgotten Half

“Bukan hanya kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk percaya akan diri kita sendiri” (Chicken Soup for the College Soul, 2000; 31)


Dalam beberapa hari ke depan, sebagian dari kita, yakni teman-teman di sekolah menengah atas, akan menghadapi tahap terpenting dalam masa pendidikan menengah atas mereka: ujian akhir nasional dan ujian masuk perguruan tinggi.

Kedua ujian diatas bukan hanya mengukur sejauh mana kita berhasil, dan mampu mencerna pelajaran semasa sekolah (yang dikonversi dalam standar angka-angka tertentu, yang terkadang bisa membuat kita merasa tertekan). Tapi juga akan menentukan dimana kita akan berada nantinya, yang tentunya akan berpengaruh pada bagaimana pencapaian kita di masa depan.

Masa-masa sekolah tentu masa yang menyenangkan. Dan kita pasti berharap meninggalkan sekolah dengan hasil yang menyenangkan pula. Ujian yang berjalan lancar, kelulusan dengan hasil memuaskan, dan dapat menjadi bagian dari universitas terbaik yang kita impikan.

Lalu, sebagaimana yang sering dipertanyakan banyak orang, mengapa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi menjadi sesuatu yang dibutuhkan? Jawaban untuk hal ini memang beragam.

Banyak kalangan mempercayai bahwa arti pendidikan tinggi bukan semata menjamin diperolehnya pengetahuan dan keterampilan yang lebih memadai. Tapi juga membuka kesempatan untuk bertahan, bersaing, dan meningkatkan taraf hidup ditengah persaingan (ekonomi) global yang makin ketat.

Selain keyakinan diatas, ada gejala menarik dari penelitian Commission on Work, Family & Citizenship di Amerika Serikat yang bisa kita jadikan petunjuk. Melalui penelitian di beberapa negara bagian Amerika sepanjang tahun 1990-an, Komisi ini menemukan suatu the forgotten half.

The forgotten half adalah suatu kelompok masyarakat yang tidak bekerja, atau hanya memiliki pendapatan yang kurang memuaskan, dengan kehidupan ekonomi relatif buruk dan selalu dibayangi kemiskinan. Yang cukup mengejutkan dari penelitian diatas, the forgotten half ini mayoritas dihuni oleh orang-orang yang tidak sempat mengecap pendidikan tinggi.

Meski penelitian ini dilakukan di benua Amerika, generalisasi lintas wilayah dari penelitian ini dapat diandalkan (Social Psychology, 1999). Hal ini berarti penemuan-penemuan tersebut cukup memadai untuk dapat diterapkan pada negara-negara dengan budaya yang berbeda, termasuk di Indonesia.

Temuan diatas bukanlah untuk menakut-nakuti masyarakat yang tidak mendapatkan akses pendidikan tinggi. Melainkan sebagai tantangan terbesar bagi masyarakat, dan juga bagi kita sendiri. Apakah nanti akan menjadi bagian dari the forgotten half itu, atau termasuk dalam kelompok yang memiliki kapasitas untuk bersaing dalam perkampungan global masa depan yang sangat kompetitif.

Menurut Bill Gates, pendiri Microsoft dalam buku futuristiknya The Road Ahead (1995), dalam dunia yang berubah secara cepat ini, orang-orang dengan pendidikan yang lebih tinggi biasanya dapat beradaptasi, sekaligus dapat merespon perubahan itu dengan cara-cara yang lebih baik.

Oleh karena itu, pendidikan yang lebih tinggi, dari sudut pandang manapun, merupakan asset strategis bagi eksistensi kita di masa depan. Kenyataan ini membuat peluang berkuliah di tempat terbaik adalah modal yang sangat berharga dan patut untuk diperjuangkan.

Harus kita percayai, bahwa modal pendidikan ini akan banyak memberi kita perbedaan dalam berpikir, merasa dan bertindak serta menyesuaikan diri dengan kemajuan peradaban.

Meski, kita juga memahami, bahwa hal ini bukanlah satu-satunya ukuran mutlak bagi kesuksesan kita di masa mendatang.

Meramal Masa Depan

Kita juga pasti sepakat, bahwa diperlukan kerja keras untuk membuat mimpi berkuliah (dan juga mimpi-mimpi lainnya) menjadi kenyataan. Seperti sebuah pepatah bijak: hidup ini merupakan tempat yang netral. Hidup tidak lebih dari rangkaian kesempatan dan pilihan.

Segala yang kita raih (kesuksesan, kegagalan, kebahagiaan dan kesedihan, prestasi ataupun mimpi buruk) adalah bergantung pada pilihan, kemauan dan usaha kita sendiri.

Perjuangan menciptakan masa depan ini tentu telah diawali oleh teman-teman pelajar bertahun-tahun yang lalu, dengan menghabiskan sebagian besar waktu untuk belajar, mengikuti les tambahan dan juga berdoa.

Perjuangan diatas akan terus ditumbuh-kembangkan oleh rasa optimis. Menjadi pribadi yang optimistik sangatlah penting, karena akan membawa kita pada keadaan emosi positif, yang nantinya dapat memperbanyak produksi zat endorfin dalam otak kita. Dimana, zat ini akan memicu peningkatan aliran neurotransmitter, dan memungkinkan otak kita bekerja serta berfungsi secara lebih efisien.

