Monday, March 31, 2008

PENCERAHAN MELALUI BACAAN

Karl Marx, pundit filsafat Jerman modern yang paling terkenal, menyebut dua basis terpenting bagi gerakan kelas: pendidikan dan tindakan. Pendidikan bertujuan mencerahkan pengetahuan, sedang tindakan adalah interpretasi atas filsafat acte (aksi) dalam rangka mereformasi realitas ketertindasan mereka.


Gagasan Marx, yang dipengaruhi dialektika Hegel dan antropo-teologi Feurbach, menginspirasi banyak gerakan kelas tertindas di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia, yang kesadaran kelas tertindasnya dibangkitkan oleh kelompok terdidik dan ulama berlandaskan teologi pembebasan.


Pemimpin pergerakan memandang kesadaran akan realitas, yang salah satunya digugah melalui pendidikan dan produksi bacaan, adalah skema tak terpisahkan dari mesin pergerakan. Produksi bacaan yang berbentuk surat-kabar, novel, buku, syair sampai teks lagu, adalah alat penyampai pesan perlawanan dari organisasi pergerakan untuk masyarakat.


Jauh sebelum Balai Poestaka (BP), yang berhubungan erat dengan Het Kantoor voor Inlandsze Zaken (Kantor Urusan Bumiputra), menjadi bacaan mainstream masyarakat dengan semangat politik etisnya, peran peranakan Eropa dan Tionghoa dalam produksi bacaan cukup kental pada paruh abad 19.


Percetakan peranakan Tionghoa telah menerbitkan surat-kabar berbahasa Melayu yang terbit di Jawa: Soerat Chabar Betawie (terbit tahun 1858), Selompret Melajoe (1860) dan Bintang Soerabaja (1860). Pada awal abad 20, bacaan-bacaan berlatar cerita asli dan sejarah Indonesia baru diintroduksi oleh dua jurnalis peranakan, FH Wiggers dan H Kommer, serta jurnalis keturunan Manado, F Pangemanan.


Produksi Bumiputra

Kaum bumiputra yang bisa disebut perintis fiksi modern adalah RM Tirtoadhisoerjo. Karyanya antara lain Doenia Pertjintaan (1906) dan 101 Tjerita Yang Soenggoe Terjadi Di Tanah Priangan (1906). Tirtoadhisoerjo juga menulis artikel politik paling awal berjudul Boycott di surat-kabar Medan Priyayi, yang juga dijadikan dasar untuk melawan para pemilik perusahaan gula.


Melalui rumah cetaknya sendiri, NV Javaanche Boekhandel, Tirtoadhisoerjo menerbitkan berbagai tulisan politik untuk dikonsumsi masyarakat pribumi. Diantaranya adalah: Bangsa Tjina Di Priangan (dimuat di Soenda Berita pada tahun 1904), Peladjaran Boeat Perempoean Boemipoetera (Soenda Berita, 1904), Satoe Politik di Banjumas (Medan Priyayi, 1909), Kekedjaman Di Banten (Medan Priyayi, 1909), hingga Oleh-Oleh Dari Tempat Pemboeangan (Perniagaan, 1910).


Tulisan-tulisan RM Tirtoadhisoerjo, pesatnya pertumbuhan rumah cetak di Hindia selama 1910-an, dan pendirian perhimpunan-perhimpunan untuk menentang kebijakan kolonial yang kebanyakan didanai oleh saudagar-saudagar batik, telah mendorong beberapa tokoh pergerakan untuk menerbitkan bacaaan provokatif khas kelas tertindas.


Seperti yang dilakukan Mas Marco Kartodikromo melalui Mata Gelap (terbit di Bandung tahun 1914), Student Hidjo (1918), Matahariah (1919), dan Rasa Mardika (1918). Termasuk para intelektual pergerakan yang juga penulis profilik; Soeardi Soerjaningrat, dr Tjipto, Douwes Dekker, Abdoel Moeis, Soetan Sjahrir, dan banyak yang lainnya.


Hingga penulis kiri dengan mainstream literatuur socialistisch, yang bernaung dibawah Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI, seperti Semaoen (Hikayat Kadiroen, 1920) dan Darsono (Giftige Waarheispijlen, ‘Pengadilan Panah Beratjun’, 1918).


Berbekal spektrum revolusioner dan radikal, pelbagai produksi bacaan diatas merupakan tindakan politik yang sadar; sebuah upaya penyadaran kognitif atas penindasan kolonial dan kemiskinan kaum pribumi.


Paul Tickell, yang meneliti Student Hidjo dan Hikayat Kadiroen, mengemukakan bahwa bacaan yang diproduksi oleh kaum nasionalis radikal, secara sadar atau tidak sadar telah mengajarkan kepada kaum bumiputra untuk mengenali hakikat penindasan dan sekaligus mengagitasi mereka untuk melakukan perlawanan.***

1 comment:

Ahmad Rafsanjani said...

Tulisan ini juga di muat di harian lokal, Pikiran Rakyat,
Kamis, 3 April 2008.