Sunday, December 14, 2008

BUNG HATTA, BUKU & PERJUANGAN
















Sesudah itu aku dibawanya ke sebuah toko buku Antiquariaat, di sebelah societeit Harmonie. Di sana tampak oleh Ma’ Etek Ayub tiga buku yang dianggapnya perlu aku baca nanti, yaitu dua jilid buku Staathuishoudkunde karangan NG Pierson, De Socialisten oleh HP Quack, dan buku Bellamy, Het Jaar 2000
(Memoir Mohammad Hatta, 1979. Hal 69)


Saat itu, pada suatu siang di bulan Juli 1919, Mohammad Hatta yang sedang menempuh pendidikan di Prins Hendrik School (Sekolah Dagang Menengah di Batavia), untuk pertamakalinya memiliki buku-buku nonpelajaran, yang dibelikan oleh pamannya, Ma’ Etek Ayub.

Seperti diakui Bung Hatta dalam memoir tersebut, itulah perkenalan pertamanya dengan buku-buku umum, yang sekaligus menjadi dasar bagi perpustakaan pribadinya di masa depan.

Bung Hatta, memang begitu mencintai buku. Sebagai seorang yang dikenal sangat disiplin, Ia terbiasa membaca buku pelajaran pada malam hari, dan membaca buku-buku lainnya untuk memperluas pengetahuan pada sore hari sesudah pukul empat.

Kebiasaan membaca ini senantiasa dijaga Bung Hatta, baik ketika Ia melanjutkan studi ke Rotterdamse Handelshogeschool di negeri Belanda, ataupun ketika Ia menjalani pembuangan di Tanah Merah Digul dan Banda Neira.

Bukan sekedar membaca, Bung Hatta tentu saja gemar membeli buku. Selama kuliah di Rotterdam, Bung Hatta mengadakan perjanjian dengan toko buku terkenal di kota itu, De Westerbookhandel. Perjanjian yang memungkinkannya untuk terus memesan buku hingga jumlah semuanya tidak lebih dari 150 gulden, dengan pembayarannya dapat diangsur 10 gulden setiap bulan.

Bahkan, pada liburan pertamanya di Hamburg, akhir Desember 1921, Bung Hatta memborong puluhan buku teks pada sebuah toko buku bernama Otto Meissner. Buku-buku yang berharga puluhan dan ratusan Mark Jerman tersebut, dapat dibeli dengan harga murah karena Jerman sedang dihantam inflasi hebat. Nilai Gulden Belanda dan Mark Jerman saat itu, seperti 1 berbanding 100.

Tidak heran, setelah menjadi sarjana ekonomi dan pulang ke Indonesia, Bung Hatta membawa serta empat m3 buku, dalam 16 peti besi yang berukuran seperempat m3. Itupun, sebagian lainnya terpaksa ditinggal, dan diberikan untuk teman dekat Bung Hatta di Den Haag; Sumadi dan Rasjid Manggis.

Grand Narratives
Kecintaan Bung Hatta pada buku, dan perhatian besarnya pada pendidikan turut membentuk karakteristik perjuangan yang terus diyakininya, sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.

Bung Hatta mempercayai bahwa pergerakan yang berkarakter diawali oleh kesadaran pendidikan. Akselarasi akan didorong oleh generasi terpelajar, yang mampu menghadirkan organisasi perjuangan dan serangan intelektual terhadap rezim penindas.

Melalui organisasi pergerakannya, Pendidikan Nasional Indonesia, Bung Hatta memberikan kursus-kursus, mendidik kader-kader baru, mengembangkan pola pikir, hingga membentuk budi dan pekerti rakyat.

Dalam setiap kursus kader Pendidikan Nasional Indonesia, bukan agitasi dan gerakan massa yang diajarkan, tapi diarahkan pada analisa serta memecahkan masalah nyata. Kader-kader Pendidikan Nasional Indonesia pun dianjurkan memperluas pengetahuan dan meningkatkan metode-metode analisis yang lebih maju, selain memahami ‘bacaan wajib’ semisal buku Bung Hatta (Indonesia Vrij & Tujuan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia), buku Indonesia Menggugat karya Soekarno, serta majalah Daulat Rakyat.

Bagi Bung Hatta, dan bagi banyak ilmuwan filsafat-politik lainnya, pendidikan adalah kunci pertama bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Proses pendidikan, baik itu formal ataupun informal, dengan visi dan kualitas yang memadai, seyogianya mampu memproduksi sekelompok generasi terpelajar, yang kode genetik utamanya terdiri atas: berpikir kritis (critical thinking), membuat hubungan antar gagasan (making connections between ideas) dan mengetahui bagaimana belajar dengan berkelanjutan (knowing how to keep on learning).

Hal ini sama seperti penuturan Claude Levi-Strauss dalam bukunya, a World on the Wane, mengenai bagaimana pendidikan Prancis mentransfer pola-pola intelektual pada dirinya. Menurut Levi-Strauss, lima tahun di Universitas Sorbonne mengajarinya bentuk latihan mental dalam memecahkan berbagai masalah, layaknya dinamika tesis-antitesis-sintesis.

Dengan demikian, pendidikan bukan sekedar mengkloningkan individu-individu yang selalu merasa tidak puas dan menginginkan perubahan, tapi juga individu yang mampu melihat arah perubahan tersebut, menciptakan proses-prosesnya, dan men-share hasrat kemajuan yang tertanam di dalam dirinya.

Bagaimanapun, produksi ingatan sejarah kita ihwal kehidupan dan perjuangan almarhum Bung Hatta adalah salah satu narasi besar, grand narratives, dari sejarah Indonesia modern. Narasi ini merekam realitas bahwa, awalnya boleh jadi sebuah buku, dan kemudian pendidikan sebagai alat perjuangan pokok demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Karena, sekali lagi, masyarakat yang cerdas (dengan kemampuan berpikir, merasa dan bertindak sesuai tuntutan zaman), akan memiliki kapasitas yang lebih baik dalam mengelola, mengembangkan dan mengorganisasikan kemajuan, sekaligus berdiri diatas kaki sendiri.

Pada akhirnya, layaknya sebuah narasi yang akan dituturkan dan dilestarikan secara terus menerus bagi generasi masa depan, bagian terpenting dari sejarah ini adalah bagaimana kita memaknakannya, dan mem-fungsionalisasikan narasi tersebut sejalan dengan konteks kekinian.***

No comments: