Kasus gizi buruk kembali merebak di negeri ini. Pemberitaan media
Terkadang, kita menjadi bingung untuk bersikap. Setelah melihat balita-balita ringkih yang kurang gizi, kita dipaksa untuk menikmati tontonan-tontonan kuliner yang menggugah selera. Seperti lirik satire Iwan Fals, obrolan kita di meja makan tentang mereka yang kelaparan, menggambarkan ironi yang mencemaskan tentang pembagian kaya-miskin di dunia ini.
Kelaparan dan gizi buruk adalah sedikit contoh dari ketidak-berdayaan masyarakat miskin yang diakibatkan oleh sistem yang meminggirkan mereka. Sistem sosial yang didesain untuk mengakomodasi persaingan bebas dan filsafat darwinisme sosial dari Herbert Spencer; biarkanlah yang terkuat hidup, dan yang lemah mati.
Inilah dialektika negatif, yang menindas ribuan (bahkan jutaan) masyarakat miskin sebagai rasionalisasi ‘tumbal sejarah’, demi mendorong standar hidup tinggi dari sedikit masyarakat elite yang sangat makmur.
Sistem ini pula yang membuat banyak negara seperti enggan memproteksi sektor pertanian dalam negeri mereka. Seperti di Indonesia. Meski harga pangan melonjak, petani-petani di Indonesia tidak mendapatkan perubahan berarti. Atau, meski Menteri Pertanian mengklaim produksi beras nasional tahun ini surplus 1.3 juta ton, masih banyak masyarakat miskin yang mengkonsumsi nasi aking hingga mati kelaparan. Begitu sulit bagi kita untuk menjelaskan realitas paradoks ini.
Kerusuhan Sosial
Kelaparan akibat krisis pangan juga menjadi isu global. Pertemuan ke-13 Badan Pangan & Pertanian Dunia (FAO) yang berlangsung di Brazil, 14 hingga 18 April 2008 ini, menyoroti krisis pangan yang terjadi di banyak belahan dunia.
Direktur Jendral FAO, Jacques Diouf, bahkan menegaskan bahwa persediaan pangan dunia saat ini berada dalam tahapan kritis. Stok pangan global tahun ini lebih rendah
Krisis ini disebabkan oleh makin meningkatnya kebutuhan pangan di sejumlah negara. Namun, pada saat bersamaan, produksi pangan mengalami penurunan akibat perubahan iklim global dan bencana yang dating silih berganti. Konsekuensinya, stok pangan mengalami krisis, dan memicu kenaikan harga pangan.
Keadaan ini semakin diperkeruh dengan sikap para spekulan pasar, yang justru dikembang-biakkan oleh liberalisasi sistem sosial-politik-ekonomi yang dianut oleh banyak negara. Keterbatasan produksi pangan dan kenaikan harga pangan, yang terjadi secara global, pada akhirnya mengancam jutaan penduduk. Terutama di negara-negara yang penduduknya mayoritas berpendapatan kurang dari satu dollar per hari.
Dari pengalaman sejarah, minimnya sumber daya energi telah memicu banyak peperangan di dunia ini. Dan minimnya stok pangan global, serta lonjakan harga pangan, dapat mendorong masalah sosial serupa. Dimana masyarakat miskin yang kelaparan, bukan sekedar berpotensi memicu kerusuhan sosial, tapi juga peperangan dan perubahan sosial yang radikal.
Kerusuhan sosial karena krisis pangan yang dicemaskan oleh FAO bukan sekedar isapan jempol semata. Atau wishful thinking dari pakar-pakar sosial yang paranoid. Kerusuhan model ini sudah terjadi di negara-negara pengekspor beras. Seperti di Bangladesh (12/04) dan
Saat sekarang, realitas apokaliptikal bagi kita hanyalah menunggu saat-saat dimana masyarakat miskin di
Perubahan yang, mungkin, memaksa pengambil kebijakan bekerja dengan kesungguhan dan ketergesaan, dalam mereduksi kemiskinan dan kematian yang diakibatkan olehnya.***
Juga dipublikasikan di Harian Seputar
No comments:
Post a Comment