Wednesday, February 27, 2008

PEREMPUAN DALAM LOTENG

Proyek besar feminisme selain kesamaan hak dan kesetaraan gender, adalah program pemberdayaan perempuan sebagai anti-tesis dari feminisasi kemiskinan. Termasuk didalamnya peningkatan partisipasi perempuan dalam pelbagai hal: pendidikan, kesehatan, politik hingga pengambilan keputusan publik.

Untuk beberapa hal, semisal partisipasi politik perempuan, ide-ide feminisme merupakan diskursus klasik. Plato, dalam The Republic, menyebut partisipasi politik perempuan sebagai ‘bagian dari hubungan alami antar kedua jenis kelamin’. Saat itu, melihat beberapa perempuan yang sudah aktif dalam sistem politik bukanlah sesuatu yang radikal. Plato meyakini bahwa kecerdasan dan etika tidak dibatasi oleh kelas, etnis ataupun gender tertentu.

Namun demikian, keyakinan Plato tersebut sekedar meta-narasi klasik dalam dunia ide. Selama-berabad-abad, seperti keyakinan para feminis, mayoritas masyarakat kita bersifat ‘patriakal’. Masyarakat kita didominasi dan dibentuk oleh laki-laki. Perempuan dikungkung oleh struktur dan harapan laki-laki, yang dikenal dengan penindasan patriakal.

Dalam zaman modern, kampanye untuk hak-hak perempuan dimulai pada abad 18 selama masa Pencerahan. Pencerahan, aukflarung, atau abad akal budi, adalah masa dimana para pemikir percaya bahwa ‘manusia adalah ukuran bagi segalanya’.

Melalui Pencerahan, dalam Critique of Pure Reason (1781), Immanuel Kant menegaskan bahwa kodrat manusia berada dalam kemajuan, bukan pada kepercayaan masa lampau. Dunia telah semakin dewasa.

Filsafat Pencerahan yang menekankan lingkungan dan pendidikan, membantu mengatasi perbedaan-perbedaan antar gender yang pernah diketahui. Dengan ini, kualitas-kualitas bawaan dalam manusia, yang menjadi nilai stereotype laki-laki dan perempuan, disangkal.

Stereotype maskulinitas dan feminitas disangkal. Bahwa laki-laki harus aktif dan agresif, dan perempuan pasif; bahwa anak laki-laki ‘secara kodrati’ nakal, dan dizinkan untuk berpetualang, sedangkan anak perempuan ‘secara kodrati’ baik sehingga perlu ‘dipenjara’ untuk menjadi manis di rumah; adalah ide-ide yang disangkal oleh filsafat Pencerahan.

Perdebatan filsafat Pencerahan adalah derivasi yang memicu filsafat feminisme. Filsafat yang diyakini akan merubah secara radikal mengenai cara kita berpikir mengenai dunia laki-laki dan perempuan.

Literasi Feminisme

Literatur bercorak feminis masa itu yang menjadi bagian dari agenda reformasi perempuan diantaranya adalah Progress of Human Mind (1789), karya penulis Prancis Condorcet, dan buku Olympe de Gouges, Declaration of the Rights of Women (1789). De Gouges sendiri adalah seorang anak tukang daging yang dididik secara otodidak, yang memimpin perempuan dari berbagai kelas untuk menentang bias gender dalam Deklarasi Prancis atas Hak Manusia saat itu.

Polarisasi terhadap ide-ide patriakal juga dinyatakan dengan jelas oleh Mary Wollstonecraft, dalam A Vindication of the Rights of Women (1792). Buku Mary merupakan salah satu pernyataan feminis paling awal di Inggris, dimana ideal Pencerahan dalam buku itu mengenai ‘hak-hak yang sama’ tetap bertahan hingga sekarang. Ide provokatif mengenai feminisme selanjutnya datang dari John Stuart Mill dalam esainya The Subjection of Women (1869).

Setelah mengalami moratorium selama perang dunia, feminisme kembali menjadi bagian dari agenda pemikiran posmodernitas. Gerakan feminisme baru dan radikal ini bukan sekedar menganalisa subordinasi perempuan, tapi juga relasi eksploitatif atas perempuan.

Buku penting feminisme radikal ini antara lain adalah The Second Sex (1949) oleh Simone de Beauvoir, The Feminine Mystique (1963) karya Betty Friedan, buku Germain Greer dengan judul The Female Eunuch (1971), Faces of Feminism (1981) milik Olive Banks, hingga karya mencerahkan dari Mary Mellor, Breaking the Boundaries: Towards a Feminist Green Socialism (1992).

Pada negara-negara dunia ketiga, feminisme dikaitkan dengan hibrida poskolonial. Dimana perempuan dunia ketiga telah menanggung beban penindasan ganda: dari bangsa kolonial dan dari kaum lelaki pribumi.

Poskolonialisme mempostulatkan perempuan di dunia ketiga sebagai korban par excellence, korban dari ideologi imperial dan patriarki pribumi. Perempuan dunia ketiga adalah subaltern gendered, kelas-kelas inferior yang tertindas. Termasuk di Indonesia, dengan potret yang paling sering disebut, RA Kartini.

Sama seperti visi feminis di belahan dunia lain, Chandra Talpade Mohanty dalam esai Under Western Eyes: Feminist Scholarship & Colonial Discourses (1994), melihat bahwa upaya-upaya desakralisasi subordinasi perempuan di negara dunia ketiga adalah proses berganda dalam ‘mengeluarkan perempuan (lain) dari loteng, mengeluarkan perempuan dari ruang gelap tersebut’.

Bagaimanapun, perkembangan literasi feminisme dalam etika Gramscian, merupakan bagian dari counter-hegemony terhadap ide-ide maskulinitas yang mendominasi dunia material dan simbolis masyarakat di seluruh dunia.***

No comments: