KETERANGAN BUKU
Judul : PSIKOLOGI PERTUMBUHAN
Penulis : MIF Baihaki
Penerbit : PT Remaja Rosdakarya
Cetakan : Pertama, 2008
Halaman : xiv + 261 Halaman
Ukuran : 15.7 x 24 cm
ISBN : 979-629-933-3
Harga : Rp 41.000,00
MENYEBARKAN GAGASAN KESEHATAN MENTAL
Abraham Maslow, seorang pundit psikologi humanistik terkemuka, pernah mengungkapkan bahwa psikologi klasik Freudian dan Pavlovian merupakan pendekatan yang cenderung pesimistik, negatif dan sarat limitasi dalam memahami manusia.
Psikologi dikritik terlalu mendedikasikan diri pada eksplanasi berbagai penyakit mental, dibanding mengembangkan kesehatan mental (personal wellness). Kritik ini kemudian diterjemahkan oleh beberapa pakar psikologi humanistik awal, semisal Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Victor E Frankl, dengan mengisi bagian psikologi yang sehat.
Mereka mengembangkan suatu teori dan praksis psikologi baru yang lebih positif mengenai manusia, nilai-nilai tertinggi, cita-cita, pertumbuhan dan aktualisasi potensi manusia. Ketika sains klasik menyumbang postulat dan penemuan fisik untuk memahami dunia materi, maka psikologi model ini mencoba menggali dimensi-dimensi positif, aspek kekuatan dan kebaikan dalam struktur dan dinamika mental manusia yang kompleks. Termasuk menelaah manifestasinya dalam perilaku manusia dan pengembangan masyarakat.
Pada era psikologi posmodern ini, pendekatan kesehatan mental ini berkembang jauh lebih kompleks. Bukan sekedar humanistik, tapi juga psikologi positif, transpersonal, psikologi eksistensial, dan juga psikologi pertumbuhan.
Life of Affiliation
Meski belum menjadi pendekatan utama, psikologi pertumbuhan juga memiliki peran signifikan bagi pengembangan kesehatan mental manusia dan masyarakat. Psikologi pertumbuhan tidak semata berbicara mengenai pertumbuhan fisik manusia, tapi juga struktur kepribadian dan set mental yang dapat mendorong manusia menuju keadaan nyaman, sehat secara mental, bahagia dan bermakna.
Seperti keyakinan Danah Zohar, ditengah sebagian masyarakat posmodern yang krisis makna ini, berkembangnya pribadi-pribadi yang sehat adalah derivasi dari masyarakat-bangsa yang sehat. Dan buku ini, seperti diharapkan penulisnya, juga memiliki tujuan yang sama; menjadi bagian dari pengembangan kesehatan mental masyarakat (hal vi).
Buku ini sendiri memuat model-model kepribadian sehat yang dikembangkan oleh enam tokoh psikologi yang dikenal luas tidak hanya dikalangan psikologi. Yakni Carl Gustav Jung, Gordon Allport, Erich Fromm, Carl Rogers, Victor E Frankl dan Abraham Maslow. Untuk memperkaya perspektif, juga dimuat model Frederick Perls dari pendekatan psikologi Gestalt.
Masing-masing tokoh diatas, melalui riset-riset tematik mereka, mempostulatkan model kepribadian yang sehat berdasarkan karakteristik dan sifat-sifat yang unik. Walaupun melalui pisau analitik yang berbeda-beda, ada beberapa dimensi yang identik dari ketujuh model tersebut (hal 10). Diantaranya adalah penemuan dan pengembangan diri, serta tanggung jawab terhadap orang lain.
Dimensi tanggung jawab terhadap orang lain ini sangat menarik. Martin Seligman, psikolog dari Universitas Pennsylvania, menyebutnya sebagai ‘life of affiliation’, yakni bagaimana perasaan positif, kenyamanan dan kesehatan mental kita didasarkan pada kontribusi dan perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dibanding eksistensi kita sendiri (seperti orang lain dan masyarakat, alam, organisasi sosial, tradisi dan sistem kepercayaan).
Kesehatan mental salah satunya adalah bergantung pada bagaimana kita mampu memberikan kontribusi positif terhadap kebaikan masyarakat.
Aspek menarik lain dalam buku ini, terutama dari perspektif latar belakang ketujuh tokoh lainnya, MIF Baihaki memasukkan model kepribadian sehat oleh Samsoe Basaroedin, seorang penggiat psikologi islami di lingkungan Masjid Salman ITB, Bandung (hal 228).
Buku ini layak untuk diapresiasi. Terutama karena masyarakat Indonesia masa kini membutuhkan pribadi-pribadi sehat secara mental, yang bukan sekedar hidup (living), tapi juga berusaha mengembangkannya (thriving) dan menyebarluaskan nilai-nilai positif bagi masyarakat.***
seperti yang dikatakan oleh Peter Ustinov dalam Aftertaste (1958), sedikit orang berhenti menjadi manusia, dan mulai menjadi gagasan, kemudian menjadi monumen, sampai akhirnya menjadi aftertaste: bukti kejayaan masa lalu yang menyisakan rasa tertentu di kepala-kepala generasi saat ini
Monday, December 15, 2008
PHK & TINGKAH LAKU AGRESI
Semenjak krisis finansial berlangsung pada pertengahan tahun ini, keberlangsungan komunitas buruh menjadi salah satu arus utama perdebatan publik. Seiring dengan ambruknya beberapa sektor industri di negeri ini, komunitas buruh mesti menghadapi kenyataan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara tiba-tiba.
Menurut Hans Timmer, analis ekonomi internasional dari Bank Dunia, krisis finansial saat ini akan menurunkan angka pertumbuhan ekonomi secara global. Penurunan pertumbuhan sekitar satu hingga dua persen dapat membuat industri-industri menurunkan jumlah produksinya, melakukan rasionalisasi tenaga kerja, hingga menghentikan sama sekali produksi mereka.
Dengan situasi resesi ekonomi yang diramalkan masih akan berlangsung hingga tahun depan, prediksi Organisasi Buruh Internasional (ILO) secara tepat menggambarkan kondisi tenaga kerja global saat ini. Berdasarkan analisis ILO, melalui Global Employment Trend (GET) 2008, setidaknya ada dua tren utama sepanjang 2008.
Pertama, angka pengangguran global tahun 2008 akan meningkat sekitar 5 juta orang. Ini disebabkan krisis pasar keuangan dunia dan lonjakan harga minyak mentah. Kedua, ILO juga mencatat penurunan serapan tenaga kerja di level bawah, yakni di sektor pertanian dan industri.
Tren ini, menurut Jeremy Rifkin (The End of Work, 1995), adalah bagian dari siklus global yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, yakni revolusi pertanian, industri, dan kini revolusi sektor jasa dan pengetahuan. Dalam setiap siklus revolusi itu, jenis-jenis pekerjaan “berulang-ulang” dengan keterampilan rendah akan lenyap.
Dampak Psikososial
Masalahnya justru karena sebagian pekerja di negeri ini bergerak di “industri peluh” (sweatshop), yang paling banyak terkena dampak krisis ekonomi global. Akibatnya, jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK akan meningkat secara signifikan.
Mereka yang beruntung masih bekerja, selain terjebak dalam kehidupan murah, juga mesti menghadapi anomali pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan tenaga kerja murah yang melimpah. Penganggur dalam jumlah berlebih saat ini dapat sewaktu-waktu mengganti posisi mereka.
Risiko kehilangan pekerjaan dialami oleh tidak hanya buruh di sektor industri, tapi juga kelas pekerja pada sektor informal yang setidaknya berjumlah sekitar 70,8 persen, dari 107 juta angkatan kerja di negeri ini (Asian Development Bank, 2006).
Peningkatan pengangguran, baik akibat PHK maupun angkatan kerja baru, dapat memicu deret permasalahan sosial baru di masyarakat. Dampak ini bisa terjadi pada level individual, keluarga, hingga masyarakat dan negara.
Dalam perspektif psikologi sosial, salah satu dampak kemiskinan dan pengangguran adalah menciptakan simpul-simpul budaya kekerasan baru. Jay Belsky (Social Psychology, 2000) menegaskan peran penting kemiskinan bagi genealogi kekerasan dalam keluarga. Kerapuhan ekonomi dan kehidupan yang serba kurang memberikan tekanan bagi keluarga, yang kemudian memunculkan rasa frustasi.
Keadaan frustrasi ini, dengan pemicu yang seringkali sederhana, mampu membangkitkan tingkah laku agresi. Objek kekerasannya adalah sesama anggota keluarga, dan seringkali terhadap anak dan istri karena posisinya yang lemah.
Selain itu, dengan kondisi kehidupan yang lebih sulit ke depan, peluang meningkatnya kasus-kasus gangguan mental dalam masyarakat juga makin besar. Rasa frustrasi, dan keseharian hidup yang memberikan stres berlebih, jika tidak dapat dikelola, akan mendorong individu dalam keadaan mental yang tidak menyenangkan. Bentuknya bisa gangguan mental ringan, hingga bunuh diri.
Secara tidak langsung, jumlah pengangguran berlebih juga berpotensi meningkatkan kriminalitas. Fenomena blocked opportunity di kota-kota besar memaksa individu-individu bertahan hidup melalui cara-cara yang melanggar hukum. Kekerasan yang terjadi dalam kasus kriminalitas juga merupakan bentuk rasa frustrasi.
Bagaimanapun, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran merupakan satu dari tujuh penyakit kota, atau urban ills, yang elusif (Wheeler & Beatley, 2004). Ia menjadi derivasi langsung bagi pecahnya komunitas, atau social disorders. Karena, seperti diramalkan Alvin Toffler dalam Future Shock (1998), perpaduan antara kemiskinan dan pengangguran adalah awal dari malapetaka sosial.
Kegelisahan orang-orang tidak bekerja dan masyarakat miskin yang makin frustrasi dapat memunculkan banyak ketidakpuasan. Hal ini bisa berkembang menjadi konflik dan hasrat komunal untuk melakukan perubahan radikal.
Karena itu, pemerintah perlu mengatasi masalah ini dengan ketergesaan dan kesungguhan. Pendekatan ini menjadi penting karena terkadang kemiskinan masih menjadi masalah bisu. Ia baru terlihat ketika orang-orang miskin kelaparan, mati ataupun marah. Kita kerap melihat kemiskinan dan pengangguran dalam angka, dan kurang peduli pada substansi.
Selain dengan mengarahkan prioritas dan kebijakan yang proburuh dan masyarakat miskin, dampak psikososial di atas dapat direduksi melalui penguatan dukungan sosial dalam masyarakat. Keluarga, tokoh masyarakat dan pemimpin, media massa juga sistem pendidikan perlu mentransfer nilai-nilai positif.
Ruang-ruang publik didesain untuk mengkloningkan emosi positif (optimisme, kebahagiaan, kasih sayang) dan sifat-sifat positif (perasaan peduli dan empati, kebajikan, kreativitas, keadilan, keberanian, dan cinta). Seperti keyakinan Martin Seligman, pendiri psikologi positif, nilai-nilai baik tersebut merupakan doktrin mental terpenting bagi keberlangsungan kesehatan mental masyarakat.***
*Juga dipublikasikan di Harian Pagi, Tribun Jabar, 15 Desember 2008
Menurut Hans Timmer, analis ekonomi internasional dari Bank Dunia, krisis finansial saat ini akan menurunkan angka pertumbuhan ekonomi secara global. Penurunan pertumbuhan sekitar satu hingga dua persen dapat membuat industri-industri menurunkan jumlah produksinya, melakukan rasionalisasi tenaga kerja, hingga menghentikan sama sekali produksi mereka.
Dengan situasi resesi ekonomi yang diramalkan masih akan berlangsung hingga tahun depan, prediksi Organisasi Buruh Internasional (ILO) secara tepat menggambarkan kondisi tenaga kerja global saat ini. Berdasarkan analisis ILO, melalui Global Employment Trend (GET) 2008, setidaknya ada dua tren utama sepanjang 2008.
Pertama, angka pengangguran global tahun 2008 akan meningkat sekitar 5 juta orang. Ini disebabkan krisis pasar keuangan dunia dan lonjakan harga minyak mentah. Kedua, ILO juga mencatat penurunan serapan tenaga kerja di level bawah, yakni di sektor pertanian dan industri.
Tren ini, menurut Jeremy Rifkin (The End of Work, 1995), adalah bagian dari siklus global yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, yakni revolusi pertanian, industri, dan kini revolusi sektor jasa dan pengetahuan. Dalam setiap siklus revolusi itu, jenis-jenis pekerjaan “berulang-ulang” dengan keterampilan rendah akan lenyap.
Dampak Psikososial
Masalahnya justru karena sebagian pekerja di negeri ini bergerak di “industri peluh” (sweatshop), yang paling banyak terkena dampak krisis ekonomi global. Akibatnya, jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK akan meningkat secara signifikan.
Mereka yang beruntung masih bekerja, selain terjebak dalam kehidupan murah, juga mesti menghadapi anomali pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan tenaga kerja murah yang melimpah. Penganggur dalam jumlah berlebih saat ini dapat sewaktu-waktu mengganti posisi mereka.
Risiko kehilangan pekerjaan dialami oleh tidak hanya buruh di sektor industri, tapi juga kelas pekerja pada sektor informal yang setidaknya berjumlah sekitar 70,8 persen, dari 107 juta angkatan kerja di negeri ini (Asian Development Bank, 2006).
Peningkatan pengangguran, baik akibat PHK maupun angkatan kerja baru, dapat memicu deret permasalahan sosial baru di masyarakat. Dampak ini bisa terjadi pada level individual, keluarga, hingga masyarakat dan negara.
Dalam perspektif psikologi sosial, salah satu dampak kemiskinan dan pengangguran adalah menciptakan simpul-simpul budaya kekerasan baru. Jay Belsky (Social Psychology, 2000) menegaskan peran penting kemiskinan bagi genealogi kekerasan dalam keluarga. Kerapuhan ekonomi dan kehidupan yang serba kurang memberikan tekanan bagi keluarga, yang kemudian memunculkan rasa frustasi.
Keadaan frustrasi ini, dengan pemicu yang seringkali sederhana, mampu membangkitkan tingkah laku agresi. Objek kekerasannya adalah sesama anggota keluarga, dan seringkali terhadap anak dan istri karena posisinya yang lemah.
Selain itu, dengan kondisi kehidupan yang lebih sulit ke depan, peluang meningkatnya kasus-kasus gangguan mental dalam masyarakat juga makin besar. Rasa frustrasi, dan keseharian hidup yang memberikan stres berlebih, jika tidak dapat dikelola, akan mendorong individu dalam keadaan mental yang tidak menyenangkan. Bentuknya bisa gangguan mental ringan, hingga bunuh diri.
Secara tidak langsung, jumlah pengangguran berlebih juga berpotensi meningkatkan kriminalitas. Fenomena blocked opportunity di kota-kota besar memaksa individu-individu bertahan hidup melalui cara-cara yang melanggar hukum. Kekerasan yang terjadi dalam kasus kriminalitas juga merupakan bentuk rasa frustrasi.
Bagaimanapun, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran merupakan satu dari tujuh penyakit kota, atau urban ills, yang elusif (Wheeler & Beatley, 2004). Ia menjadi derivasi langsung bagi pecahnya komunitas, atau social disorders. Karena, seperti diramalkan Alvin Toffler dalam Future Shock (1998), perpaduan antara kemiskinan dan pengangguran adalah awal dari malapetaka sosial.
Kegelisahan orang-orang tidak bekerja dan masyarakat miskin yang makin frustrasi dapat memunculkan banyak ketidakpuasan. Hal ini bisa berkembang menjadi konflik dan hasrat komunal untuk melakukan perubahan radikal.
Karena itu, pemerintah perlu mengatasi masalah ini dengan ketergesaan dan kesungguhan. Pendekatan ini menjadi penting karena terkadang kemiskinan masih menjadi masalah bisu. Ia baru terlihat ketika orang-orang miskin kelaparan, mati ataupun marah. Kita kerap melihat kemiskinan dan pengangguran dalam angka, dan kurang peduli pada substansi.
Selain dengan mengarahkan prioritas dan kebijakan yang proburuh dan masyarakat miskin, dampak psikososial di atas dapat direduksi melalui penguatan dukungan sosial dalam masyarakat. Keluarga, tokoh masyarakat dan pemimpin, media massa juga sistem pendidikan perlu mentransfer nilai-nilai positif.
Ruang-ruang publik didesain untuk mengkloningkan emosi positif (optimisme, kebahagiaan, kasih sayang) dan sifat-sifat positif (perasaan peduli dan empati, kebajikan, kreativitas, keadilan, keberanian, dan cinta). Seperti keyakinan Martin Seligman, pendiri psikologi positif, nilai-nilai baik tersebut merupakan doktrin mental terpenting bagi keberlangsungan kesehatan mental masyarakat.***
*Juga dipublikasikan di Harian Pagi, Tribun Jabar, 15 Desember 2008
Sunday, December 14, 2008
SUTAN SJAHRIR, THE SMILING DIPLOMAT
‘Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu, dan tidak pernah diajar memimpin. Oleh karena itu pemuda tidak berpengetahuan lain. Cara pemuda mengadakan propaganda dan agitasi pada rakyat banyak itu seperti dilihatnya dari Jepang. Sangat menyedihkan keadaan jiwa pemuda kita’
(Sutan Sjahrir, dalam Perdjoeangan Kita; 10 November 1945)
Saat banyak pemuda masih terikat dalam organisasi kedaerahan, pada 20 Februari 1927, Sutan Sjahrir termasuk dalam 10 orang penggagas himpunan pemuda nasionalis, atau Jong Indonesie.
Perhimpunan ini lalu dikenal dengan Pemuda Indonesia, yang turut memicu pelaksanaan kongres monumental Pemuda Indonesia dengan introduksi Sumpah Pemuda pada 1928.
Aktivitas politik Sutan Sjahrir diantara kelompok-kelompok pemuda terpelajar membuatnya menjadi politikus terkemuka Indonesia, yang kerap disebut sebagai ‘orang ketiga’ setelah Soekarno dan Hatta.
George McTurnan Kahin, profesor sejarah Cornell University, dalam karya klasiknya Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), menegaskan bahwa Sjahrir adalah tokoh berpengaruh menjelang proklamasi kemerdekaan dan sesudahnya.
Sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, Sjahrir mengarsiteki perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer. Dengan perubahan high politics itu, Indonesia pun menganut sistem multi-partai, sekaligus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Indonesia adalah perjuangan bangsa yang beradab dan demokratis.
Sutan Sjahrir adalah perdana menteri pertama (14 November 1945 - 20 Juni 1947) dan termuda Indonesia. Seorang diplomat yang dijuluki the smiling diplomat oleh wartawan peliput sidang Dewan Keamanan PBB pada medio Agustus 1947.
Meski sangat berjasa, Sjahrir meninggal di pengasingan sebagai tawanan politik pemerintahan Soekarno, di Zurich, Swiss, pada 9 April 1966.
Proletar Pendidik
Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 5 Maret 1909. Sjahrir menempuh pendidikan dasar (ELS) dan menengah (MULO) terbaik di Medan. Bukan sekedar bersekolah, Sjahrir juga memperkaya diri dengan berbagai buku asing dan novel Belanda.
Pada 1926, Sjahrir melanjutkan ke sekolah menengah atas (AMS) di Bandung. Di sekolah itu, Sjahrir bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor.
Hasil pementasan teater itu digunakan untuk membiayai sekolah yang Sjahrir dirikan, yakni Tjahja Volksuniversiteit. Sekolah gratis ini adalah gerakan melek huruf bagi anak-anak miskin.
Selama kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Leiden - Belanda, Sjahrir mendalami sosialisme dalam teori dan praksis. Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat di Belanda, berkisah perihal Sjahrir yang mencari teman-teman radikal dan mengeksplorasi hingga jauh ke kiri.
Sjahrir bahkan sempat bergabung dengan kaum anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme; bertahan hidup secara kolektif dan saling berbagi satu sama lain.
Seperti mahasiswa pergerakkan lainnya, Sjahrir juga aktif di Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin Hatta.
Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di majalah Daulat Rakjat, dan memperluas visi utama pemimpin politik mengenai pendidikan rakyat. ‘Pertama-tama, marilah kita mendidik, yakni memetakan jalan menuju kemerdekaan’.
Pada saat-saat membangun gerakan bawah tanah di masa pendudukan Jepang, Sjahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjuangan Kita adalah manifesto terbesar Sjahrir.
Risalah itu kemudian disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, ‘Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang mempengaruhi Indonesia, dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan’.***
BUNG HATTA, BUKU & PERJUANGAN
‘Sesudah itu aku dibawanya ke sebuah toko buku Antiquariaat, di sebelah societeit Harmonie. Di sana tampak oleh Ma’ Etek Ayub tiga buku yang dianggapnya perlu aku baca nanti, yaitu dua jilid buku Staathuishoudkunde karangan NG Pierson, De Socialisten oleh HP Quack, dan buku Bellamy, Het Jaar 2000’
(Memoir Mohammad Hatta, 1979. Hal 69)
Saat itu, pada suatu siang di bulan Juli 1919, Mohammad Hatta yang sedang menempuh pendidikan di Prins Hendrik School (Sekolah Dagang Menengah di Batavia), untuk pertamakalinya memiliki buku-buku nonpelajaran, yang dibelikan oleh pamannya, Ma’ Etek Ayub.
Seperti diakui Bung Hatta dalam memoir tersebut, itulah perkenalan pertamanya dengan buku-buku umum, yang sekaligus menjadi dasar bagi perpustakaan pribadinya di masa depan.
Bung Hatta, memang begitu mencintai buku. Sebagai seorang yang dikenal sangat disiplin, Ia terbiasa membaca buku pelajaran pada malam hari, dan membaca buku-buku lainnya untuk memperluas pengetahuan pada sore hari sesudah pukul empat.
Kebiasaan membaca ini senantiasa dijaga Bung Hatta, baik ketika Ia melanjutkan studi ke Rotterdamse Handelshogeschool di negeri Belanda, ataupun ketika Ia menjalani pembuangan di Tanah Merah Digul dan Banda Neira.
Bukan sekedar membaca, Bung Hatta tentu saja gemar membeli buku. Selama kuliah di Rotterdam, Bung Hatta mengadakan perjanjian dengan toko buku terkenal di kota itu, De Westerbookhandel. Perjanjian yang memungkinkannya untuk terus memesan buku hingga jumlah semuanya tidak lebih dari 150 gulden, dengan pembayarannya dapat diangsur 10 gulden setiap bulan.
Bahkan, pada liburan pertamanya di Hamburg, akhir Desember 1921, Bung Hatta memborong puluhan buku teks pada sebuah toko buku bernama Otto Meissner. Buku-buku yang berharga puluhan dan ratusan Mark Jerman tersebut, dapat dibeli dengan harga murah karena Jerman sedang dihantam inflasi hebat. Nilai Gulden Belanda dan Mark Jerman saat itu, seperti 1 berbanding 100.
Tidak heran, setelah menjadi sarjana ekonomi dan pulang ke Indonesia, Bung Hatta membawa serta empat m3 buku, dalam 16 peti besi yang berukuran seperempat m3. Itupun, sebagian lainnya terpaksa ditinggal, dan diberikan untuk teman dekat Bung Hatta di Den Haag; Sumadi dan Rasjid Manggis.
Grand Narratives
Kecintaan Bung Hatta pada buku, dan perhatian besarnya pada pendidikan turut membentuk karakteristik perjuangan yang terus diyakininya, sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.
Bung Hatta mempercayai bahwa pergerakan yang berkarakter diawali oleh kesadaran pendidikan. Akselarasi akan didorong oleh generasi terpelajar, yang mampu menghadirkan organisasi perjuangan dan serangan intelektual terhadap rezim penindas.
Melalui organisasi pergerakannya, Pendidikan Nasional Indonesia, Bung Hatta memberikan kursus-kursus, mendidik kader-kader baru, mengembangkan pola pikir, hingga membentuk budi dan pekerti rakyat.
Dalam setiap kursus kader Pendidikan Nasional Indonesia, bukan agitasi dan gerakan massa yang diajarkan, tapi diarahkan pada analisa serta memecahkan masalah nyata. Kader-kader Pendidikan Nasional Indonesia pun dianjurkan memperluas pengetahuan dan meningkatkan metode-metode analisis yang lebih maju, selain memahami ‘bacaan wajib’ semisal buku Bung Hatta (Indonesia Vrij & Tujuan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia), buku Indonesia Menggugat karya Soekarno, serta majalah Daulat Rakyat.
Bagi Bung Hatta, dan bagi banyak ilmuwan filsafat-politik lainnya, pendidikan adalah kunci pertama bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Proses pendidikan, baik itu formal ataupun informal, dengan visi dan kualitas yang memadai, seyogianya mampu memproduksi sekelompok generasi terpelajar, yang kode genetik utamanya terdiri atas: berpikir kritis (critical thinking), membuat hubungan antar gagasan (making connections between ideas) dan mengetahui bagaimana belajar dengan berkelanjutan (knowing how to keep on learning).
Hal ini sama seperti penuturan Claude Levi-Strauss dalam bukunya, a World on the Wane, mengenai bagaimana pendidikan Prancis mentransfer pola-pola intelektual pada dirinya. Menurut Levi-Strauss, lima tahun di Universitas Sorbonne mengajarinya bentuk latihan mental dalam memecahkan berbagai masalah, layaknya dinamika tesis-antitesis-sintesis.
Dengan demikian, pendidikan bukan sekedar mengkloningkan individu-individu yang selalu merasa tidak puas dan menginginkan perubahan, tapi juga individu yang mampu melihat arah perubahan tersebut, menciptakan proses-prosesnya, dan men-share hasrat kemajuan yang tertanam di dalam dirinya.
Bagaimanapun, produksi ingatan sejarah kita ihwal kehidupan dan perjuangan almarhum Bung Hatta adalah salah satu narasi besar, grand narratives, dari sejarah Indonesia modern. Narasi ini merekam realitas bahwa, awalnya boleh jadi sebuah buku, dan kemudian pendidikan sebagai alat perjuangan pokok demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Karena, sekali lagi, masyarakat yang cerdas (dengan kemampuan berpikir, merasa dan bertindak sesuai tuntutan zaman), akan memiliki kapasitas yang lebih baik dalam mengelola, mengembangkan dan mengorganisasikan kemajuan, sekaligus berdiri diatas kaki sendiri.
Pada akhirnya, layaknya sebuah narasi yang akan dituturkan dan dilestarikan secara terus menerus bagi generasi masa depan, bagian terpenting dari sejarah ini adalah bagaimana kita memaknakannya, dan mem-fungsionalisasikan narasi tersebut sejalan dengan konteks kekinian.***
Friday, December 12, 2008
Thursday, December 11, 2008
SIAPA YANG BERBICARA LEBIH BANYAK?
‘Karena untuk berbicara, orang harus lebih dulu mendengarkan. Belajarlah bicara dengan mendengarkan’ (Jalaludin Rumi)
Inti dari kehidupan adalah berkomunikasi. Berbicara dan mendengarkan adalah bagian esensial dari tindakan komunikasi yang membentuk kehidupan kita. Dengan berkomunikasi, kita berinteraksi dengan orang lain, mengekspresikan apa yang kita inginkan, mencoba memahami apa kebutuhan orang lain, hingga menyatakan eksistensi diri kita di kehidupan ini.
Berbicara adalah kebiasaan intrinsik kita sebagai manusia. Kita pasti mempunyai teman, entah itu pria atau wanita, yang suka sekali berbicara di depan umum, atau di dalam pertemuan-pertemuan publik. Pada era dimana kita dimanjakan untuk berkomunikasi, kita juga kerap melihat sebagian orang bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk ngobrol di telepon, atau berkomunikasi melalui chat rooms.
Menjadi hal yang menarik untuk mengetahui, siapa sih sebenarnya yang lebih banyak berbicara, apakah pria atau wanita? Berdasarkan stereotype, atau generalisasi yang lazim disepakati publik, wanita diyakini dan lebih dianggap banyak berbicara dibanding pria. Wanita, dalam pandangan umum masyarakat, dinilai lebih suka menghabiskan waktu untuk berbicara dan berinteraksi.
Namun demikian, banyak studi yang justru menunjukkan bahwa pria berbicara jauh lebih banyak dibanding wanita. Seperti dalam rapat atau diskusi kelompok yang terdiri atas pria dan wanita. Salah satu riset oleh RG Eakins (1978), memperkuat hipotesis ini.
Melalui pengamatan terhadap tujuh pertemuan di sebuah universitas di Amerika, riset Eakins ini menunjukkan kenyataan bahwa pria lebih sering berbicara dalam jangka waktu yang lama. Bahkan, jangka waktu bicara wanita yang paling lama, masih lebih sebentar dibanding waktu berbicara pria yang terpendek.
Kalau begitu, siapakah yang lebih banyak berbicara?
Publik & Private
Riset Eakins diatas juga mengungkapkan perbedaan yang harus kita pahami dalam komunikasi diantara pria dan wanita. Antara apa yang disebut sebagai public speaking dan private speaking. Pria merasa lebih nyaman melakukan public speaking, sedangkan wanita lebih menyukai melakukan pembicaraan yang bersifat private.
Atau dalam bahasa lain, kita dapat menggunakan istilah repport talk dan rapport talk. Dimana bagi kebanyakan pria, berbicara terutama bermakna untuk mempertahankan kemandirian, dan menjaga status dalam hierarki sosial. Bicara di depan publik adalah ekspresi eksistensi. Sedangkan bagi sebagian besar wanita, bahasa komunikasinya didominasi oleh bahasa rapport (pendekatan).
Maka, tidak mengherankan jika dalam pembicaraan publik dan terbuka, kita lebih sering melihat pria yang banyak berbicara. Di sisi yang berbeda, terutama dalam ruang-ruang pribadi, wanita diidentikkan lebih banyak berbicara dibanding pria.
Bagi pria, berbicara adalah informasi. Sedang bagi wanita, berbicara adalah interaksi, membangun hubungan dan keintiman. Oleh karena itu, ketika pria dikritik, mereka terkadang merasa kompetensinya dipertanyakan. Dan jika kritik dialami oleh wanita, terkadang mereka merasa bahwa hubungan dan keintimannya telah putus. Inilah salah faktor yang membuat wanita dianggap lebih sensitif dalam berkomunikasi, dibanding pria kebanyakan.
Terdapat banyak contoh lain yang memperlihatkan bagaimana pria dan wanita berbicara secara berbeda. Ini karena keduanya hidup, berinteraksi dan bekerja dalam sistem yang berbeda. Masing-masing berbicara dan berkomunikasi dalam suatu genderlect yang berbeda.
Namun, hasil riset diatas juga memberi ruang yang luas bagi perbedaan. Sehingga, kita juga sering melihat contoh-contoh berbeda, dimana ada pria yang suka sekali curhat, dan ada juga wanita yang begitu pandai mengutarakan pendapatnya, bahkan didepan mayoritas pria sekalipun.
Bagaimanapun, satu hal yang juga harus kita pahami adalah: bahwa berbicara, rangkaian kata-kata yang kita ungkapkan, tidak akan bermakna bila tidak ada yang mendengarkan. Untuk itu, seperti kata Rumi diatas, seorang pembicara yang baik adalah (juga) pendengar yang baik.
*Dimuat juga di Harian PIKIRAN RAKYAT, 09 Oktober 2008.
Inti dari kehidupan adalah berkomunikasi. Berbicara dan mendengarkan adalah bagian esensial dari tindakan komunikasi yang membentuk kehidupan kita. Dengan berkomunikasi, kita berinteraksi dengan orang lain, mengekspresikan apa yang kita inginkan, mencoba memahami apa kebutuhan orang lain, hingga menyatakan eksistensi diri kita di kehidupan ini.
Berbicara adalah kebiasaan intrinsik kita sebagai manusia. Kita pasti mempunyai teman, entah itu pria atau wanita, yang suka sekali berbicara di depan umum, atau di dalam pertemuan-pertemuan publik. Pada era dimana kita dimanjakan untuk berkomunikasi, kita juga kerap melihat sebagian orang bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk ngobrol di telepon, atau berkomunikasi melalui chat rooms.
Menjadi hal yang menarik untuk mengetahui, siapa sih sebenarnya yang lebih banyak berbicara, apakah pria atau wanita? Berdasarkan stereotype, atau generalisasi yang lazim disepakati publik, wanita diyakini dan lebih dianggap banyak berbicara dibanding pria. Wanita, dalam pandangan umum masyarakat, dinilai lebih suka menghabiskan waktu untuk berbicara dan berinteraksi.
Namun demikian, banyak studi yang justru menunjukkan bahwa pria berbicara jauh lebih banyak dibanding wanita. Seperti dalam rapat atau diskusi kelompok yang terdiri atas pria dan wanita. Salah satu riset oleh RG Eakins (1978), memperkuat hipotesis ini.
Melalui pengamatan terhadap tujuh pertemuan di sebuah universitas di Amerika, riset Eakins ini menunjukkan kenyataan bahwa pria lebih sering berbicara dalam jangka waktu yang lama. Bahkan, jangka waktu bicara wanita yang paling lama, masih lebih sebentar dibanding waktu berbicara pria yang terpendek.
Kalau begitu, siapakah yang lebih banyak berbicara?
Publik & Private
Riset Eakins diatas juga mengungkapkan perbedaan yang harus kita pahami dalam komunikasi diantara pria dan wanita. Antara apa yang disebut sebagai public speaking dan private speaking. Pria merasa lebih nyaman melakukan public speaking, sedangkan wanita lebih menyukai melakukan pembicaraan yang bersifat private.
Atau dalam bahasa lain, kita dapat menggunakan istilah repport talk dan rapport talk. Dimana bagi kebanyakan pria, berbicara terutama bermakna untuk mempertahankan kemandirian, dan menjaga status dalam hierarki sosial. Bicara di depan publik adalah ekspresi eksistensi. Sedangkan bagi sebagian besar wanita, bahasa komunikasinya didominasi oleh bahasa rapport (pendekatan).
Maka, tidak mengherankan jika dalam pembicaraan publik dan terbuka, kita lebih sering melihat pria yang banyak berbicara. Di sisi yang berbeda, terutama dalam ruang-ruang pribadi, wanita diidentikkan lebih banyak berbicara dibanding pria.
Bagi pria, berbicara adalah informasi. Sedang bagi wanita, berbicara adalah interaksi, membangun hubungan dan keintiman. Oleh karena itu, ketika pria dikritik, mereka terkadang merasa kompetensinya dipertanyakan. Dan jika kritik dialami oleh wanita, terkadang mereka merasa bahwa hubungan dan keintimannya telah putus. Inilah salah faktor yang membuat wanita dianggap lebih sensitif dalam berkomunikasi, dibanding pria kebanyakan.
Terdapat banyak contoh lain yang memperlihatkan bagaimana pria dan wanita berbicara secara berbeda. Ini karena keduanya hidup, berinteraksi dan bekerja dalam sistem yang berbeda. Masing-masing berbicara dan berkomunikasi dalam suatu genderlect yang berbeda.
Namun, hasil riset diatas juga memberi ruang yang luas bagi perbedaan. Sehingga, kita juga sering melihat contoh-contoh berbeda, dimana ada pria yang suka sekali curhat, dan ada juga wanita yang begitu pandai mengutarakan pendapatnya, bahkan didepan mayoritas pria sekalipun.
Bagaimanapun, satu hal yang juga harus kita pahami adalah: bahwa berbicara, rangkaian kata-kata yang kita ungkapkan, tidak akan bermakna bila tidak ada yang mendengarkan. Untuk itu, seperti kata Rumi diatas, seorang pembicara yang baik adalah (juga) pendengar yang baik.
*Dimuat juga di Harian PIKIRAN RAKYAT, 09 Oktober 2008.
RUANG BELAJAR BERNAMA PENDIDIKAN TINGGI
Sebagian sarjana barat menyebut era informasi yang mulai berkembang sejak dekade 1990an sebagai peradaban ‘high modernity’ (Anthony Giddens, Modernity & Self-Identity; 1991). Suatu peradaban yang menawarkan pilihan tidak terbatas, dengan segala sesuatunya mungkin dilakukan.
Ketidak-terbatasan ini membuat keterandalan kita dalam menghadapi masa depan adalah bergantung pada kemampuan dalam menyerap berbagai konsep baru, menentukan pilihan-pilihan baru, dan belajar serta beradaptasi sepanjang hidup.
Ranah berbagai kemampuan diatas, sebagian besar diperkenalkan dan diinternalisasi semasa pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Ketika pendidikan dasar terkait erat dengan perolehan pengetahuan, maka pendidikan yang lebih tinggi terfokus pada pengembangan kearifan, karakter dan kematangan emosi.
Bagi peradaban yang maju di seluruh dunia, kualitas pendidikan tinggi adalah aset paling strategis. Pendidikan tinggi dipercaya dapat menginspirasi dan memampukan diri kita untuk mencapai potensi dan kemampuan tertinggi. Sehingga kita dapat mengembangkan intelektualitas, memberikan kontribusi secara efektif pada masyarakat, dan sekaligus mencapai prestasi-prestasi individual.
Trivium Plato
Pendidikan tinggi sejatinya merupakan ruang belajar yang memadai bagi transformasi manusia (humanus) menjadi lebih manusiawi (humanior). Dalam tradisi pendidikan tinggi di Jerman, ruang belajar ini mesti diisi dengan kualitas, yang disebut dengan hochschulreife: taraf kematangan, baik intelektual ataupun emosional, agar kita dapat menempuh pendidikan lebih lanjut.
Lanskap kematangan tersebut antara lain berbentuk kemampuan bernalar dan bertutur yang baik. Menurut Romo Drost, seorang pakar pendidikan Indonesia, pendidikan tinggi mengajarkan kemampuan mengendalikan nalar, dan cara berpikir yang kritis. Dimana kita akan mampu membedakan macam-macam konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa perasaan, mengolah generalisasi-generalisasi yang lemah, tidak menerima propaganda sebagai pembuktian, sekaligus mampu menjalankan kritik-diri demi objektivitas.
Kemampuan diatas dapat diperoleh dari suatu model kurikulum yang diinspirasi oleh tulisan filosof Plato, dalam master piece-nya, Republic (375 SM). Model kurikulum yang dikenal luas dengan trivium tersebut terdiri atas: gramatika (tata bahasa), retorika, dan filsafat atau logika.
Dengan gramatika, kita dididik untuk dapat menguasai sarana komunikasi (bahasa) secara memadai. Materi retorika akan membuat kita mampu bertutur secara baik, termasuk didalamnya mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, serta mampu menyesuaikan diri dengan perasaan dan kebutuhan tersebut.
Sedang pembelajaran logika akan melengkapi keterampilan trivium individu, yang memungkinkan individu memiliki kapasitas untuk menyampaikan sesuatu sedemikan rupa sehingga dapat diterima dan dimengerti oleh akal sehat orang lain.
Bagi Plato, model kurikulum dasar ini didesain untuk menyediakan metode-metode dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan esensial lainnya.
Dalam versi postmodern-nya, trivium Plato ini dielaborasikan oleh Partnership for 21st Century Skills menjadi kemampuan kognitif berlevel tinggi, yang disebut portable skill: berpikir kritis (critical thinking), membuat hubungan antar gagasan (making connections between ideas) dan mengetahui bagaimana belajar dengan berkelanjutan (knowing how to keep on learning).
Bagaimanapun, beberapa ahli pendidikan meyakini bahwa di setiap tingkatan lembaga pendidikan juga terdapat suatu kurikulum tersembunyi, yang tidak terkait dengan isi apa yang diajarkan, tetapi lebih mengenai proses dari apa yang sebenarnya terjadi.
Dan pendidikan tinggi, seperti penuturan Claude Levi-Strauss dalam A World on the Wane, lebih banyak mentransfer pola-pola intelektual pada diri kita. Menurut Levi-Strauss, lima tahun di Universitas Sorbonne mengajarinya bentuk latihan mental dalam memecahkan berbagai masalah, layaknya dinamika tesis-antitesis-sintesis.
Tuesday, December 02, 2008
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS DIFABEL
Kode genetik terpenting dalam peradaban global saat ini adalah media informasi. Superioritas media sebagai agen peradaban tercermin dari kapasitasnya dalam membangun opini publik, mengarahkan gaya hidup dan trend pemikiran.
Media dapat menghibur, mengajar, mendidik, sekaligus menyesatkan kita. Tanpa henti, dengan variasi yang tidak pernah berakhir. Seringkali kita mengikuti arus, bereaksi pada isu-isu tertentu akibat stimulus media.
Salah satu produksi persuasif media adalah ritual untuk memperingati hari-hari tertentu. Di bulan Desember ini, salah satu hari yang paling populer adalah 1 Desember, yang lazim diperingati sebagai Hari AIDS internasional.
Dan umumnya, pada sisi yang kontras, kelesuan publisitas mengakibatkan hal-hal tertentu terlupakan. Seperti peringatan Hari Penyandang Cacat Internasional pada tanggal 3 Desember. Banyak diantara kita mungkin tidak mengetahui, atau tahu tapi kurang peduli terhadap eksistensi peringatan ini.
Padahal, bentuk-bentuk ekspresi sosial telah digunakan oleh penyandang cacat, atau belakangan disebut dengan difabel (different ability, bukan disabled ability), di berbagai Negara. Bukan sekedar mengekspresikan eksistensi, komunitas difabel juga berusaha mereduksi paradigma negatif masyarakat terhadap keberadaan mereka.
Ritual peringatan tahunan Hari Penyandang Cacat Internasional, seringkali terinspirasi dan dihubungkan dengan aksi duduk penyandang cacat Amerika Serikat di kantor Federal San Fransisco, sepanjang tahun 1977. Aksi ini merupakan manifestasi pemeliharaan rasa bangga dan solidaritas dalam komunitas difabel.
Masyarakat Kelas Dua
Penyandang cacat terkadang dihakimi sebagai ‘an existence which should not exist’. Mereka merupakan eksistensi yang seharusnya tidak ada. Dan tanpa kita sadari, kelompok difabel ini telah tersub-ordinasi menjadi masyarakat kelas dua. Suatu prototipe masyarakat yang didesain untuk menerima diskriminasi fisik dan non-fisik.
Diskriminasi ini bahkan dilakukan oleh orangtua. Diantaranya dengan mengisolasi anak cacatnya dalam rumah, membatasi relasi sosial anak dengan dunia luar, dan membuatnya tampak tidak berdaya.
Fungsi tradisional keluarga seakan tenggelam ditengah able-bodied culture, sejenis budaya eugenik dalam masyarakat yang memberi label orang cacat sebagai nasib buruk.
Budaya able-bodied ini tercermin dalam kristalisasi nilai-nilai tertentu yang menjadi norma sosial, sebuah penindasan samar yang terlembagakan mengenai habituasi mengasihani diri sendiri, hingga ketergantungan pada rumah, lembaga sosial dan masyarakat.
Budaya able-bodied ini juga memaksa komunitas difabel menempuh pendidikan yang kurang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut sebagai segregasi pendidikan. Pendidikan yang membedakan mereka dengan kaum ‘normal’. Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sejak lama, dan mengasingkan mereka dari lingkungan sosial. Komunitas difabel tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal.
Lebih mencemaskan lagi, ketika anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang baik. Bagaimana mereka dapat berempati dan bersimpati kepada teman mereka yang berkemampuan berbeda, jika mereka sendiri tidak pernah bergaul dengan kelompok difabel ini.
Keadaan masif yang tercipta tentang buruknya posisi komunitas difabel di Indonesia ini juga merupakan produk dari kelambanan sejarah perubahan di negeri ini. Lambannya pemerataan pembangunan, kualitas pendidikan yang mencemaskan, tersendatnya penanggulangan krisis ekonomi dan kemiskinan, ataupun pemberantasan korupsi, membuat fokus terhadap pemberdayaan komunitas difabel merupakan prioritas kesekian dari produk kebijakan-kebijakan publik pemerintah.
Dengan demikian, untuk merangsang perubahan yang lebih progresif, maka upaya mentransformasi contoh-contoh terbaik dalam lanskap gerakan persamaan hak asasi komunitas difabel di berbagai belahan dunia menjadi begitu penting. Salah satu keberhasilan terbaik adalah Independent Living Movement di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 70-an, dan di Jepang sebagai pengikut terbaiknya satu dekade kemudian.
Kemandirian
Independent Living merupakan filosofi gerakan yang terkait dengan penyediaan layanan bagi penyandang cacat berbasis masyarakat. Sebuah sistem berpikir dan cara hidup yang meng-integrasikan kemandirian dan alternatif untuk menjalani kehidupan berlandaskan self-help (menolong diri sendiri).
Pusat-pusat Independent Living di Amerika Serikat dan Jepang umumnya memiliki program semisal peer-counseling (konseling swa-kelompok), pendampingan bagi komunitas difabel, dan pelayanan rumah singgah.
Berbagai program tersebut mentransfer sikap, tingkah laku dan skill sosial yang dibutuhkan komunitas difabel untuk hidup di masyarakat. Kompetensi-kompetensi diatas didapat melalui kelas-kelas peningkatan kepercayaan diri, motivasi untuk hidup, dan proses belajar yang bertujuan memperkuat self esteem dari setiap individu (Tsutsumi & Higuchi, 1998).
Dengan visi besar Independent Living-lah, komunitas difabel di kedua negara maju tersebut menjadi organisasi modern yang cukup mapan, memiliki kapasitas bertahan dan bernegosiasi dengan pemerintah secara memadai.
Penyandang cacat di Amerika dan Jepang telah dapat hidup independen, dengan sarana-sarana publik yang aksesibel bagi mereka. Kemandirian ini sekaligus meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam menikmati hidup. Pencapaian-pencapaian ini tentu saja membutuhkan organisasi gerakan yang kuat dan proses panjang.
Bagaimanapun, peringatan tahunan Hari Penyandang Cacat Internasional ini bukan sekedar sebagai medium sosialisasi bagi gerakan kemandirian komunitas difabel, tetapi juga menjadi embrio berkelanjutan yang mencerahkan kesadaran etis masyarakat.
Kesadaran yang diawali ketika para orang tua tidak lagi malu dan mengurung anaknya yang cacat di rumah, yang ditopang dengan pendataan jumlah individu difabel secara lebih akurat, serta ketika tata ruang publik mencerminkan lingkungan bersahabat yang manusiawi, yang memberikan kemudahan bergerak dan ‘ramah orang cacat’.
Juga ketika kita mulai memandang penyandang cacat dengan lebih baik, mengenalinya dengan komunitas berkemampuan berbeda (different ability), bukan tidak berkemampuan (disabled), serta tidak menjadikannya sebagai manusia eksklusif (yang patut dikasihani).
Yang jauh lebih penting adalah ketika organisasi difabel mengekspresikan apa yang mereka butuhkan, seperti keyakinan yang selama ini mulai dikembangkan: ‘jangan pernah membicarakan hak-hak difabel, tanpa melibatkan kita (penyandang cacat)’.
Pada akhirnya, pertanyaan penting selanjutnya bagi kita adalah mengapa isu tentang komunitas difabel ini penting? Bahkan bagi orang yang tidak cacat sekalipun. Jawabannya mungkin persis sama dengan bagaimana kita seharusnya menyikapi fenomena kemiskinan.
Empati yang dangkal, pengabaian kronis dalam masyarakat terhadap orang-orang yang kurang beruntung misalnya, ataupun tidak adanya energi tersisa untuk memperhatikan hal-hal yang secara pragmatis tidak menguntungkan kita. Ketidak-pedulian sosial ini adalah noda dalam identitas kemanusiaan kita.
Berbagai permasalahan sosial, seperti kemiskinan ataupun eksistensi komunitas dfabel, bukan sekedar beranalogi bagaimana kalau besok kita cacat atau menjadi miskin. Semuanya bisa saja terjadi. Tetapi, yang kita perlukan adalah proses menggugah kesadaran serta mengembangkan masyarakat yang saling menolong, mengaktualisasikan kembali kolektivitas dan struktur keramahan kita, yang ironisnya mulai berkurang belakangan ini. Padahal, menurut keyakinan banyak ahli sosial Eropa, masyarakat yang inklusif adalah berakar dari negara agraris, seperti Indonesia!
Media dapat menghibur, mengajar, mendidik, sekaligus menyesatkan kita. Tanpa henti, dengan variasi yang tidak pernah berakhir. Seringkali kita mengikuti arus, bereaksi pada isu-isu tertentu akibat stimulus media.
Salah satu produksi persuasif media adalah ritual untuk memperingati hari-hari tertentu. Di bulan Desember ini, salah satu hari yang paling populer adalah 1 Desember, yang lazim diperingati sebagai Hari AIDS internasional.
Dan umumnya, pada sisi yang kontras, kelesuan publisitas mengakibatkan hal-hal tertentu terlupakan. Seperti peringatan Hari Penyandang Cacat Internasional pada tanggal 3 Desember. Banyak diantara kita mungkin tidak mengetahui, atau tahu tapi kurang peduli terhadap eksistensi peringatan ini.
Padahal, bentuk-bentuk ekspresi sosial telah digunakan oleh penyandang cacat, atau belakangan disebut dengan difabel (different ability, bukan disabled ability), di berbagai Negara. Bukan sekedar mengekspresikan eksistensi, komunitas difabel juga berusaha mereduksi paradigma negatif masyarakat terhadap keberadaan mereka.
Ritual peringatan tahunan Hari Penyandang Cacat Internasional, seringkali terinspirasi dan dihubungkan dengan aksi duduk penyandang cacat Amerika Serikat di kantor Federal San Fransisco, sepanjang tahun 1977. Aksi ini merupakan manifestasi pemeliharaan rasa bangga dan solidaritas dalam komunitas difabel.
Masyarakat Kelas Dua
Penyandang cacat terkadang dihakimi sebagai ‘an existence which should not exist’. Mereka merupakan eksistensi yang seharusnya tidak ada. Dan tanpa kita sadari, kelompok difabel ini telah tersub-ordinasi menjadi masyarakat kelas dua. Suatu prototipe masyarakat yang didesain untuk menerima diskriminasi fisik dan non-fisik.
Diskriminasi ini bahkan dilakukan oleh orangtua. Diantaranya dengan mengisolasi anak cacatnya dalam rumah, membatasi relasi sosial anak dengan dunia luar, dan membuatnya tampak tidak berdaya.
Fungsi tradisional keluarga seakan tenggelam ditengah able-bodied culture, sejenis budaya eugenik dalam masyarakat yang memberi label orang cacat sebagai nasib buruk.
Budaya able-bodied ini tercermin dalam kristalisasi nilai-nilai tertentu yang menjadi norma sosial, sebuah penindasan samar yang terlembagakan mengenai habituasi mengasihani diri sendiri, hingga ketergantungan pada rumah, lembaga sosial dan masyarakat.
Budaya able-bodied ini juga memaksa komunitas difabel menempuh pendidikan yang kurang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut sebagai segregasi pendidikan. Pendidikan yang membedakan mereka dengan kaum ‘normal’. Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sejak lama, dan mengasingkan mereka dari lingkungan sosial. Komunitas difabel tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal.
Lebih mencemaskan lagi, ketika anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang baik. Bagaimana mereka dapat berempati dan bersimpati kepada teman mereka yang berkemampuan berbeda, jika mereka sendiri tidak pernah bergaul dengan kelompok difabel ini.
Keadaan masif yang tercipta tentang buruknya posisi komunitas difabel di Indonesia ini juga merupakan produk dari kelambanan sejarah perubahan di negeri ini. Lambannya pemerataan pembangunan, kualitas pendidikan yang mencemaskan, tersendatnya penanggulangan krisis ekonomi dan kemiskinan, ataupun pemberantasan korupsi, membuat fokus terhadap pemberdayaan komunitas difabel merupakan prioritas kesekian dari produk kebijakan-kebijakan publik pemerintah.
Dengan demikian, untuk merangsang perubahan yang lebih progresif, maka upaya mentransformasi contoh-contoh terbaik dalam lanskap gerakan persamaan hak asasi komunitas difabel di berbagai belahan dunia menjadi begitu penting. Salah satu keberhasilan terbaik adalah Independent Living Movement di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 70-an, dan di Jepang sebagai pengikut terbaiknya satu dekade kemudian.
Kemandirian
Independent Living merupakan filosofi gerakan yang terkait dengan penyediaan layanan bagi penyandang cacat berbasis masyarakat. Sebuah sistem berpikir dan cara hidup yang meng-integrasikan kemandirian dan alternatif untuk menjalani kehidupan berlandaskan self-help (menolong diri sendiri).
Pusat-pusat Independent Living di Amerika Serikat dan Jepang umumnya memiliki program semisal peer-counseling (konseling swa-kelompok), pendampingan bagi komunitas difabel, dan pelayanan rumah singgah.
Berbagai program tersebut mentransfer sikap, tingkah laku dan skill sosial yang dibutuhkan komunitas difabel untuk hidup di masyarakat. Kompetensi-kompetensi diatas didapat melalui kelas-kelas peningkatan kepercayaan diri, motivasi untuk hidup, dan proses belajar yang bertujuan memperkuat self esteem dari setiap individu (Tsutsumi & Higuchi, 1998).
Dengan visi besar Independent Living-lah, komunitas difabel di kedua negara maju tersebut menjadi organisasi modern yang cukup mapan, memiliki kapasitas bertahan dan bernegosiasi dengan pemerintah secara memadai.
Penyandang cacat di Amerika dan Jepang telah dapat hidup independen, dengan sarana-sarana publik yang aksesibel bagi mereka. Kemandirian ini sekaligus meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam menikmati hidup. Pencapaian-pencapaian ini tentu saja membutuhkan organisasi gerakan yang kuat dan proses panjang.
Bagaimanapun, peringatan tahunan Hari Penyandang Cacat Internasional ini bukan sekedar sebagai medium sosialisasi bagi gerakan kemandirian komunitas difabel, tetapi juga menjadi embrio berkelanjutan yang mencerahkan kesadaran etis masyarakat.
Kesadaran yang diawali ketika para orang tua tidak lagi malu dan mengurung anaknya yang cacat di rumah, yang ditopang dengan pendataan jumlah individu difabel secara lebih akurat, serta ketika tata ruang publik mencerminkan lingkungan bersahabat yang manusiawi, yang memberikan kemudahan bergerak dan ‘ramah orang cacat’.
Juga ketika kita mulai memandang penyandang cacat dengan lebih baik, mengenalinya dengan komunitas berkemampuan berbeda (different ability), bukan tidak berkemampuan (disabled), serta tidak menjadikannya sebagai manusia eksklusif (yang patut dikasihani).
Yang jauh lebih penting adalah ketika organisasi difabel mengekspresikan apa yang mereka butuhkan, seperti keyakinan yang selama ini mulai dikembangkan: ‘jangan pernah membicarakan hak-hak difabel, tanpa melibatkan kita (penyandang cacat)’.
Pada akhirnya, pertanyaan penting selanjutnya bagi kita adalah mengapa isu tentang komunitas difabel ini penting? Bahkan bagi orang yang tidak cacat sekalipun. Jawabannya mungkin persis sama dengan bagaimana kita seharusnya menyikapi fenomena kemiskinan.
Empati yang dangkal, pengabaian kronis dalam masyarakat terhadap orang-orang yang kurang beruntung misalnya, ataupun tidak adanya energi tersisa untuk memperhatikan hal-hal yang secara pragmatis tidak menguntungkan kita. Ketidak-pedulian sosial ini adalah noda dalam identitas kemanusiaan kita.
Berbagai permasalahan sosial, seperti kemiskinan ataupun eksistensi komunitas dfabel, bukan sekedar beranalogi bagaimana kalau besok kita cacat atau menjadi miskin. Semuanya bisa saja terjadi. Tetapi, yang kita perlukan adalah proses menggugah kesadaran serta mengembangkan masyarakat yang saling menolong, mengaktualisasikan kembali kolektivitas dan struktur keramahan kita, yang ironisnya mulai berkurang belakangan ini. Padahal, menurut keyakinan banyak ahli sosial Eropa, masyarakat yang inklusif adalah berakar dari negara agraris, seperti Indonesia!
Subscribe to:
Posts (Atom)