Thursday, December 11, 2008

RUANG BELAJAR BERNAMA PENDIDIKAN TINGGI


Sebagian sarjana barat menyebut era informasi yang mulai berkembang sejak dekade 1990an sebagai peradaban ‘high modernity’ (Anthony Giddens, Modernity & Self-Identity; 1991). Suatu peradaban yang menawarkan pilihan tidak terbatas, dengan segala sesuatunya mungkin dilakukan.

Ketidak-terbatasan ini membuat keterandalan kita dalam menghadapi masa depan adalah bergantung pada kemampuan dalam menyerap berbagai konsep baru, menentukan pilihan-pilihan baru, dan belajar serta beradaptasi sepanjang hidup.

Ranah berbagai kemampuan diatas, sebagian besar diperkenalkan dan diinternalisasi semasa pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Ketika pendidikan dasar terkait erat dengan perolehan pengetahuan, maka pendidikan yang lebih tinggi terfokus pada pengembangan kearifan, karakter dan kematangan emosi.

Bagi peradaban yang maju di seluruh dunia, kualitas pendidikan tinggi adalah aset paling strategis. Pendidikan tinggi dipercaya dapat menginspirasi dan memampukan diri kita untuk mencapai potensi dan kemampuan tertinggi. Sehingga kita dapat mengembangkan intelektualitas, memberikan kontribusi secara efektif pada masyarakat, dan sekaligus mencapai prestasi-prestasi individual.

Trivium Plato
Pendidikan tinggi sejatinya merupakan ruang belajar yang memadai bagi transformasi manusia (humanus) menjadi lebih manusiawi (humanior). Dalam tradisi pendidikan tinggi di Jerman, ruang belajar ini mesti diisi dengan kualitas, yang disebut dengan hochschulreife: taraf kematangan, baik intelektual ataupun emosional, agar kita dapat menempuh pendidikan lebih lanjut.

Lanskap kematangan tersebut antara lain berbentuk kemampuan bernalar dan bertutur yang baik. Menurut Romo Drost, seorang pakar pendidikan Indonesia, pendidikan tinggi mengajarkan kemampuan mengendalikan nalar, dan cara berpikir yang kritis. Dimana kita akan mampu membedakan macam-macam konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa perasaan, mengolah generalisasi-generalisasi yang lemah, tidak menerima propaganda sebagai pembuktian, sekaligus mampu menjalankan kritik-diri demi objektivitas.

Kemampuan diatas dapat diperoleh dari suatu model kurikulum yang diinspirasi oleh tulisan filosof Plato, dalam master piece-nya, Republic (375 SM). Model kurikulum yang dikenal luas dengan trivium tersebut terdiri atas: gramatika (tata bahasa), retorika, dan filsafat atau logika.

Dengan gramatika, kita dididik untuk dapat menguasai sarana komunikasi (bahasa) secara memadai. Materi retorika akan membuat kita mampu bertutur secara baik, termasuk didalamnya mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, serta mampu menyesuaikan diri dengan perasaan dan kebutuhan tersebut.

Sedang pembelajaran logika akan melengkapi keterampilan trivium individu, yang memungkinkan individu memiliki kapasitas untuk menyampaikan sesuatu sedemikan rupa sehingga dapat diterima dan dimengerti oleh akal sehat orang lain.

Bagi Plato, model kurikulum dasar ini didesain untuk menyediakan metode-metode dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan esensial lainnya.

Dalam versi postmodern-nya, trivium Plato ini dielaborasikan oleh Partnership for 21st Century Skills menjadi kemampuan kognitif berlevel tinggi, yang disebut portable skill: berpikir kritis (critical thinking), membuat hubungan antar gagasan (making connections between ideas) dan mengetahui bagaimana belajar dengan berkelanjutan (knowing how to keep on learning).

Bagaimanapun, beberapa ahli pendidikan meyakini bahwa di setiap tingkatan lembaga pendidikan juga terdapat suatu kurikulum tersembunyi, yang tidak terkait dengan isi apa yang diajarkan, tetapi lebih mengenai proses dari apa yang sebenarnya terjadi.

Dan pendidikan tinggi, seperti penuturan Claude Levi-Strauss dalam A World on the Wane, lebih banyak mentransfer pola-pola intelektual pada diri kita. Menurut Levi-Strauss, lima tahun di Universitas Sorbonne mengajarinya bentuk latihan mental dalam memecahkan berbagai masalah, layaknya dinamika tesis-antitesis-sintesis.

No comments: