Beberapa hari kemarin (9/4), jutaan masyarakat Indonesia menggunakan hak partisipatifnya dalam ranah politik. Dengan mendatangi tempat pemungutan suara, menggunakan hak pilihnya dan memutuskan pilihan, masyarakat telah ikut berpartisipasi dalam menentukan bentuk bangunan politik dan pemerintahan di negeri ini dalam lima tahun ke depan.
Pesta demokrasi bernama pemilu memang merupakan ruang publik artifisial yang memungkinkan individu berperan aktif bagi komunitasnya. Namun, menurut Karl Marx, seorang filosof terkemuka Jerman, pemilu bukan saja merupakan proses politik yang indah, namun juga ironis.
Dalam Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1844), Marx mengemukakan bahwa pemilu adalah satu-satunya kesempatan bagi masyarakat biasa untuk menjalankan perannya dalam kehidupan politik.
Hal ini dikarenakan setelah pemilu individu biasanya akan kembali menjadi masyarakat sipil biasa. Tanpa peran dan kontribusi pemikiran yang signifikan bagi pengambilan kebijakan publik. Belakangan, ironi Marxian ini dikenal dengan istilah demokrasi formalistik.
Pendekatan demokrasi formalistik dapat membuat masyarakat teralienasi dari proses pengambilan kebijakan publik. Padahal, kebijakan publik justru melulu berbicara tentang masyarakat, dan bagaimana mengambil tindakan-tindakan publik demi mensejahterakan masyarakat.
Doktrin mensejahterakan masyarakat secara adil sejatinya merupakan kerangka berpikir utama dalam mengambil setiap kebijakan publik. Dan karena kebijakan publik aktual adalah alat dalam pencapaian cita-cita Indonesia yang diinginkan oleh masyarakat banyak, maka kebijakan publik haruslah demokratis, mampu mengakomodasi segala kepentingan dan preferensi dalam masyarakat agar basis legitimasinya kuat.
Dengan terasingnya masyarakat dari proses pengambilan kebijakan publik, mengakibatkan kebijakan publik bukan lagi merupakan kesepakatan bersama, yang mampu membuat semua elemen dalam masyarakat merasa bertanggungjawab untuk melaksanakan dan menyukseskan kebijakan publik tersebut.
Melalui pelaksanaan pemilu, kita bukan sekedar menentukan siapa dan bagaimana proses pengambilan kebijakan publik dalam skala lokal hingga nasional yang nanti akan muncul. Tapi juga menjadi ruang yang representatif bagi kita untuk mengekspresikan peran kita sebagai warga masyarakat yang baik, sekaligus menjadi momen apokaliptikal bagi ironi demokrasi formalistik Karl Marx diatas.
Apa yang akan terjadi pada rangkaian pemilu di tahun 2009 ini, dan bagaimana proses politisasi masyarakat setelahnya, akan memperlihatkan kemungkinan apakah ironi demokrasi formalistik memang benar-benar terjadi di negeri ini.
Pemilihan wakil rakyat di hari kemarin ini, dan pemilihan presiden langsung nanti, tentu saja memberikan kesempatan partisipasi politik yang luas dan otonom kepada masyarakat. Tanpa paksaan dan intimidasi, masyarakat memiliki hak untuk memilih kandidat pemimpinnya menurut preferensi masing-masing. Memilih adalah salah satu pembelajaran demokrasi yang paling esensial.
Namun pembelajaran ini akan menjadi formalistik, jika esensi demokrasi yang lain seperti kontrol terhadap kekuasaan tidak berjalan sebagaimana-mestinya. Juga ketika demokrasi tidak menjamin dibukanya ruang yang lebih luas bagi keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakan publik.
Minimnya jaminan keterlibatan masyarakat yang lebih luas inilah yang kerap terjadi di negeri ini. Realitas dari hal ini tampak dengan jelas. Dalam banyak kebijakan publik, terdapat kekosongan argumentative turn. Proses pengambilan kebijakan publik lazimnya bersifat top-down, dan sekaligus mereprentasikan krisis partisipasi masyarakat, terutama dalam level perencanaan.
Dalam dinamika kebijakan publik, protes masyarakat kerap ditafsirkan sebagai rutinitas semata, responnya pun minimalis. Atau, kalaupun sempat terjadi interaksi antara masyarakat dengan pengambil kebijakan, sebagian besar bersifat kosmetik dan superfisial.
Kenyataan diatas inilah yang dapat membuat ironi demokrasi formalistik menjadi sesuatu yang relevan untuk terjadi dalam proses demokratisasi di negeri ini.
Demokrasi Deliberatif
Untuk menjamin tidak berkuasanya ‘watak demokrasi formalistik’ dalam sistem pemerintahan yang berjalan nantinya, maka penguasa yang terpilih nanti perlu menjamin dibukanya ruang-ruang partisipasi publik.
Tentu saja bukan sekedar dibuka dengan interaksi yang formalistik semata, tetapi lebih bernuansa diskursus. Juga bukan ruang publik yang telah terkontaminasi feodalisasi. Dimana ruang publik sekedar menjadi ‘media humas’ bagi opini publik yang diciptakan oleh elite politik, media ataupun ekonomi.
Hal ini menjadi penting, karena selama ini ruang publik justru lebih sering hanya menjadi media sosialisasi bagi produk-produk kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah. Bukan sebagai forum yang menjamin adanya proses argumentative turn, berbentuk dialog yang mempertemukan keinginan pemerintah dengan aspirasi masyarakat banyak.
Dengan demikian, dalam konteks pemilu legislatif dan presiden ini, para kandidat bukan hanya perlu membuka ruang publik melalui kampanye saja, tapi juga perlu menyediakannya pasca mereka terpilih nanti. Di ruang publik inilah nanti, masyarakat berkomunikasi, mengeluarkan pendapat, dan memberi solusi atas permasalahan publik mereka. Perdebatan yang terjadi di ruang publik akan menghasilkan suatu konsensus yang digunakan sebagai alat legitimasi bagi kebijakan-kebijakan publik.
Dalam filsafat politik modern, penggunaan ruang publik sebagai model penentu kebijakan publik ini dikenal dengan demokrasi deliberatif. Model demokrasi deliberatif diperkenalkan oleh Jurgen Habermas, seorang filosof modern Jerman, dalam buku pentingnya Between Facts & Norms (1992).
Secara radikal, Jurgen Habermas menyatakan bahwa kebijakan publik dan produk-produk hukum yang berkaitan dengan masyarakat adalah hasil diskursus-diskursus yang terjadi di dalam masyarakat. Melalui model demokrasi ini, Jurgen Habermas mengonfirmasi bahwa perdebatan dan konsesus yang terjadi secara demokratis diantara masyarakat, dapat menjadi suatu produk kebijakan publik dengan status hukum yang mengikat.
Dengan postulat tersebut, demokrasi deliberatif merupakan bentuk demokrasi dimana legitimitas hukum tercapai karena hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil. Masyarakat sipil dapat mengarahkan keputusan-keputusan politik melalui apa yang disebut Jurgen Habermas sebagai ‘kekuasaan komunikatif’.
Di negara asal Jurgen Habermas, Jerman, praktek yang mengarah pada pendekatan demokrasi deliberatif dikenal dengan sebutan ‘Prakarsa Masyarakat’. Ini adalah ruang publik dimana kelompok-kelompok masyarakat berinisiatif mengadakan pertemuan, berdialog sekaligus merencanakan usul-usul pembangungan dan kebijakan publik kepada pemerintah setempat. Hasil dari Prakarsa ini dapat diandalkan, bukan karena berdasarkan aspirasi masyarakat itu sendiri, tetapi karena anggota masyarakat yang terlibat juga adalah para praktisi dan profesional.
Aktivitas Prakarsa ini mendorong anggota masyarakat untuk lebih peduli, lebih aktif berperan, dan memikirkan pengembangan kehidupan mereka bersama menjadi jauh lebih baik. Proses seperti inilah yang perlu digagas oleh pemerintah, dan kemudian ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat itu sendiri.
Bagaimanapun, penciptaan ruang publik yang memuat perdebatan dan konsensus masyarakat terhadap masalah-masalah mereka sendiri adalah proses demokratisasi yang panjang. Ia hanya dapat dikembangkan dalam budaya demokratis yang bebas dan beradab, juga dalam budaya yang bersedia untuk belajar secara berkelanjutan.
Dan seperti keyakinan para pundit politik di negeri ini, pembelajaran demokratisasi yang panjang tersebut dapat diawali dari partisipasi aktif kita dalam pemilu legislatif secara langsung kemarin, dan pemilu presiden nanti.
Pada akhirnya, partisipasi aktif kita dalam rangkaian pemilu langsung saat sekarang bukan sekedar ruang belajar untuk menjalankan peran kita sebagai warga masyarakat dalam kehidupan politik, tapi juga menjadi salah satu realitas apokaliptikal bagi ironi demokrasi formalistik Marxian diatas.
*Juga di publikasikan di Harian Umum PIKIRAN RAKYAT, 11 April 2009
No comments:
Post a Comment