Wednesday, February 27, 2008

INTEGRITAS KEPEMIMPINAN

Ditengah polemik aliran dana non-budgeter DKP, dan pertikaian politik (politicking) antar elite-elite nasional beberapa waktu yang lalu, muncul kabar mengejutkan dari negeri Jepang mengenai bunuh diri menteri Toshikatsu Matsuoka (29/05).

Menteri pertanian, kehutanan dan perikanan Jepang tersebut gantung diri, beberapa jam sebelum menjalani pemeriksaan atas skandal politik dan korupsi yang disangkakan padanya.

Kedua perbincangan publik diatas memang tidak berkaitan secara langsung satu sama lain. Akan tetapi, kasus bunuh diri seorang menteri merupakan pelajaran yang sangat berharga mengenai pentingnya integritas individual, implementasi nyata dari tanggung jawab moral dan budaya malu pada pemimpin-pemimpin publik di luar sana.

Bunuh diri memang contoh ekstrim dari perasaan bersalah. Namun demikian, di Jepang dan banyak negara maju lainnya, skandal-skandal politik ataupun korupsi, dan bahkan kinerja yang tidak memuaskan, dapat memaksa pemimpin serta pejabat-pejabat publik mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moralnya.

Hal inilah yang langka terjadi di Indonesia. Selangka pemimpin-pemimpin dengan integritas (moral) yang mengesankan, semisal Bung Hatta.

Self-Awareness

Integritas sendiri adalah satu kualitas utama yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Konsepsi integritas telah disebut Plato, dalam The Republic, sekitar 25 abad yang lampau.

Dalam era postmodern sekarang, Stephen R Covey, satu dari sekian banyak pembicara kepemimpinan paling populer di dunia, memasukkan integritas dalam apa yang disebutnya sebagai ‘etika karakter’ (character ethics).

Melalui studi mendalam akan literatur-literatur tentang keberhasilan yang diterbitkan di Amerika Serikat sejak 1776, Dr Covey menemukan fakta bahwa ‘etika karakter’ (yang diantaranya meliputi integritas, kerendahan hati, keberanian, keadilan, hingga kerja keras) adalah dasar dari keberhasilan pemimpin-pemimpin di seluruh dunia.

Integritas juga berhubungan erat dengan standar-standar moral dan kejujuran intelektual yang menjadi kerangka tingkah laku kita (Warren Bennis, 2001). Tanpa integritas, kita menipu diri sendiri dan orang lain, serta meremehkan setiap usaha keras yang dilakukan.

Menurut Warren Bennis, penulis On Becoming a Leader dan juga Rektor University of Cincinnati, integritas terdiri atas tiga bagian penting: pengenalan diri, ketegasan, dan kematangan.

Pengenalan diri menjadi tugas tersulit bagi pemimpin manapun. Dengan mengenali diri sendiri, pemimpin akan memiliki seperangkat keyakinan mengenai diri mereka sendiri (self-concept) dan dapat mengintegrasikan dimensi-dimensi kualitas dari diri meraka (self-schemas) dengan nilai-nilai baik yang diakui masyarakat. Pengenalan diri adalah proposisi awal dari kematangan dan ketegasan.

Dengan pengenalan diri yang baik pula, pemimpin dapat lebih mengontrol dan mengarahkan tingkah lakunya. Dalam kajian psikologi sosial, kualitas ini dinamakan regulasi-diri (self-regulation). Dimana, aspek terpenting dari self-regulation adalah kesadaran diri (self-awareness) dan bekerjanya self-concept dengan konsisten. Self-awareness, atau kesadaran diri, akan mendorong pemimpin untuk senantiasa membandingkan dirinya dengan standar integritas moral tertentu (Journal of Personality & Social Psychology. Vol 74, 1998; 578-589).

Defisitnya kesadaran-diri individu, dan terutama inkonsistensi individu dalam mengevaluasi tindakannya terhadap standar-standar moral tertentu, merupakan derivasi dari defisitnya integritas moral seorang pemimpin.

Etika Kantian

Sedangkan untuk menelaah moralitas, kita tidak bisa mengesampingkan jejak pemikiran Immanuel Kant. Sebagai seorang filosof Pencerahan, dan dengan gaya berpikir mendekati keaslian spekulatif Plato, Kant berperan dalam meletakkan dasar-dasar Etika bagi filsafat modern. Suatu etika moral berlandaskan pada kedewasaan budi manusia.

Bagi Kant, moralitas dan juga integritas ditentukan oleh kecakapan budi kita. Dengan menggunakan budi, atau akal, individu dapat mengendalikan kehendak bebasnya, untuk kemudian menyesuaikan dengan hukum-hukum universal sesuai kesepakatan masyarakat banyak.

Dalam buku pentingnya, Critique of Pure Reason, ide-ide moral Kant terfokus pada sebuah pertanyaan ‘Apa yang harusnya saya lakukan?’ Untuk menjawab hal ini, Kant menggunakan metode pemeriksaan atas status penilaian etis (ethical judgment). Dengan metode tersebut, Kant menyimpulkan bahwa apa-apa yang ‘seharusnya’ dilakukan mesti didasarkan pada suatu hukum umum yang dapat diterapkan di semua lapisan masyarakat.

Dengan perkataan lain, apa yang harus kita lakukan, dan dengan itu kita dapat disebut bermoral, harus dipertimbangkan dari ‘apa yang akan terjadi bila setiap orang melakukan apa yang kita lakukan’. Inilah prinsip ‘perintah kategoris’, yakni prinsip dasar moralitas yang akan memampukan manusia (dengan menggunakan akal) untuk menyelesaikan permasalahan moral.

Jika kita aplikasikan pada konteks pemimpin dan kekuasaan, maka salah satu tindakan pemimpin yang dapat disebut bermoral adalah menjalankan kekuasaannya demi kebaikan seluruh masyarakat. Atau, pemimpin tidak bermoral adalah mereka yang menghabiskan dana negara untuk kebutuhan sekunder (seperti mobil, pakaian dinas ataupun alokasi makan-minum pejabat), dibanding untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, apabila pemimpin memerintah untuk kepentingan (kelompok) sendiri, ataupun berbuat sesuatu yang ‘seharusnya’ tidak dilakukan, maka kita dapat memberi label mereka sebagai pemimpin yang tidak bermoral. Seperti model ‘perintah kategoris’-nya Kant, apa jadinya jika semua pemimpin koruptif, dan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri?

Melalui etika Kantian, ukuran integritas moral dan kebaikan seorang pemimpin, ditentukan dari apa yang dilakukan pemimpin tersebut dikaitkan dengan kebaikan intrinsik dan kesesuaian pada ekspektasi rakyat. Model etika Kantian sejatinya dapat digunakan sebagai ukuran integritas moral para pemimpin dan penguasa di negeri kita.

Pertanyaan Bagi Kita

Dari pengalaman sejarah kita yang masih pendek ini, mungkin, integritas moral inilah satu-satunya kualitas utama yang paling dirasakan ‘tidak-signifikan-ada’ dalam setiap jenjang kehidupan politik kita. Realitas ini dapat dilihat dari pelbagai keluhan masyarakat akan maraknya tingkah laku yang ‘seharusnya’ tidak dilakukan pemimpin.

Selain itu, keluhan akan pemimpin yang tampak lebih mementingkan kekuasaan dibanding bekerja dengan militan untuk melayani masyarakat, juga merupakan indikasi mencemaskan dari kualitas integritas moral sebagian pemimpin kita.

Realitas ini lalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan apokaliptik terhadap sistem dalam masyarakat, semisal keluarga dan pendidikan, yang sejatinya mendukung hibrida bagi integritas moral individu. Karena, seperti kualitas baik lainnya, integritas moral dimulai dalam keluarga. Dari keluarga, nilai-nilai baik diajarkan dan diinternalisasi sejak dini. Keluarga, ditopang dengan pendidikan berkarakter, adalah penumbuh kesadaran moral individu.

Benarkah pendidikan moral (yang mengajarkan apa-apa yang ‘seharusnya’ dilakukan, termasuk mengajarkan tanggung jawab terhadap amanah pekerjaan) dan pendidikan budi pekerti dalam keluarga telah gagal?

Atau, yang sebenarnya terjadi adalah hipotesis sekelompok intelektual Jerman bermahzab Frankfurt SchĂșlĂ© (1933-1950). Bahwa masalah pemimpin menyimpang (maladaptive) dari masyarakat modern lebih disebabkan oleh dominasi racun rasio instrumental. Lebih karena pemimpin kita tidak lagi mengabdi pada kepentingan praksis moral (how to run a good life), melainkan tenggelam dalam pola pikir yang hanya melihat realitas (alam dan manusia) sebagai potensi untuk dimanipulasi, ditundukkan dan dikuasai secara total.

Racun rasio instrumental ini turut berperan bagi kecacatan budi pemimpin kita dalam mengenali apa yang ’seharusnya’ dilakukan, yang sekaligus meruntuhkan kebajikan integritas moral dalam menyelesaikan pertikaian-pertikaian moral tersebut.

Dan jika kita dipaksa untuk menggunakan penalaran etika Kantian, sebagian masyarakat mungkin mengalami kekacauan penilaian etis. Sehingga, kita kesulitan untuk menilai baik-buruknya suatu tindakan. Kita kerap mengalami disorientasi dalam bersikap terhadap pemimpin-pemimpin yang telah bertindak dengan tidak ‘seharusnya’. Paradoks inilah yang membuat kita, meminjam frasa David Hume, seperti memperlihatkan kepasrahan tersirat akan penyerahan nasib kita pada segelintir penguasa.

Bagaimanapun, dengan kondisi Indonesia yang masih mencemaskan saat sekarang, pertanyaan-pertanyaan diatas bukan lagi premis yang eccentric solipsism (eksentrik sok penting) semata, melainkan sebagai suara orang banyak yang mesti didengarkan, dan mesti direspon dengan perbaikan-perbaikan yang berarti.

Kita, masyarakat biasa dan menjadi objek utama kebijakan kekuasaan, mungkin saja tidak bisa menjawab pertanyaan provokatif diatas dengan memadai.

Kita hanya bisa mengenali, dan merasakan dampak (minimnya integritas moral pemimpin) tersebut secara langsung.

No comments: