Monday, January 12, 2009

MEMAHAMI CINTA

It is not more light that is needed in the world. It is more warmth.
We will not die of darkness, but of cold.
(Jenny Read, penyair Inggris; 1991)

Setiap dari kita pasti pernah mengalami cinta. Bahkan ketika kita merasa bahwa kita adalah jomblo sejati, kita tetap pernah melaluinya. Cinta memberikan segalanya. Kebahagiaan dan juga penderitaan. Terkadang cinta melukai hati, meski hikmahnya bisa tertanam dalam.

Selalu berusaha untuk menemukan cinta adalah sesuatu yang manusiawi. Kita selalu diajarkan bahwa pasti ada orang lain di luar sana, yang memang diciptakan untuk kita, untuk bersama-sama memahami dan menjalani kehidupan ini.

Cinta yang agung terus dibangun selama kehidupan. Ia bisa muncul dari mana saja. Namun, cinta, terutama diantara dua anak manusia, seringkali bermula dari rasa suka (liking relationship).

Rasa suka biasanya berupa sikap positif kita terhadap orang lain, ditopang dengan kecenderungan untuk berdekatan dan berinteraksi. Rasa suka dapat berlangsung secara kebetulan, impersonal (tidak terkait dengan orang tertentu), juga kadang terjadi ketika kita bertemu dengan orang asing, hingga berbentuk persahabatan.

Rasa suka yang kuat dan hasrat untuk berhubungan lebih ekslusif dan permanen diantara dua orang membentuk apa yang disebut sebagai hubungan berdasarkan cinta (loving relationship). Saat-saat dimana rasa suka berkembang menjadi cinta inilah yang dikenal dengan jatuh cinta.

Jatuh cinta merupakan keterikatan emosi yang kompleks, berbaur dengan gairah dan keterpesonaan fisik yang kuat. Jatuh cinta kerap disebut sebagai ‘magnificent obsession’ (obsesi yang luar biasa), yang terkadang memiliki kualitas adiktif, atau mencandu.

Tapi cinta bukan melulu perasaan suka yang dalam, ia adalah sesuatu yang termasuk paling kompleks dalam kehidupan semua manusia.

Mengapa cinta begitu kompleks dan unik? Ini karena cinta memang tema yang begitu sulit untuk didefinisikan. Cinta harus dirasakan.


Arkeologi Cinta
Banyak filosof dan ilmuwan sosial berusaha memecahkan cinta menjadi sebuah definisi, sebuah rangkaian komponen yang membuat cinta itu ada, dan bagaimana cinta itu diekspresikan.

Era Yunani kuno, era dimana berpikir adalah suatu keahlian, umumnya membedakan cinta menjadi tiga tipe, yakni: eros, atau cinta romantik; philia, atau persahabatan; dan agape, yang berarti cinta kepada sang Pencipta, yang sekarang biasanya merujuk pada kasih sayang antar-manusia.

Di zaman modern, melalui buku klasiknya, the Art of Loving (1956), Erich Fromm mengajukan lima jenis cinta yang berbeda. Yakni brotherly love (cinta atas seluruh manusia, atau disebut kemanusiaan), parental love (cinta orang tua untuk anak mereka), erotic love (mengharapkan keterikatan fisik dengan lawan jenis), self-love (mencintai diri sendiri), dan love of God (cinta religius).

Semakin kompleks kehidupan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang mengesankan, membuat munculnya begitu banyak pendekatan lain untuk memahami cinta. Satu contoh yang cukup baik adalah milik DA Prescott (The Child in the Educative Process, 1957), yang mendeskripsikan empat aspek dalam cinta.

Menurut Prescott, cinta adalah empati. Seseorang yang sedang mengalami cinta biasanya lebih ingin berbagi perasaan, dan menjalani pengalaman-pengalaman tertentu secara intim dengan orang dicintainya.

Cinta juga berarti peduli. Kita menjadi sangat peduli atas kesejahteraan, kebahagiaan dan perkembangan orang yang kita cintai. Kepedulian ini terkadang begitu dalam, dan dapat menjadi nilai-nilai utama dalam kepribadian kita. Ini dapat menjadi bagian struktur diri kita yang terkait dengan orang yang kita cintai.

Dalam cinta, kita akan menemukan kebahagiaan ketika kita mampu menyediakan apa-apa yang dibutuhkan orang yang kita cintai, yang dapat membuat orang itu menjadi lebih baik, lebih bahagia dan lebih berkembang. Kekuatan, waktu, pikiran dan energi, mungkin uang, serta hal-hal lain yang kita dedikasikan untuk kebaikan pasangan kita.

Dan aspek keempat, menurut Prescott lagi, cinta bukan sekedar menyediakan. Ia juga bermakna keterlibatan optimal kita dalam setiap aktifitas yang mendorong perkembangan dan kebahagiaan bersama. Tapi keterlibatan ini bukan berarti kita mendominasi, atau mengarahkan pencapaian hidup orang yang kita cintai. Kita mesti menerima keunikan dan individualitas, membebaskan ekspresi diri, serta apa-apa yang ingin dicapai oleh pasangan kita.

Ekspresi Cinta
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak psikolog sosial yang mulai mengembangkan pengukuran mengenai cinta dengan model yang sistematik, berdasarkan penilaian mereka atas sifat-sifat dasar cinta.

Salah satu usaha ilmiah untuk memahami cinta dan rasa suka adalah dengan mengembangkan skala pengukuran, yang disebut dengan A New Love Scale, yang terdiri atas lima skala untuk menilai lima komponen berbeda dari cinta (A Pam, R Plutchik & HR Conte, Love: A Psychometric Approach, 1975).

Pengukuran ‘skala cinta’ ini meliputi lima komponen utama, meliputi: rasa hormat, kecocokan, altruism (sifat mementingkan kepentingan orang lain), ketertarikan fisik, dan kasih sayang.

Hasil dari pengukuran ini menunjukkan bahwa hubungan cinta biasanya memiliki skor yang lebih tinggi, dibanding hubungan berdasarkan persahabatan atau sekedar berpacaran. Atas dasar skor-skor tertinggi tersebut, ditemukan bahwa aspek terpenting dalam cinta adalah ketertarikan fisik dan kasih sayang. Sedangkan aspek terpenting dalam hubungan berpacaran misalnya, adalah kecocokan dan ketertarikan fisik semata.

Bagaimanapun, memahami cinta melalui model-model ilmiah dan sistematis adalah sesuatu yang positif. Model-model ilmiah ini dapat membantu kita untuk lebih memahami, dan memberi peta yang memadai bagi kita untuk mengarahkan serta mengembangkan cinta menjadi sesuatu yang mendukung perkembangan kehidupan kita kearah lebih baik.

Lebih dari itu, Abraham Maslow, seorang psikolog humanistik paling terkenal di dunia, mengungkapkan bahwa kita memang harus memahami cinta; ‘kita harus mampu mengajarkannya, menciptanya, meramalkannya, atau bagian-bagian tertentu di dunia ini akan hilang dalam permusuhan dan kecurigaan’ (Motivation & Personality; 1954)

Namun demikian, cinta bukan sekedar untuk dipahami. Seperti kata penyair Inggris, William Shakespeare, cinta mesti diekspresikan melalui tindakan positif yang nyata. Ekspresi ini bukan melulu untuk kebaikan kita dan pasangan kita, tapi juga untuk kebaikan setiap manusia.***

No comments: