Monday, December 15, 2008

PHK & TINGKAH LAKU AGRESI

Semenjak krisis finansial berlangsung pada pertengahan tahun ini, keberlangsungan komunitas buruh menjadi salah satu arus utama perdebatan publik. Seiring dengan ambruknya beberapa sektor industri di negeri ini, komunitas buruh mesti menghadapi kenyataan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara tiba-tiba.

Menurut Hans Timmer, analis ekonomi internasional dari Bank Dunia, krisis finansial saat ini akan menurunkan angka pertumbuhan ekonomi secara global. Penurunan pertumbuhan sekitar satu hingga dua persen dapat membuat industri-industri menurunkan jumlah produksinya, melakukan rasionalisasi tenaga kerja, hingga menghentikan sama sekali produksi mereka.

Dengan situasi resesi ekonomi yang diramalkan masih akan berlangsung hingga tahun depan, prediksi Organisasi Buruh Internasional (ILO) secara tepat menggambarkan kondisi tenaga kerja global saat ini. Berdasarkan analisis ILO, melalui Global Employment Trend (GET) 2008, setidaknya ada dua tren utama sepanjang 2008.

Pertama, angka pengangguran global tahun 2008 akan meningkat sekitar 5 juta orang. Ini disebabkan krisis pasar keuangan dunia dan lonjakan harga minyak mentah. Kedua, ILO juga mencatat penurunan serapan tenaga kerja di level bawah, yakni di sektor pertanian dan industri.

Tren ini, menurut Jeremy Rifkin (The End of Work, 1995), adalah bagian dari siklus global yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, yakni revolusi pertanian, industri, dan kini revolusi sektor jasa dan pengetahuan. Dalam setiap siklus revolusi itu, jenis-jenis pekerjaan “berulang-ulang” dengan keterampilan rendah akan lenyap.

Dampak Psikososial
Masalahnya justru karena sebagian pekerja di negeri ini bergerak di “industri peluh” (sweatshop), yang paling banyak terkena dampak krisis ekonomi global. Akibatnya, jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK akan meningkat secara signifikan.

Mereka yang beruntung masih bekerja, selain terjebak dalam kehidupan murah, juga mesti menghadapi anomali pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan tenaga kerja murah yang melimpah. Penganggur dalam jumlah berlebih saat ini dapat sewaktu-waktu mengganti posisi mereka.

Risiko kehilangan pekerjaan dialami oleh tidak hanya buruh di sektor industri, tapi juga kelas pekerja pada sektor informal yang setidaknya berjumlah sekitar 70,8 persen, dari 107 juta angkatan kerja di negeri ini (Asian Development Bank, 2006).

Peningkatan pengangguran, baik akibat PHK maupun angkatan kerja baru, dapat memicu deret permasalahan sosial baru di masyarakat. Dampak ini bisa terjadi pada level individual, keluarga, hingga masyarakat dan negara.

Dalam perspektif psikologi sosial, salah satu dampak kemiskinan dan pengangguran adalah menciptakan simpul-simpul budaya kekerasan baru. Jay Belsky (Social Psychology, 2000) menegaskan peran penting kemiskinan bagi genealogi kekerasan dalam keluarga. Kerapuhan ekonomi dan kehidupan yang serba kurang memberikan tekanan bagi keluarga, yang kemudian memunculkan rasa frustasi.

Keadaan frustrasi ini, dengan pemicu yang seringkali sederhana, mampu membangkitkan tingkah laku agresi. Objek kekerasannya adalah sesama anggota keluarga, dan seringkali terhadap anak dan istri karena posisinya yang lemah.

Selain itu, dengan kondisi kehidupan yang lebih sulit ke depan, peluang meningkatnya kasus-kasus gangguan mental dalam masyarakat juga makin besar. Rasa frustrasi, dan keseharian hidup yang memberikan stres berlebih, jika tidak dapat dikelola, akan mendorong individu dalam keadaan mental yang tidak menyenangkan. Bentuknya bisa gangguan mental ringan, hingga bunuh diri.

Secara tidak langsung, jumlah pengangguran berlebih juga berpotensi meningkatkan kriminalitas. Fenomena blocked opportunity di kota-kota besar memaksa individu-individu bertahan hidup melalui cara-cara yang melanggar hukum. Kekerasan yang terjadi dalam kasus kriminalitas juga merupakan bentuk rasa frustrasi.

Bagaimanapun, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran merupakan satu dari tujuh penyakit kota, atau urban ills, yang elusif (Wheeler & Beatley, 2004). Ia menjadi derivasi langsung bagi pecahnya komunitas, atau social disorders. Karena, seperti diramalkan Alvin Toffler dalam Future Shock (1998), perpaduan antara kemiskinan dan pengangguran adalah awal dari malapetaka sosial.

Kegelisahan orang-orang tidak bekerja dan masyarakat miskin yang makin frustrasi dapat memunculkan banyak ketidakpuasan. Hal ini bisa berkembang menjadi konflik dan hasrat komunal untuk melakukan perubahan radikal.

Karena itu, pemerintah perlu mengatasi masalah ini dengan ketergesaan dan kesungguhan. Pendekatan ini menjadi penting karena terkadang kemiskinan masih menjadi masalah bisu. Ia baru terlihat ketika orang-orang miskin kelaparan, mati ataupun marah. Kita kerap melihat kemiskinan dan pengangguran dalam angka, dan kurang peduli pada substansi.

Selain dengan mengarahkan prioritas dan kebijakan yang proburuh dan masyarakat miskin, dampak psikososial di atas dapat direduksi melalui penguatan dukungan sosial dalam masyarakat. Keluarga, tokoh masyarakat dan pemimpin, media massa juga sistem pendidikan perlu mentransfer nilai-nilai positif.

Ruang-ruang publik didesain untuk mengkloningkan emosi positif (optimisme, kebahagiaan, kasih sayang) dan sifat-sifat positif (perasaan peduli dan empati, kebajikan, kreativitas, keadilan, keberanian, dan cinta). Seperti keyakinan Martin Seligman, pendiri psikologi positif, nilai-nilai baik tersebut merupakan doktrin mental terpenting bagi keberlangsungan kesehatan mental masyarakat.***

*Juga dipublikasikan di Harian Pagi, Tribun Jabar, 15 Desember 2008

No comments: