Sunday, February 24, 2008

LITERASI ERA DIGITAL

“Thomas Jefferson telah menggagas konsep perpustakaan dan hak meminjam buku secara cuma-cuma. Namun, penggagas besar ini tidak pernah membayangkan bahwa kini 20 juta orang dapat mengakses sebuah perpustakaan digital secara elektronik dan mengambil isinya tanpa biaya sama sekali”
(Nicholas Negroponte, dalam buku Being Digital; 1995)

Selama ratusan ribu tahun, nenek moyang kita berkeliaran dibumi sebagai pemburu. Sekitar 12.000 tahun lalu, mereka mulai bercocok tanam dan beternak. Antara 500 hingga 200 tahun lalu, mereka menemukan percetakan, mesin uap, ilmu pengetahuan dan sains modern. Tidak kurang dari 300 tahun yang pendek, berbagai penemuan inventif telah merubah banyak hal dalam kehidupan manusia.

Kini, setelah penemuan mikro-prosesor komputer dan kalkulator saku pada 1971, Homo sapiens sapiens (penghuni bumi era posmodern) menjalani kehidupan dengan kecepatan informasi, komunikasi instan dan perubahan berkelanjutan sebagai kecenderungan utama.

Penemuan Claude Shannon, ilmuwan Bell Laboratories, mengenai digitalisasi informasi berbentuk digit biner (bits) adalah derivasi perkembangan luar biasa dari tekhnologi penyimpanan dan penyajian informasi.

Melalui digitalisasi, jenis informasi apapun dapat dipahami kodenya dalam bentuk digit biner, dan kemudian dapat dikomunikasikan kembali sebagai rangkaian impuls listrik. Kabel serat optik tunggal, sebagai media transmisi informasi, setidaknya mampu mengirim satu milyar bit per detik.

Dengan kapasitas ini, menurut Bill Gates dalam The Road Ahead (1995), serat optik sehelai rambut dapat mengirim seluruh edisi Wall Street Journal yang pernah diterbitkan dalam waktu kurang dari satu detik. Atau di lanskap pendidikan tinggi misalnya, internet dapat menghubungkan 100 universitas lebih dengan kecepatan 600 juta bit per detik, yang berarti mampu mentransmisikan sekitar 30 jilid ensiklopedi dalam satu detik.

Akselarasi luar biasa ini membentuk suatu pengaruh mutual (forceful interplay) antara iptek dan masyarakat. Seperti visi masa depan Karl Marx dalam Das Kapital (1867), bahwa masyarakat memang pencipta tekhnologi, tapi kecenderungan tekhnologi juga berkemampuan mengarahkan model kehidupan dari masyarakat tersebut.

Dan revolusi digital, seperti keyakinan John Naisbitt di High Tech High Touch (1999), telah dan akan merubah struktur bisnis, pendidikan, pekerjaan, interaksi antar-manusia, tekhnik penyembuhan, hiburan, dan mungkin esensi teologis kita.

          Apartheid Tekhnologi
Dengan kemajuan tekhnologi dan energi intelektual yang mencerahkan, generasi saat ini dipercaya memiliki pilihan masa depan yang tak terbatas, dengan segala sesuatunya mungkin untuk dilakukan.

Para tekhnofilia bahkan berkeyakinan luar biasa akan solusi tekhnologi. Internet di setiap ruang kelas akan membuat sekolah lebih baik, rekayasa genetika dapat menyembuhkan pelbagai penyakit, atau rekayasa biologi pada tanaman akan menjamin ketersedian pangan bagi seluruh penduduk dunia.

Namun demikian, kemajuan asimetri dunia juga memunculkan kecemasan akan terciptanya masyarakat dua kelas: antara yang menguasai tekhnologi-informasi dan yang tidak, antara yang dapat belajar secara efisien (dengan bantuan kemajuan tekhnologi) dan mereka yang belajar hanya menggunakan kapur dan papan tulis.

Don Tapscott, dalam Blueprint to the Digital Economy (1998), mengingatkan jika proses tekhnologisasi dikendalikan hanya oleh kekuatan pasar, maka dapat tumbuh suatu ‘apartheid tekhnologi’; dimana kelas miskin tidak dapat melakukan apa-apa dan makin tertinggal.

Realitas ini terlihat ketika anak-anak di sekolah elite (di negeri ini ataupun di negara maju) bukan sekedar dimanjakan dengan kemudahan tekhnologi, tapi juga hiruk-pikuk pilihan keterampilan non-akademik yang tak terbatas. Bandingkan dengan anak-anak di pinggiran Jakarta, Banten, apalagi daerah pedalaman; segala aspek begitu berbeda.

