Thursday, April 24, 2008

MAY DAY, HARINYA KELAS PEKERJA

"Di bidang pertanian, manufaktur dan sektor jasa, mesin akan segera menggantikan tenaga kerja manusia, dan menjanjikan sebuah ekonomi dengan produksi otomatis pada dekade pertengahan abad ke 21. Pergantian total pekerja dengan mesin akan memaksa setiap negara untuk memikirkan kembali peran manusia dalam proses sosial" (Jeremy Rifkin, The End of Work, 1995)


Sebagai penulis futuristik, Jeremy Rifkin merasa perlu untuk memperlihatkan pada kita semua, suatu siklus global yang berhubungan dengan ketenaga-kerjaan: revolusi pertanian, revolusi industri, dan kini bergerak ke arah revolusi sektor jasa dan pengetahuan.

Dalam setiap siklus revolusi tersebut, jenis-jenis pekerjaan ‘berulang-ulang’ dengan keterampilan rendah akan lenyap. Dan industri-industri gelombang baru akan menciptakan lapangan kerja baru, dengan kebutuhan manusia yang memiliki keterampilan lebih kompleks.

Sekarang, di berbagai negara maju, pengembangan nano-tekhnologi akan mengubah secara revolusioner industri manufaktur dalam 25 tahun ke depan. Konsekuensinya, dalam pembicaraan di ruang-ruang direktur perusahaan, topiknya berkisar pada rencana menghasilkan produk dua kali lipat dengan separuh tenaga kerja yang ada.

Dengan demikian, otomatisasi dan efisiensi, menyebabkan berbagai jenis pekerjaan akan hilang.

Blame the Victim

Di Indonesia sendiri, pekerjaan-pekerjaan yang hilang bukan disebabkan oleh otomatisasi, tetapi lebih karena faktor restrukturisasi dan juga bangkrutnya perusahaan akibat perpaduan antara ekonomi biaya tinggi dan dampak linear dari keruntuhan (meltdown) pondasi ekonomi kita pada krisis 1998. Termasuk karena perusahaan-perusahaan multinasional memilih merelokasi investasinya ke negara lain, dengan human resources advantages yang lebih kompetitif, seperti China ataupun Vietnam.

Lebih mencemaskan, ketika buruh (yang dipersepsikan terlalu banyak menuntut) juga dijadikan ‘sasaran tembak’ bagi macetnya investasi asing di Indonesia. Model blame the victim, dengan menyalahkan buruh yang sudah terjepit dalam kehidupan ‘murah’, tentu merupakan prasangka yang terlalu berlebihan.

Karena, menurut kesimpulan Survey Global Competitiveness Report, yang dilakukan World Economic Forum sepanjang 2001-2004 terhadap 4.700 pebisnis senior di 80 negara, investor asing tidak lagi nyaman berinvestasi di Indonesia disebabkan buruknya infrastruktur, perizinan usaha yang memakan waktu, transparansi dan kinerja birokrasi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, serta lemahnya penerapan hukum dan jaminan stabilitas sosial-politik.

Pengakuan para pebisnis senior itu menegaskan bahwa keunggulan komparatif berbentuk ketersediaan pasar dan sumber daya alam, termasuk buruh murah, belumlah memadai untuk menarik minat investor asing. Sebenarnya, yang paling mendesak untuk diperbaiki adalah mereduksi ekonomi biaya tinggi, dan memperbaiki kinerja pemerintah.

Visi Kelas Pekerja

Hari Buruh Internasional, yang dikenal luas dengan istilah Mayday, adalah peringatan yang setiap tahun berusaha memperlihatkan sisi paradoks dari kelas pekerja. Dimana, kehidupan murah para kelas pekerja di berbagai belahan dunia, telah mensubsidi akselarasi dan memberi keuntungan besar bagi perusahaan. Dalam bahasa Marx, kelas pekerja telah memberikan ‘nilai lebih’ berkali-kali lipat bagi para pemilik modal.

Meski tidak semasif tahun lalu, peringatan Hari Buruh di Indonesia pada tahun ini, tetap diwarnai dengan ritual unjuk rasa damai oleh para kelas pekerja di berbagai daerah. Yang umumnya terkonsentrasi pada daerah-daerah industri dan kota besar.

Terlepas dari ritual-ritual kelas pekerja tersebut, Mayday juga dapat dijadikan sebagai refleksi dari dua visi besar Karl Marx mengenai gerakan kelas pekerja: pendidikan dan tindakan.

Karl Marx, filosof Jerman yang banyak menganalisis kehidupan kelas pekerja (dengan langsung hidup di tengah pemukiman kumuh kelas pekerja di kota London) mengungkapkan dua komponen terpenting dari gerakan kelas pekerja. Yakni pendidikan, yang berupaya mencerahkan pengetahuan dan wawasan bagi kelas pekerja, dan tindakan sebagai interpretasi dari filsafat acte (aksi) dari kelas pekerja untuk merubah kondisi ketertindasan mereka.

Selain itu, terutama bagi pemerintah, makna Mayday adalah memikirkan kembali strategi-strategi untuk melindungi dan memperbaiki kesejahteraan kelas pekerja pada tahun-tahun mendatang. Termasuk sebagai pemicu untuk membangkitkan kebijaksanaan pemilik modal dalam berbagi kesejahteraan. Dengan perlahan-lahan mereduksi motif eksploitatif, yang menempatkan kelas pekerja harus menjual tenaga mereka sehari penuh hanya untuk mendapatkan upah yang minimalis. Dan lebih menghargai nilai suatu perkerjaan, dengan memberi upah yang lebih baik.

@Juga dipublikasikan di Harian Banjarmasin Post, 03 Mei 2007

No comments: