Thursday, January 01, 2009

‘LEIDEN IS LIJDEN’




Orang tua yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yakni selama hidupnya melarat
(Catatan harian Prof Schermerhorn, ketua delegasi Belanda pada Perundingan Linggarjati, tanggal 14 Oktober 1946)

Haji Agus Salim adalah salah satu the founding fathers Indonesia, karena termasuk dalam Panitia 19 yang merumuskan UUD 1945. Bahkan, ia bersama Djajadiningrat dan Soepomo berjasa dalam menyempurnakan redaksional batang tubuh UUD tersebut.

Dalam rapat-rapat BPUPKI, Bung Karno kerap menyebut Haji Agus Salim sebagai ‘orang besar yang sudah tua’, the grand old man. Bukan karena usianya yang 61 tahun, tetapi juga karena pengalaman internasional dan penguasaan bahasa-bahasa asing.

Sebagai tokoh yang dibesarkan dalam adat Minang, Haji Agus Salim amat menonjol dalam tiga hal: pandai berkata-kata, dinamis, dan sekaligus kosmopolit.

Kentalnya budaya lisan Minang membuatnya cakap dalam berdebat, dengan gaya bahasa kritis dan tajam, tapi disampaikan secara halus serta cerdas. Kompetensi ini dipergunakannya dalam mengelola beberapa surat kabar; yang menyebarkan gagasan Indonesia merdeka, namun tanpa pernah ditangkap pemerintah Belanda.

Ulama Intelektual
Haji Agus Salim (8 Oktober 1884 - 4 November 1954) lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, dengan nama lahir Mashudul Haq. Ia anak dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim (seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau) dan Siti Zainab.

Ia menempuh pendidikan di sekolah dasar Belanda ELS (Europeese Lager School), dan HBS (Hogere Burger School) di Batavia. Meski lulus dengan nilai terbaik diantara HBS se-Hindia Belanda, Haji Agus Salim sebagai inlander gagal mendapatkan beasiswa sekolah kedokteran di Belanda.

Pada 1905, Haji Agus Salim kemudian bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi, sebagai penerjemah dan mengelola urusan haji. Di Jeddah inilah ia berkesempatan memperdalam ilmu agama pada pamannya, Syekh Ahmad Khatib.

Pengalaman belajar ini menempa dirinya menjadi ulama intelektual, sekaligus menguasai bahasa Arab dan Turki. Padahal, sebagai lulusan HBS ia telah menguasai empat bahasa lain: Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis.

Dengan perpaduan antara kecerdasan bahasa, daya analisa dan pemahaman agama Islam sebagai teologi pembebasan, Haji Agus Salim memutuskan untuk terjun dalam politik melalui SI (Syarikat Islam).

Di usia 41 tahun, Haji Agus Salim membentuk Jong Islamieten Bond (JIB). Melalui JIB, banyak lahir generasi Muslim didikan Barat sekuler tapi tetap beriman. Dari Haji Agus Salim, para pemuda mengenal Islam secara cerdas, kritis, komprehensif, serta modern. Dan secara tidak langsung memicu kelahiran generasi Muslim moralis-idealis.

Keteladanan
Haji Agus Salim adalah Bapak Bangsa yang kompleks; Ia penerjemah, wartawan, diplomat dan ulama, juga sastrawan.

Sebagai wartawan ia tercatat menjadi Ketua Dewan Pers pertama. Pernah menjabat menteri luar negeri beberapa kali. Dengan kapasitas diplomasinya, kemerdekaan Indonesia mendapat pengakuan negara-negara Arab pada 1947.

Penerbitan ceramahnya tentang Islam di Cornell University (1953), Amerika Serikat, menasbihkan Bapak Bangsa ini sebagai perintis pemikiran neo-modernisme Islam di Indonesia.

Teladan terpenting dari Haji Agus Salim adalah kesederhanaan dan idealisme, serta keteguhan mempertahankan dua hal tersebut.

Sebagian generasi JIB (seperti M Natsir, M Roem, Kasman, Prawoto hingga Jusuf Wibisono) adalah anak didik Haji Agus Salim yang belajar agama, dari tempat yang satu ke tempat lain; yang bergantung ke mana Haji Agus Salim dan keluarganya harus pindah dan mengontrak rumah, dari sebuah gang becek ke gang becek lain.

Kasman Singodimedjo dengan sangat baik melukiskan hidup Haji Agus Salim ini sebagai ‘leiden is lijden’, memimpin adalah menderita.***

1 comment:

Anonymous said...

Aku selalu kepincut kalau membaca tentang Agus Salim; putera Indonesia sangat cerdas, ... dan menginspirasi