Konsekuensinya, segelintir generasi yang menguasai tekhnologi menjadi pemimpin dan menikmati bagian terbesar dari pendapatan nasional, sedangkan mayoritas anak-anak kita menjadi pekerja kasar dan pekerja kerah biru, dengan aktivitas pekerjaan berulang-ulang dan upah minim.

Proporsi kesenjangan pendidikan di Indonesia saat ini identik dengan model pendidikan di Amerika Serikat puluhan tahun yang lalu, atau mungkin lebih menyedihkan; dimana pendidikan nasional bertujuan mendidik 20 persen populasi untuk menjadi pekerja profesional, 30 persen untuk perdagangan dan kerja administratif, dan membiarkan 50 persen sisanya menjadi pekerja pertanian yang tidak terdidik.

Kesenjangan ini, minimnya dana untuk aksesibilitas tekhnologi dan masalah bangsa lainnya, membuat upaya mereduksi ‘apartheid tekhnologi’ sebagai tanggung-jawab masyarakat dan pemerintah yang cukup berat, kalau tidak dibilang utopis. Apalagi ketika pelayanan kebutuhan dasar (pangan, kesehatan, pendidikan) saja masih jauh dari memuaskan.

Demokratisasi akses ini akhirnya hanya bergantung pada filantropi sektor swasta. Salah satunya seperti apa yang dilakukan yayasan To Be One milik Nicholas Negroponte, dengan program penyediaan satu laptop berakses internet untuk setiap anak, yang berjumlah sekitar 1 miliar anak di seluruh dunia.
     
          Learning 2.0
Anak-anak saat ini bukan sekedar membutuhkan demokratisasi akses saja, tapi juga bagaimana mereka mampu menggunakan perangkat teknologi dan informasi tersebut dengan baik.
Akselarasi model pembelajaran, salah satunya digagas oleh the Partnership for 21st Century Skills, mengonfirmasi bahwa kemampuan beradaptasi di dunia yang selalu berubah dengan cepat ini ditentukan oleh aksesibilitas serta tingkat melek tekhnologi dan informasi (information-technological literacy)

Anak-anak sekarang mesti diajarkan sejak dini mengenai tekhnologi. Ranahnya meliputi apa itu tekhnologi, bagaimana tekhnologi bekerja, pencapaian-pencapaian apa yang mungkin didapat dari tekhnologi, serta bagaimana menggunakannya secara efisien dan efektif.

Sehingga setiap anak mampu menggunakan perangkat tekhnologi, instant messaging, website, buku-buku digital, blog, laporan-laporan penelitian di jurnal elektronik, data-data pada search engine, pembelajaran interaktif, hingga chat rooms, dengan baik dan tanpa meninggalkan pengembangan talenta kognitif dan afektif mereka.

Literasi tekhnologi ini memperkaya pembelajaran konvensional yang bertujuan meningkatkan ‘pengetahuan dasar’ (membaca, menulis, matematika, sains, pengetahuan umum serta cultural literacy) dan apa yang disebut para pendidik sebagai ‘portable skills’: berpikir kritis, membuat hubungan antar-gagasan, menyelesaikan masalah, dan mengetahui bagaimana belajar secara berkelanjutan.

‘Portable skill’, yang menekankan kefasihan analitik dan kompetensi kognitif, menjadi begitu krusial karena sifat ‘one touch’ tekhnologi. Kemudahan yang diciptakan oleh tekhnologi menempatkan kemampuan kognitif berlevel tinggi sebagai pembeda produktivitas.

Bagaimanapun, tekhnologi dan literasi tekhnologi, merupakan episentrum kemajuan masa depan. Seperti penuturan Stan Shih, Direktur Acer Group di Taiwan, yang meramalkan bahwa tingkat melek tekhnologi dan informasi yang baik, akan memungkinkan negara berkembang memadatkan pengalaman sejarah mereka: melompati era industri, dan langsung menuju ‘era-baru jaringan kecerdasan’.

Era dimana kemajuan mengesankan masyarakat, perusahaan ataupun negara-bangsa terjadi jika mereka mampu melakukan pemrosesan informasi dan penyebaran pengetahuan kreatif (menciptakan daya guna) dengan baik dan progresif.

Pertanyaannya, apakah kita mampu memanfaatkan kesempatan besar, seperti ramalan Stan Shih diatas? Jika kita dipaksa melihat mayoritas kondisi dan sistem (hardware, software, dan brainware) pendidikan kita saat sekarang, lompatan itu tampaknya utopis, atau mungkin begitu tak terjangkau dalam waktu dekat.

Modal masa depan bangsa kita tinggal bergantung pada kekuatan otak, pengetahuan dan kreativitas generasi saat ini, sembari mengejar ketertinggalan (demokratisasi) tekhnologi tersebut.

No comments: