MEMAKNAI HARI KARBALA
“Sesungguhnya, putraku Husain, akan terbunuh di bumi Irak. Maka barangsiapa mendapatinya, hendaklah membelanya” (Ali ibn Abu Thalib dalam Kitab Kanzul-Ummmal, karya Al-Shawaiq & Al-Mutaqqi)
Karl Raimund Popper, filosof dari Austria, menegaskan bahwa sejarah tidak memiliki arti. History has no meaning. Fakta masa lalu sekedar fakta masa lalu, yang tidak pernah memiliki arti pada dirinya sendiri; kecuali kalau kita, yang hidup di zaman sekarang, memutuskan untuk memberi arti pada suatu peristiwa sejarah tersebut.
Dengan maksud memberi makna inilah, Khalid Muhammad Khalid memutuskan untuk menulis Abna’u Ar Rasul Fi Karbala, yang dalam edisi terjemahannya berjudul Tentara Langit Di Karbala.
Khalid Muhammad Khalid, penulis Mesir yang terkenal melalui buku Rijal Haula Al-Rasul Saw, mengajak kita untuk kembali ke Karbala, pada 10 Muharram di tahun 61 Hijriah. Saat dimana Husain ibn Ali, cucu Rasul Allah, bersama 72 pengikutnya terdesak di padang Karbala, dan akhirnya memperoleh kematian mulia di hadapan empat ribu tentara Abdullah ibn Ziyad, penguasa Bashrah dan Kufah.
Peristiwa Karbala, yang juga dikenal dengan sebutan Asyura, dalam buku ini diceritakan kembali oleh Khalid melalui penuturan lugas, diperkaya dengan ungkapan-ungkapan penghormatan yang emosional dan mendalam.
Pada tujuh bagian di bukunya tersebut, berbagai sisi Hari Karbala disampaikan untuk kita: dari latar belakang Husain dan keluarga Nabi (Ahlul Bayt), penyebab konflik yang terkait dengan kepemimpinan Islam, mengapa Husain berkeras untuk memenuhi undangan warga Kufah, jalannya pertempuran, momen ketegaran kaum minoritas yang rela mengorbankan nyawa sebagai akhir dari tragedi umat Islam itu, hingga usaha untuk menginterpretasikan pesan-pesan dari Hari Karbala.
Melalui buku ini, kita seperti diajak untuk melihat bagaimana rombongan Husain didesak oleh seribu tentara pimpinan Al-Hurr ibn Yazid Al-Tamimi menuju Karbala, yang memisahkan rombongan itu dari sungai Furat. Kita juga seperti berkhidmat bersama salah satu pengikut Husain, Nafi’ ibn Hilal, yang tetap menghabiskan separuh malam di Karbala untuk menulis kitab Ala Sihami Nubulihi.
Termasuk melihat Husain memimpin pasukan yang kecil, dengan Zuhair ibn Qiyan di sebelah kanan dan Habib ibn Mazhhar di sebelah kirinya, dalam suatu pertempuran tidak seimbang, dan diakhiri dengan syahidnya Husain di tangan Syimr ibn Dzil Jun.
Seperti apa yang diharapkan penulisnya, buku ini bukan hanya dapat memperkaya perspektif kita mengenai Hari Karbala sebagai fakta masa lalu. Tapi juga dapat menjadi potret sejarah mengenai perayaan kebenaran dan festival pengorbanan dari orang-orang yang berpegang teguh pada agamanya.
Kematian Husain ibn Ali sebagai martir Ahlul Bayt, juga diterjemahkan umat Islam (terutama Syiah) sebagai pengorbanan total untuk menegakkan keadilan. Apakah kita juga melihat perjuangan Husain di Karbala sebagaimana yang dimaknai Khalid Muhammad Khalid, adalah bergantung pada kita yang ‘membaca’ peristiwa itu di zaman sekarang. Karena hal inilah, buku ini menjadi layak untuk dibaca.***
No comments:
Post a Comment