Dalam suatu 'Kongres Internasional Menentang Imperialisme & Penindasan Kolonial' di Brussel pada 10-15 Februari 1927, berkumpul sejumlah aktivis-aktivis muda dari berbagai belahan dunia.
Kongres dengan visi menentang imperialisme tersebut, diantaranya dihadiri oleh Jawaharlal Nehru (India), Liau Hansin (China), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), hingga Mohammad Hatta dan Ahmad Subardjo, yang kelak menjadi pemimpin nasional di negaranya masing-masing.
Mohammad Hatta sendiri, sebagai salah satu presidium dalam kongres tersebut, masih berstatus mahasiswa Handelshogeschool Rotterdam, di negeri Belanda.
Pada masa itu, ketika kolonialisme mulai ditentang oleh kaum muda Eropa, para mahasiswa yang mempelopori penentangan tersebut bukan sekadar mengidentifikasikan diri mereka dengan perjuangan di Aljazair, Kuba, India ataupun Indonesia; mereka memperlihatkan simpati pada seluruh perjuangan pembebasan di Dunia Ketiga.
Gerakan revolusioner kaum muda, dimanapun itu, dengan kemampuannya dalam menganalisis konsepsi mengenai kekuasaan, keadilan, dan kekuatan-kekuatan yang melestarikan suatu relasi eksploitatif, memungkinkan mereka menjadi kekuatan kepemimpinan bangsa di masa depan.
Dialektika Gerakan
Di negeri ini sendiri, mahasiswa adalah suatu gerakan otoritatif, yang sepanjang sejarah Indonesia modern terbukti mampu memicu berbagai perubahan sosial politik.
Menurut Arbi Sanit, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, dan mengenyam proses pendidikan terlama, membuat mahasiswa akan memiliki perspektif dan kepekaan yang lebih luas dalam menyikapi masalah kemasyarakatan.
Selain itu, kehidupan unik kampus dengan akulturasi sosial-budaya yang kompleks, keterlibatan dalam berbagai pemikiran dan penelitian tematik, memungkinkan mahasiswa menjadi 'kelompok pembaharuan' paling elite di kalangan kaum muda.
Hal ini kemudian diperkuat dengan perubahan sebagai karakteristik kaum muda. Inilah model Angry Young Man-nya John Osborne, dengan sikap anti kemapanannya dan hasrat besarnya untuk merekonstruksi struktur masyarakat yang nir-keadilan.
Pada masa-masa penuh perubahan sekarang, dan ketika demokratisasi terjadi dalam semua ruang kehidupan kita, maka kemungkinan terjadinya pergeseran titik tekan gerakan mahasiswa sangatlah terbuka. Manifestasi gerakan mahasiswa mungkin akan ter-radiasi menjadi komunitas belajar yang lebih kritis dan reflektif, dibanding beraktivitas dalam dunia aksi dan penyampaian aspirasi semata.
Melalui desain yang lebih progresif, dapat diciptakan suatu interaksi mutual antara mahasiswa dan masyarakat sebagai basis keberadaban (public civility) alternatif, berbentuk komunitas belajar. Sinergi antara mahasiswa dan masyarakat sebagai 'warga belajar' akan meningkatkan kemampuan kolektif masyarakat untuk beradaptasi secara lebih cerdas, sekaligus untuk menghadapi benturan peradaban dan kemajuan.
Dengan demikian, kebutuhan redefinisi dan revitalisasi gerakan, atau bisa kita sebut sebagai dialektika gerakan, merupakan sine qua non; suatu keharusan agar gerakan mahasiswa tidak kehilangan konteks zamannya dan tetap 'mengakar' pada kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Sehingga kehidupan kampus bukan sekedar dituntut untuk mengkloningkan individu-individu yang selalu merasa tidak puas dan menginginkan perubahan, tapi juga individu yang mampu melihat arah perubahan tersebut, memulai dan menciptakan proses-prosesnya, serta men-share hasrat kemajuan yang tertanam di dalam dirinya.
Regenerasi Tanpa Henti
Satu keunggulan komparatif lain dari 'gerakan pembaharuan' ini adalah sifat regenerasi alamiahnya, yang memungkinkan kelompok mahasiswa tidak pernah kehabisan sumber daya manusia untuk meneruskan estafet gerakan.
Setiap tahun mahasiswa-mahasiswa lama lulus dan pergi meninggalkan kampus, namun mahasiswa-mahasiswa baru selalu saja ada untuk menggantikan mereka: memperbaharui kesadaran, memodernisasikan pola-pola pergerakan, memperkaya perspektif, serta kembali meningkatkan kepekaan dan hakikat eksistensial dari gerakan ini.
Perpindahan generasi diatas turut memperkuat resistensi gerakan mahasiswa. Dimana, meski seringkali harus berhadapan dengan upaya disorientasi yang pervasif dari penguasa, namun roh gerakan mahasiswa tetap hidup, bahkan tetap narsistik diantara ancaman kekerasan politik.
Realitas ini kemudian membuat potret gerakan mahasiswa tidak hanya menyiratkan gerakan berbasis aksi massa. Tetapi juga model gerakan perjuangan yang diawali oleh 'kesadaran pembaharuan', didorong oleh generasi terpelajar yang menghadirkan organisasi pergerakan dan serangan intelektual bagi rezim penguasa, demi mencapai pembaharuan sosial-politik secara berkelanjutan.
Bagaimanapun, regenerasi ini, ditopang oleh visi dan kualitas pendidikan yang memadai, sejatinya akan terus mampu memproduksi sekelompok generasi terpelajar, dengan kode genetik utamanya terdiri atas: berpikir kritis, mampu membuat hubungan antar gagasan, dan mengetahui bagaimana mewujudkan suatu kebaikan tertinggi mengenai keikhlasan dan kerelaan bawaan (yang diekspresikan dalam sikap saling menolong dan intuisi simpatetis pada esensi penderitaan orang lain).
Jika tetap mampu mempertahankan idealisme komunitasnya, gerakan intelektual ini, sekelompok angry young man-nya John Osborne ataupun anak-anak muda yang selalu tidak puas ini, dalam kearifan sejarah, merupakan salah satu kekuatan perubahan yang patut diperhitungkan.
‘Jangan diam sebelum mati, sebab diam adalah mati sebelum mati’
®Juga dipublikasikan pada harian lokal, SATELIT NEWS, 280807
No comments:
Post a Comment