Friday, January 18, 2019

CHILDREN IN SUICIDE

“Suppose the sky is empty, and life isn’t having purpose anymore, should we kill ourselves? Should we concede our defeat, and determined this life isn’t reasonably to keep on anymore”. This is a philosophy question which submitted by Kirilov on Les Possédés, an inquiring thought from the absurd character on that Dostoievsky masterpiece.


Suicide is an individual phenomenon, weird and elusive, and also offered a different view about death.
Among realities which place suicide as an extraordinary theme, Albert Camus considered suicide was the only philosophical problem which actually serious. Evaluate whether this life proper to go through or not, was the principle answer about philosophy.

Camus philosophies struggle on revealed suicide at the absurd world provide honestly perspective (and also gladden), that human being have to accept their weird condition.

What all said by Camus, and Kirilov too, was a relevant thing at our present life. Suicide stills a concrete reality, apart from its value philosophical debate. Wherein opportunity for suicide escalation quite large, together with increasing of our life pressure.

Global inclination regarding to our complicated future not only give an extremely space for interpretation of Charles Darwin’s “survival of fittest”, but also possibility of suicidal escalation. Both consequences equally worst.

Nowadays, from television or newspaper at our family room, on previous years when they found their freedom once again, we’re easy accessible to a suicidal news (which as popular as the other criminal news). High acceleration of suicidal statistic is a worrying fact. Moreover, if we’re seeing reality that suicidal victim not only an adult, but also children in school age.

Complex Determinant
Traditionally, suicide was comprehensible as an extreme self-defeating behavior, which majority done by an adult with personal reason. Emile Durkheim research which famously explored about suicidal rate in several Europe countries concludes: functionally, suicide was consequence from slack off social integration, although its determinant has variation and individual intensely.

Social background, added with life pressure, visibly make sense as a dominant reason for adult to commit suicide. Nevertheless, when suicide happen to our child in significant amount, we ought to inquired and pay close attention to this symptom. How children, with their innocence and playful contentment, could do this?

An outcome of Kaoru Yamamoto research toward 1.814 children (in USAAustraliaCanadaEgyptJapan and Philippines) attempted to help us to understand this idiosyncrasy.

Dr Yamamoto, psychologist at University of Colorado in USA, asserted how an embarrassment could bestow a solid blow to children self-esteem and their mental state. The idea when children detected doing something bad, on children mind, will have meaning that they always seem bad. Or, if embarrassed, they thought that they never attain their self-esteem as before again.

Self-image of children shaped continually on a brittle process. As a consequence, children tend to exaggerate something out of proportion. And occasionally, conscience-stricken of children is more fervent than adult.

If we observe child suicide carefully, much case is caused by parent’s lack of ability to fulfill children needs, which finally create a solid blow to a child: an embarrassed sense and inferiority complex among their friends.

These facts, as said by Ann Epstein, psychiatrist at Harvard Medical School in USA, could summarize that the most usual trigger on child suicide is an embarrassing experience.

These explanations not only give a warning that parents doesn’t actually understand about what things which make children feel stress and shattered their self-esteem, decided what happen (and thinking by children) too quick, and often take a hasty decision.

But, these explanations also focus on the family and peer’s effectiveness role, as an early social circle for child. How family and peer running their traditional function to support child development, with produce a warmth and familiarities atmosphere which offer a secure state. These functions could translate as a root of social integration to our society.

Because of that, present families have to carry out more complex responsibilities. They’re demand to supplied a proper life for their children, protected from external jeopardy, and included maintain their sensitivity toward their child mental health.

Social Disintegration?
On the other perspective which still linked, if we believe in what Durkheim done on his research, we have to relate suicidal escalation, whether on child or adult, as an inclination features of weaken social integration to our society.

This hypothesis seems reasonable. On wider scale, we’re metamorphoses at unlimited global village. We’re face with west civilization, which its principal spirits is consumerism, belief in capitalist machine, materialism, and individualisms life style and which related with it: absolute freedom.

Some of that values manifested on our completely apathetic toward anguish and problem of the other. This altruism deficiency afterwards becomes a trigger for social agitation, vertical conflicts, and even suicide. This is a subtle deadly disease on the heart of our society.

However, all sorts of determinant (and also consequence) that mentioned above is only strengthen suicidal phenomenon as a complex psycho-social reality. Because, not only talk about individuals, family and society. But also about education which should have been sharpen society’s emotional state, expand and share values which said by Camus: human beings have to accept a desire which planted inside them wisely. A desire for obtains clarity in the middle of obscurity and excessively uncertainties.

And the important one is an optimal achievement from our government to manage society, and bring prosperity which is evenly distributed through all kinds of improvement programs and sustainable development.
***

METAMORPHO-SELF


Hidup itu netral.
Itulah metafora yang disimpulkan oleh Fred Spencer, penulis buku The Jungle Is Neutral. Spencer adalah tentara Inggris semasa Perang Dunia II pada sebuah garnisun kecil di Singapura. Ia menuliskan pengalaman survive dalam hutan, selama 9 bulan, setelah Inggris kalah di kepulauan itu.
Menurut Spencer, hidup ternyata sama seperti hutan. Hidup tidak ‘berusaha’ menghancurkan, dan tidak pula mendukung kita. Kemampuan bertahan bergantung pada semangat, menggali kemampuan diri dan kemudian memanfaatkannya. Bahkan di medan yang sama sekali belum kita kenali.
Hal ini terjadi karena manusia, dengan neo-korteksnya (perangkat otak berpikir) yang tidak dimiliki oleh mahluk hidup lain di muka bumi ini, mempunyai kapasitas untuk beradaptasi.
Seperti yang dikatakan Robert Ornstein, otak ternyata tidak dirancang pertama-tama untuk berpikir. Tetapi untuk belajar, bereaksi dan beradaptasi demi kelangsungan hidup. Mahakarya ini, yang memiliki kemungkinan hubungan antar sel lebih banyak dari jumlah atom jagat raya, menempatkan manusia sebagai spesies yang superior. Dan masih bertahan hingga saat ini.
Manusia mampu meneliti lingkungannya, membuat sesuatu yang baru, meramalkan masa depan, bahkan memanipulasi kondisi fisik demi tujuan-tujuan tertentu. Intinya, apa yang bisa dipikirkan, maka dapat dilakukan!
Lalu apa hubungan antara hidup yang netral, potensi beradaptasi dengan kita? Kita setidaknya dapat mempertautkan tema ini dengan trend-trend pembicaraan yang sedang hangat saat ini.
Salah satu pilihannya adalah momentum pergantian tahun. Perayaan tahun baru, dengan atau tanpa sense of crisis, tidak semuanya hura-hura, liburan dan pesta, atau kebisingan yang disengaja. Ada juga yang berkhidmat dalam rasa syukur, merefleksikan dan mengevaluasi setiap hal selama setahun yang lalu.
Yang lebih mencerahkan, ada yang menjadikan detik pergantian tahun sebagai deklarasi target-target yang ingin dicapai tahun depan.

Wish of the Year
Alan Kay, eksponen penting di Pusat Riset Palo Alto, pernah mengatakan kalau satu-satunya cara untuk meramal masa depan adalah dengan menciptakannya.
Dan proses lebih awal dari penciptaan adalah perencanaan; inilah bentuk adaptasi sistematik manusia, meskipun seringkali diperkuat oleh keputusan-keputusan intuitif, serta cenderung emosional.
Dalam struktur linguistik Ferdinand Saussure, seorang filosof Prancis yang berusaha me-rekonstruksi pemaknaan atas dunia, terdapat logika oposisi biner untuk setiap konsep. Oposisi untuk terencana adalah proses acak, tidak sistematis atau fleksibel.
 Kita sering mendengar idiom hidup seperti air, mengalir, let it flow dan tanpa rencana. Tetapi, boleh jadi, tidak ada yang benar-benar mengikuti pola hidup tanpa rencana tersebut. Karena setiap manusia pasti memiliki tujuan, disadari atau tidak, baik jangka pendek ataupun panjang.
Dengan adanya tujuan, berarti kita telah melewati salah satu proses dari perencanaan. Sehingga yang ada hanyalah gradasi perencanaan dalam hidup; dari yang tanpa disadari, sampai pada bentuk yang sangat detail.
Jika kita memilih untuk menghadapi hidup apa adanya, mengalir begitu saja, mungkin kita akan
menemui kejutan-kejutan yang tak terbayangkan. Tapi, selaras dengan filosofi air, kita juga bisa terjebak dalam arus yang tidak bisa kita kendalikan.
Untuk itu, tidak ada salahnya untuk punya rencana tahun depan. Lagipula, kita leluasa memilih tingkatan dan caranya.
Rencana yang sederhana, adalah kebebasan kita dalam berimajinasi mengenai apa yang kita inginkan. Pencapaian terbaik seringkali diawali dari khayalan ‘gila’, yang bisa dilakukan sambil mendengar Eine Kleine Nachtmusik-nya Mozart.
Kita bisa mencatatnya dalam daftar 101 keinginan. Wish of the year. Atau mengurainya dalam bidang spesifik, semisal: target akademis, pekerjaan, kegiatan atau keterampilan baru yang harus dicapai, relasi sosial ataupun kehidupan asmara.
Rencana imajinatif seperti ini juga penting, dan dapat membuat kita mengalir mengikuti tujuan ideal kita.
Ada juga media perencanaan yang ber-presisi lebih tinggi. Seperti penggunaan kaidah SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic dan Time Bound), yang mendesain pencapaian tujuan kita dalam langkah terkecil dan dapat diukur.
Semakin kita dewasa, dan semakin kompleks permasalahan yang kita hadapi, membuat perencanaan bertambah rumit dan detail, layaknya sebuah analisis SWOT ataupun penerapan SAP (Strategic Advantages Profile) dalam metode perencanaan strategis.
Kita juga dapat meminta bantuan program komputer, yang secara cerdas membantu kita dalam berpikir linear serta sekuensial.

Metamorphoself
Hebatnya lagi, selain membantu kita mengarahkan hidup, perencanaan setidaknya dapat membawa kita pada keadaan mental yang positif. Karena kesemua proses menempatkan kita pada pengembangan diri yang berkelanjutan.
Manfaat yang terbaik tentu sikap optimis, sikap yang dapat dipelajari oleh siapapun. Rencana kita, atau imajinasi mengenai cetak biru masa depan kita pastilah yang terbaik, sehingga dapat men-stimulasi positive thinking dan sikap optimis, sekaligus meredam negaholics (selalu berpikiran negatif).
Bagi mereka yang merencanakan perubahan revolusioner dalam hidup, menurut Charles Garfield, guru besar Universitas California, berarti menjadi bagian dari manusia-manusia yang berani keluar dari ‘wilayah aman’-nya. Dimana hasrat perubahan ini dapat memicu energi quantum; yakni suatu interaksi potensi dalam diri manusia yang membentuk energi dahsyat, dapat ditularkan pada orang lain, dan berpotensi membawa manusia pada level yang tidak terkira sebelumnya.
Dari hasrat perubahan ini pula, kita berusaha mengenali potensi diri dan memanfaatkannya dengan optimal, seperti cerita Fred Spencer diatas.
Dan sesuai dengan keyakinan Sun Tzu, kita semestinya akan memenangi seribu perang sekalipun dalam hidup, ketika kita sanggup mengenali diri, lingkungan dan musuh-musuh kita.
Masih banyak segi taktis lain yang bermanfaat dari perencanaan. Namun, tetap saja, apakah kita akan mendesain rencana untuk tahun depan atau tidak, adalah sebuah pilihan. Kita yang memilih bagaimana menjalani kehidupan.
Quo vadis 2019, hendak diarahkan kemana kehidupan kita di tahun 2019 nanti? Semuanya bergantung pada kita. Belum terlambat untuk sekedar merencanakan resolusi dan pencapaian-pencapaian kita di tahun depan.
Tanpa obsesi untuk menyimpulkan, perencanaan mungkin adalah bentuk sintesa, atau komplemen dari kenetralan hidup.
Semoga kita semua menjadi person of the year di akhir tahun ini. Minimal bagi diri kita sendiri.
***