Kebiasaan untuk selalu berpikir positif dan melakukan yang terbaik, adalah satu langkah maju dalam membangun keunggulan pribadi kita. Menurut Aristoteles, filosof paling terkenal dari Yunani, ‘kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang’. Karena itu, keunggulan bukanlah suatu perbuatan atau bakat turunan, melainkan suatu kebiasaan.

Pada akhirnya, banyak rumus-rumus kemajuan diluar sana yang bisa kita jadikan prinsip hidup, atau sekedar diingat sebagai ungkapan penyemangat yang akan mengerakkan energi dan hasrat kita dalam melakukan berbagai hal dengan cara-cara terbaik. Salah satunya seperti yang dikatakan Alan Kay, seorang praktisi pendidikan terkemuka di Amerika, bahwa satu-satunya cara untuk meramal masa depan, adalah dengan menciptakannya. Jadi, teruslah berjuang, demi menghindarkan diri dari kelompok setengah yang terlupakan itu, the forgotten half.***

Juga dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 11 April 2008.

Friday, April 04, 2008

RESENSI

HARI-HARI TERAKHIR ‘TEOLOG PEMBEBAS’

Narasi sejarah merupakan bentuk terbaik dari filsafat perubahan. Dengan obsesi perubahan inilah, maka bermunculan begitu banyak revolusi dalam sejarah bangsa-bangsa. Salah satu icon revolusi, terutama di Amerika Latin, adalah Ernesto 'Che' Guevara.

Dimana Che Guevara terlibat dalam perjuangan revolusioner melawan imperialisme di Guatemala, Kuba dan Bolivia, serta sekaligus men-tasbihkannya sebagai legenda. Minimal bagi yang menggunakan figur Che sebagai simbol perlawanan.

Buku ini adalah potongan terpenting dari kehidupan Che Guevara. Yang bersumber dari catatan harian Che sejak 7 November 1966 sampai 7 Oktober 1967, rentang waktu ketika Che menggerakkan gerilya di Bolivia sampai menjelang penangkapannya di jurang Yuro pada tanggal 8 Oktober 1967.

Menurut Fidel Castro, catatan milik Che ini bukan sengaja ditulis untuk dipublikasikan. Melainkan untuk panduan dalam evaluasi berkala terhadap segala kejadian, situasi dan orang-orang yang terlibat di Bolivia. Namun, demi kebaikan sejarah, maka transkrip ini kemudian diterbitkan, bahkan dengan jaminan keotentikan dari Castro sendiri.

Sebagai teman baik, Castro tidak hanya memuji kebiasaan Che menulis pengamatan sehari-harinya dalam situasi yang sulit. Tapi, Castro juga membela keputusan Che yang lebih memilih terjun dalam perjuangan bersenjata di Bolivia, dibanding menikmati kemenangan revolusi pembebasan Kuba yang diikutinya.

Che, yang banyak mempelajari Marxisme selama perjalanannya mengelilingi Amerika Latin, memang lebih tertarik menyebarkan pesan pembebasan secara langsung dalam perang gerilya, yang disebutnya sebagai upaya 'internasionalisme proletarian sejati'.

Catatan harian Che Guevara ini menceritakan rangkaian perjuangannya di Bolivia: proses kedatangannya pada 7 November 1966 di Nacahuza, organisasi perjuangannya, kontak senjata dengan tentara Bolivia, perjalanan yang berat, berbagai kesukaran dari alam dan serangan penyakit, kelaparan, perpecahan, hingga malam terakhir sebelum penangkapannya. Semuanya ditulis dari sudut pandang Che sendiri.

Che, anak pertama dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan Celia de la Serna yang terlahir pada 14 Juni 1928, benar-benar mempersiapkan kelompok gerilyanya secara sistematis, termasuk dengan melakukan analisis bulanan. Sebuah metode yang menegaskan kemampuan diagnosa intelektualnya -sesuatu yang memang harus dimiliki Che sebagai seorang dokter.

Che juga menulis berbagai pengalaman dengan selera humor latino. Seperti kesenangannya akan panorama Bolivia yang indah, perayaan ulang tahun kawan-kawan seperjuangan hingga pertemuannya dengan serangga baru yang menyebalkan.

Sebagai manusia biasa, Che banyak menuliskan kegelisahan hatinya karena semakin terdesak di areal pegunungan setinggi 2000 meter. Yang bertambah cemas ketika kawan-kawannya gugur satu persatu, merasa bersalah jika penyakit asmanya kambuh dan menghambat mobilitas, serta tetap menulis detik-detik terakhir hidupnya melalui penuturan manusiawi.

Secara keseluruhan, buku ini semestinya menjadi sangat penting dalam memotret figur Che. Terutama untuk melengkapi buku-buku teks mengenai pemikiran Che yang telah ada selama ini. Kelebihannya bukan semata terletak pada tingkat ke-detailan tinggi dan analisis bulanan dari catatan harian Che ini -yang memberi kita kesempatan untuk menghayati dan membayangkan ruang pergerakan Che berpuluh tahun yang lalu di belantara Bolivia-. Tapi, juga karena kerja keras yang melelahkan dari istri dan rekannya, Aleida March de Guevara, dalam menguraikan tulisan yang kecil dan sulit menjadi sebuah buku.

Buku yang memperlihatkan sisi lain dari figur pejuang dunia ketiga, yang men-'darahdaging'-kan ide revolusioner dalam dirinya, dan yang berniat menjadikan perang gerilya di Bolivia sebagai sekolah tempur bagi berbagai kelompok revolusioner di Asia, Afrika dan Amerika Latin sendiri.

Hasta la Victoria Siempre!