Wednesday, February 27, 2008

PENGARUH EKSISTENSIALISME

Man is nothing else but his plan; he exists only to the extent that he fulfills himself; he is therefore nothing else than the ensemble of his acts, nothing else than his life

(Jean-Paul Sartre, Existentialism & Human Emotions, 1946:32)

Sebelum psikologi modern membuka dirinya pada pemikiran (school of thought) berbasis emosi dan spiritual yang transenden, psikologi terlebih dahulu dipengaruhi oleh ide-ide humanistik.

Psikologi humanistik berpusat pada diri, holistik, terobsesi pada aktualisasi diri, serta mengajarkan optimisme mengenai kekuatan manusia untuk mengubah diri mereka sendiri dan masyarakat.

Psikologi humanistik begitu dekat, dan mungkin saling berhubungan secara elusif dengan penyembahan diri dan eksistensialisme.

Perpaduan antara akar-akar eksistensialisme, teori mengenai diri, kehampaan eksistensial (terutama pada masyarakat Barat) dan kebutuhan untuk mengisinya, serta ekspansi komersialisasi, telah membuat psikologi-diri menjadi agama zaman baru, religion of new age.

Sebuah psikologi-diri yang hanya menegaskan apa yang diyakini para pemikir humanistik mengenai ‘manusia adalah ukuran bagi segalanya’.

Sastra Eksistensial

Meta-narasi eksistensialis bukan hanya mempengaruhi psikologi, tapi juga sastra, politik, teologi, hingga model pendidikan zaman sekarang.

Dalam khazanah sastra sendiri, beberapa penulis (semisal Franz Kafka, Samuel Beckett, Albert Camus ataupun Fyodor Dostoevsky) dikenal luas melalui tulisan-tulisan yang kental dengan kualitas eksistensialis.

Selain mengajukan pertanyan-pertanyaan bersifat pencarian diri, para penulis eksistensialis itu juga menyatakan visi keprihatinan mengenai masalah-masalah ilusif yang mesti dihadapi individu dalam karya mereka.

Beberapa eksistensialis sayap kanan (Soren Kierkegaard, Gabriel Marcel, Martin Buber, hingga Nicolai Berdyaev) juga memberikan trade-mark khas dalam penulisan sastra; yakni menulis sesuai dengan hati dan tujuan, tetapi tanpa metodologi.

Motif utama mereka terkait dengan penciptaan ruang yang lebih luas bagi emosi, sekaligus sebagai reaksi balik terhadap rasionalisme kaku Rene Descartes dan idealisme klise Hegelian.

Motif tersebut membentuk keyakinan ideologis akan filsafat aktual ini dalam ‘pembolehan prinsip yang berbeda satu dengan yang lain’. Prinsip berbeda dan kepercayaan pada diri ini telah menjadi model yang sangat berpengaruh pada pertengahan akhir abad 20.

Filsafat Diri

Eksistensialisme sendiri adalah filsafat pemberontakan; yang dalam cara-cara tertentu dapat dilihat sebagai pemberontakan romantisme melawan ide Pencerahan Eropa yang terlalu menekankan sistem dan rasionalitas.

Kata eksis, secara harfiah berarti ‘berdiri tegak melawan’. Dan para filsuf eksistensialis telah menekankan pentingnya manusia ‘berdiri tegak’ melawan dunia, masyarakat dan cara berpikir yang membatasi kebebasannya.

Eksistensialisme berarti filsafat mengenai saya, dan bagaimana saya hidup.

Dengan demikian, eksistensialisme adalah filsafat subyektif mengenai diri. Hal ini terlihat pada ide-ide dari tiga eksistensialis terbesar Eropa: Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger (1889-1976) dan Jean-Paul Sartre (1905-1980).

Eksistensialisme Kierkegaard tercapai karena menemukan diri di hadapan Tuhan. Bagi Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang sangat berpengaruh, diri terkait dengan ‘pengada otentik’, atau kecerdasan identitas.

Sementara bagi Sartre, diri serupa dengan konsep Descartes, tetapi dengan meniadakan Tuhan. Diri bagi Sartre adalah pengakuan atas Tuhan. Karena, dalam menciptakan manusia yang kita inginkan, tak ada satupun dari tindakan-tindakan kita yang tidak sekaligus menciptakan gambaran tentang manusia sebagaimana ia seharusnya.

Dalil diataslah, menurut Sartre lagi, yang menggambarkan diri kita sebagai ‘Tuhan kecil’ yang berada atau menyatu dalam diri kita, sekaligus yang ‘memiliki kebebasan kita’ seperti sebuah kebajikan metafisik (Being & Nothingness, 1943:42)***

No comments: