Tuesday, April 29, 2008

KEMISKINAN DI SEKITAR KITA

Profesor Muhammad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian 2006 dari Bangladesh, pada bulan Agustus tahun 2007 lalu hadir di Bandung, dan memberikan kuliah umum 'Kredit Kecil Untuk Mengentaskan Kemiskinan' (Micro-credit for Poverty Reduction). Kegiatan di Gedung Merdeka tahun lalu itu juga menjadi bagian dari Dies Natalis Universitas Padjadjaran yang ke 50.

Dalam kuliah umum tersebut, prof Yunus menegaskan bahwa kemiskinan tidak tercipta karena masyarakat miskin itu sendiri, tetapi lebih diakibatkan oleh sistem yang tidak memberikan kesamaan kesempatan bagi semua kalangan untuk bangkit, bekerja dan berkreasi sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Sebagai dosen ekonomi yang sejak tahun 1974 berjuang untuk membangun pilar terpenting perdamaian, yakni pemberantasan kemiskinan, pendapat prof Yunus diatas memang dapat diandalkan.

Seperti diberitakan media massa di seluruh dunia, prof Yunus berusaha mereduksi kemiskinan dengan memberikan akses modal bagi kaum miskin, tanpa jaminan dan collateral (syarat) berbelit-belit. Akses modal ini dikelolanya dalam lembaga kredit, yang kemudian dirubah menjadi bank formal, bernama Bank Grameen.

Sejak berdiri tahun 1983, Bank Grameen, atau Bank Desa dalam bahasa Bengali, telah memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Bank itu kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS, setiap bulan, kepada sekitar 6 juta lebih kaum miskin yang menjadi nasabahnya.

Kemiskinan Di Indonesia

Dengan kemenangan Nobel Perdamaian bagi prof Yunus tersebut, mikrokredit untuk masyarakat miskin menjadi arus utama perhatian. Upayanya menjadi inspirasi, dan menjadi 'model anti tesis kemiskinan yang nyata' dari seorang intelektual kampus.

Mungkin, dengan alasan inilah prof Yunus diundang oleh Universitas Padjadjaran, dan menjadi bagian dari perayaan tahunan berdirinya universitas negeri pertama di Jawa Barat tersebut.

Sebagai institusi publik yang sifat utamanya adalah pengabdian pada masyarakat, dan terutama karena perannya sebagai jantung penggerak peradaban, setiap perguruan tinggi dituntut untuk lebih memainkan peran strategisnya dalam menerapkan visi pro bono humani generis (for the good of human kind) di masyarakat di sekitarnya.

Kebaikan visi pro bono itu, antara lain adalah memproduksi dan mengimplementasikan berbagai anti-tesis bagi salah satu masalah utama masyarakat di seluruh wilayah di Indonesia, yakni pengangguran dan kemiskinan. Karena, meski pertumbuhan ekonomi makro Indonesia cenderung mengalami kenaikan dalam tahun-tahun terakhir, angka kemiskinan dan pengangguran ironisnya tidak mengalami perubahan berarti.

Program-program baru semisal Program Bantuan Tunai Langsung dalam skala nasional, atau program-program berskala lokal semisal Program Peningkatan Kemakmuran (PBPK) yang dijalankan di Kota Bandung, hingga Program Keluarga Harapan (PKH) yang dibagikan kepada 89 ribu keluarga miskin di sekitar 12 kota/kabupaten di Jawa Barat misalnya, masih memerlukan pembuktian keberhasilan jangka-panjangnya dalam mereduksi kemiskinan.

Bagaimanapun, masalah kemiskinan bukan semata terkait dengan penderitaan manusia dan keadilan sosial-ekonomi masyarakat, tapi juga menyangkut perdamaian dan ketidakstabilan. Seperti rekomendasi 30 Rektor PTN/PTS dari seluruh Indonesia, yang dikumpulkan secara khusus oleh Dirjen Potensi Pertahanan – Departemen Pertahanan (20/2/07), bahwa kemiskinan adalah ancaman pertahanan terbesar negeri ini.

Perpaduan antara kemiskinan dan pengangguran, menurut Alvin Toffler dalam Future Shock (1995), adalah awal dari malapetaka sosial. Kegelisahan orang-orang yang tidak bekerja dan masyarakat miskin yang makin tertekan dapat memunculkan banyak ketidakpuasan, dan dapat berkembang menjadi konflik dan hasrat komunal untuk melakukan perubahan radikal.

Peran Perguruan Tinggi

Dengan demikian, pemberantasan kemiskinan sejatinya dilihat dalam perspektif ketergesaan dan kesungguhan. Dimana, pada titik inilah pemberantasan kemiskinan memerlukan daya dukung nyata dari institusi pendidikan (tinggi).

Dalam suatu wawancara di majalah Time (13/10/06), prof Yunus berujar, ‘Kami, profesor universitas semuanya pintar, tetapi kami sama sekali tidak tahu mengenai kemiskinan di sekitar kami. Ketika banyak orang yang sekarat di jalan-jalan karena kelaparan, saya justru sedang mengajarkan teori-teori ekonomi yang elegan’.

Komentar ini adalah semacam gugatan terhadap intelektual ekonomi yang berada dalam menara gading, yang kerap terlalu memuja competitive economics, dan cenderung meremehkan cooperative economics. Karena ekonomi kompetitif, dengan mengagungkan rasio pertumbuhan ekonomi dan mekanisme pasar bebas semata, juga ikut serta melestarikan sistem sosial-ekonomi yang tidak adil bagi masyarakat miskin.

Dari seorang profesor yang bersahaja, kita belajar bahwa usaha mikro (dan koperasi) bukan semata berperan dalam pemberantasan kemiskinan, tapi juga dapat menjadi countervailing power (kekuatan penyeimbang) dalam era globalisasi ini. Kekuatan ini menyebarkan noble principle: menolong diri sendiri untuk mandiri secara bersama-sama (mutual self-help).

Selain menyumbangkan produksi pemikiran dalam pemberantasan kemiskinan, intelektual kampus dapat memberi supervisi, mengarahkan dan membuka ruang-ruang secara kreatif bagi pemberdayaan masyarakat. Intelektual kampus, pada hakikatnya, mesti berada dalam lapisan terdepan untuk menggerakkan tata kehidupan masyarakat menuju keadaan yang lebih adil.

Dari kehadiran prof Yunus di Bandung tersebut, kita belajar bagaimana seorang intelektual kampus berbuat sesuatu yang nyata untuk mewujudkan hasrat pribadinya dalam menghapus kemiskinan di Bangladesh pada tahun 2030 nanti.

Hal ini meninggalkan semacam pertanyaan apokaliptik bagi kita, segenap civitas academica di setiap perguruan tinggi, kapankah kita memicu suatu gerakan, yang berhasrat untuk 'memasukkan kemiskinan dalam museum sejarah kita di masa depan'?***

No comments: