Tuesday, April 22, 2008

The Forgotten Half

“Bukan hanya kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk percaya akan diri kita sendiri” (Chicken Soup for the College Soul, 2000; 31)


Dalam beberapa hari ke depan, sebagian dari kita, yakni teman-teman di sekolah menengah atas, akan menghadapi tahap terpenting dalam masa pendidikan menengah atas mereka: ujian akhir nasional dan ujian masuk perguruan tinggi.

Kedua ujian diatas bukan hanya mengukur sejauh mana kita berhasil, dan mampu mencerna pelajaran semasa sekolah (yang dikonversi dalam standar angka-angka tertentu, yang terkadang bisa membuat kita merasa tertekan). Tapi juga akan menentukan dimana kita akan berada nantinya, yang tentunya akan berpengaruh pada bagaimana pencapaian kita di masa depan.

Masa-masa sekolah tentu masa yang menyenangkan. Dan kita pasti berharap meninggalkan sekolah dengan hasil yang menyenangkan pula. Ujian yang berjalan lancar, kelulusan dengan hasil memuaskan, dan dapat menjadi bagian dari universitas terbaik yang kita impikan.

Lalu, sebagaimana yang sering dipertanyakan banyak orang, mengapa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi menjadi sesuatu yang dibutuhkan? Jawaban untuk hal ini memang beragam.

Banyak kalangan mempercayai bahwa arti pendidikan tinggi bukan semata menjamin diperolehnya pengetahuan dan keterampilan yang lebih memadai. Tapi juga membuka kesempatan untuk bertahan, bersaing, dan meningkatkan taraf hidup ditengah persaingan (ekonomi) global yang makin ketat.

Selain keyakinan diatas, ada gejala menarik dari penelitian Commission on Work, Family & Citizenship di Amerika Serikat yang bisa kita jadikan petunjuk. Melalui penelitian di beberapa negara bagian Amerika sepanjang tahun 1990-an, Komisi ini menemukan suatu the forgotten half.

The forgotten half adalah suatu kelompok masyarakat yang tidak bekerja, atau hanya memiliki pendapatan yang kurang memuaskan, dengan kehidupan ekonomi relatif buruk dan selalu dibayangi kemiskinan. Yang cukup mengejutkan dari penelitian diatas, the forgotten half ini mayoritas dihuni oleh orang-orang yang tidak sempat mengecap pendidikan tinggi.

Meski penelitian ini dilakukan di benua Amerika, generalisasi lintas wilayah dari penelitian ini dapat diandalkan (Social Psychology, 1999). Hal ini berarti penemuan-penemuan tersebut cukup memadai untuk dapat diterapkan pada negara-negara dengan budaya yang berbeda, termasuk di Indonesia.

Temuan diatas bukanlah untuk menakut-nakuti masyarakat yang tidak mendapatkan akses pendidikan tinggi. Melainkan sebagai tantangan terbesar bagi masyarakat, dan juga bagi kita sendiri. Apakah nanti akan menjadi bagian dari the forgotten half itu, atau termasuk dalam kelompok yang memiliki kapasitas untuk bersaing dalam perkampungan global masa depan yang sangat kompetitif.

Menurut Bill Gates, pendiri Microsoft dalam buku futuristiknya The Road Ahead (1995), dalam dunia yang berubah secara cepat ini, orang-orang dengan pendidikan yang lebih tinggi biasanya dapat beradaptasi, sekaligus dapat merespon perubahan itu dengan cara-cara yang lebih baik.

Oleh karena itu, pendidikan yang lebih tinggi, dari sudut pandang manapun, merupakan asset strategis bagi eksistensi kita di masa depan. Kenyataan ini membuat peluang berkuliah di tempat terbaik adalah modal yang sangat berharga dan patut untuk diperjuangkan.

Harus kita percayai, bahwa modal pendidikan ini akan banyak memberi kita perbedaan dalam berpikir, merasa dan bertindak serta menyesuaikan diri dengan kemajuan peradaban.

Meski, kita juga memahami, bahwa hal ini bukanlah satu-satunya ukuran mutlak bagi kesuksesan kita di masa mendatang.

Meramal Masa Depan

Kita juga pasti sepakat, bahwa diperlukan kerja keras untuk membuat mimpi berkuliah (dan juga mimpi-mimpi lainnya) menjadi kenyataan. Seperti sebuah pepatah bijak: hidup ini merupakan tempat yang netral. Hidup tidak lebih dari rangkaian kesempatan dan pilihan.

Segala yang kita raih (kesuksesan, kegagalan, kebahagiaan dan kesedihan, prestasi ataupun mimpi buruk) adalah bergantung pada pilihan, kemauan dan usaha kita sendiri.

Perjuangan menciptakan masa depan ini tentu telah diawali oleh teman-teman pelajar bertahun-tahun yang lalu, dengan menghabiskan sebagian besar waktu untuk belajar, mengikuti les tambahan dan juga berdoa.

Perjuangan diatas akan terus ditumbuh-kembangkan oleh rasa optimis. Menjadi pribadi yang optimistik sangatlah penting, karena akan membawa kita pada keadaan emosi positif, yang nantinya dapat memperbanyak produksi zat endorfin dalam otak kita. Dimana, zat ini akan memicu peningkatan aliran neurotransmitter, dan memungkinkan otak kita bekerja serta berfungsi secara lebih efisien.

Kebiasaan untuk selalu berpikir positif dan melakukan yang terbaik, adalah satu langkah maju dalam membangun keunggulan pribadi kita. Menurut Aristoteles, filosof paling terkenal dari Yunani, ‘kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang’. Karena itu, keunggulan bukanlah suatu perbuatan atau bakat turunan, melainkan suatu kebiasaan.

Pada akhirnya, banyak rumus-rumus kemajuan diluar sana yang bisa kita jadikan prinsip hidup, atau sekedar diingat sebagai ungkapan penyemangat yang akan mengerakkan energi dan hasrat kita dalam melakukan berbagai hal dengan cara-cara terbaik. Salah satunya seperti yang dikatakan Alan Kay, seorang praktisi pendidikan terkemuka di Amerika, bahwa satu-satunya cara untuk meramal masa depan, adalah dengan menciptakannya. Jadi, teruslah berjuang, demi menghindarkan diri dari kelompok setengah yang terlupakan itu, the forgotten half.***

Juga dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 11 April 2008.

No comments: