Sunday, December 14, 2008

SUTAN SJAHRIR, THE SMILING DIPLOMAT
























Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu, dan tidak pernah diajar memimpin. Oleh karena itu pemuda tidak berpengetahuan lain. Cara pemuda mengadakan propaganda dan agitasi pada rakyat banyak itu seperti dilihatnya dari Jepang. Sangat menyedihkan keadaan jiwa pemuda kita
(Sutan Sjahrir, dalam Perdjoeangan Kita; 10 November 1945)

Saat banyak pemuda masih terikat dalam organisasi kedaerahan, pada 20 Februari 1927, Sutan Sjahrir termasuk dalam 10 orang penggagas himpunan pemuda nasionalis, atau Jong Indonesie.

Perhimpunan ini lalu dikenal dengan Pemuda Indonesia, yang turut memicu pelaksanaan kongres monumental Pemuda Indonesia dengan introduksi Sumpah Pemuda pada 1928.

Aktivitas politik Sutan Sjahrir diantara kelompok-kelompok pemuda terpelajar membuatnya menjadi politikus terkemuka Indonesia, yang kerap disebut sebagai ‘orang ketiga’ setelah Soekarno dan Hatta.

George McTurnan Kahin, profesor sejarah Cornell University, dalam karya klasiknya Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), menegaskan bahwa Sjahrir adalah tokoh berpengaruh menjelang proklamasi kemerdekaan dan sesudahnya.

Sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, Sjahrir mengarsiteki perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer. Dengan perubahan high politics itu, Indonesia pun menganut sistem multi-partai, sekaligus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Indonesia adalah perjuangan bangsa yang beradab dan demokratis.

Sutan Sjahrir adalah perdana menteri pertama (14 November 1945 - 20 Juni 1947) dan termuda Indonesia. Seorang diplomat yang dijuluki the smiling diplomat oleh wartawan peliput sidang Dewan Keamanan PBB pada medio Agustus 1947.

Meski sangat berjasa, Sjahrir meninggal di pengasingan sebagai tawanan politik pemerintahan Soekarno, di Zurich, Swiss, pada 9 April 1966.

Proletar Pendidik
Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 5 Maret 1909. Sjahrir menempuh pendidikan dasar (ELS) dan menengah (MULO) terbaik di Medan. Bukan sekedar bersekolah, Sjahrir juga memperkaya diri dengan berbagai buku asing dan novel Belanda.

Pada 1926, Sjahrir melanjutkan ke sekolah menengah atas (AMS) di Bandung. Di sekolah itu, Sjahrir bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor.

Hasil pementasan teater itu digunakan untuk membiayai sekolah yang Sjahrir dirikan, yakni Tjahja Volksuniversiteit. Sekolah gratis ini adalah gerakan melek huruf bagi anak-anak miskin.

Selama kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Leiden - Belanda, Sjahrir mendalami sosialisme dalam teori dan praksis. Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat di Belanda, berkisah perihal Sjahrir yang mencari teman-teman radikal dan mengeksplorasi hingga jauh ke kiri.

Sjahrir bahkan sempat bergabung dengan kaum anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme; bertahan hidup secara kolektif dan saling berbagi satu sama lain.

Seperti mahasiswa pergerakkan lainnya, Sjahrir juga aktif di Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin Hatta.

Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di majalah Daulat Rakjat, dan memperluas visi utama pemimpin politik mengenai pendidikan rakyat. ‘Pertama-tama, marilah kita mendidik, yakni memetakan jalan menuju kemerdekaan’.

Pada saat-saat membangun gerakan bawah tanah di masa pendudukan Jepang, Sjahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjuangan Kita adalah manifesto terbesar Sjahrir.

Risalah itu kemudian disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, ‘Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang mempengaruhi Indonesia, dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan’.***

No comments: