Seiring dengan perkembangan tekhnologi informasi, beragam peristiwa dan momen memungkinkan untuk diabadikan, kemudian dipublikasikan secara umum dalam jaringan internet.
Salah satu fenomena, yang terkait dengan tingkah laku remaja, adalah publisitas video yang mengabadikan perilaku seksual dan kekerasan remaja, yang belakangan ini muncul dan diunduh oleh banyak orang dari internet. Dengan kemampuan media informasi ini, kita disuguhkan puncak dari suatu ‘gunung es’, yang terkait dengan rangkaian permasalahan di sekitar remaja.
Publisitas itu tetap menunjukkan bahwa ada ‘kehidupan lain’ di luar sana, yang dialami dan dijalani remaja-remaja kita, yang terkadang tidak diketahui oleh orangtua dan masyarakat.
Kekerasan diantara remaja, terlibat dalam geng motor, mengkonsumsi NAPZA, tawuran, kebut-kebutan di jalan raya, hingga having sex sebelum menikah, adalah tingkah laku mengambil resiko.
Kenapa disebut beresiko? Ini karena kita terkadang tidak siap menghadapi konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari tingkah-laku tersebut. Kita biasanya tidak terlalu khawatir, karena merasa banyak remaja lain yang juga melakukannya. Kita juga merasa yakin bahwa tingkah laku tersebut hanya diketahui oleh kita saja.
Mungkin kita biasa-biasa aja melakukan semua hal, sepanjang kita memang menyukainya. Namun, tidak bagi orang tua. Bahkan, bagi kita nanti, ketika kita menjadi orang tua di masa depan. Mengkonsumsi drugs, tawuran, terlibat dalam kekerasan kelompok ataupun having sex sebelum menikah, bagi orang tua, dan dari sudut pandang manapun, adalah suatu tingkah laku yang mesti dihindari.
Minim Informasi
Lalu, kenapa kita berani melakukan tingkah laku yang memiliki resiko diatas?
Untuk mengetahuinya, banyak peneliti sosial yang menyarankan kita untuk lebih memahami bagaimana proses berpikir (kognitif) dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh remaja. Karena, tingkah laku kita merupakan hasil dari keputusan yang dibuat oleh kita itu sendiri.
Salah satu pendekatan ilmiah yang biasanya digunakan untuk memahami hal ini adalah Behavioral Decision Theory. Dari teori ini, keputusan bertingkah laku dengan resiko tertentu dapat dianalisis dari proses berpikir kita.
Banyaknya informasi yang kita miliki akan menentukan tingkah laku apa yang kita tampilkan. Informasi yang minim dan salah akan membuat kita merasa benar, ketika kita melakukan tingkah laku yang beresiko.
Menurut pendekatan ini juga, kita memutuskan untuk mencari pengalaman-pengalaman baru yang beresiko, biasanya, disebabkan oleh ketidakmampuan kita dalam mengevaluasi resiko dari tingkah laku secara akurat. Kita terkadang mengabaikan akibat-akibat jangka panjang yang negatif.
Kemungkinan lain mengapa kita memutuskan tingkah laku beresiko adalah perasaan 'invulnerable', atau perasaan 'tak-terkalahkan' dalam diri kita. Gagasan ini sepertinya terlalu berlebihan. Namun, jika kita mengamati dengan lebih seksama, maka perasaan 'tak-terkalahkan' ini cukup masuk akal.
Kita seringkali menganggap diri kita dapat mengatasi resiko yang mungkin muncul dari tingkah laku tertentu. Kita merasa masih muda, kuat, sehat dan bugar, independen, tidak lagi seperti anak-anak, bertanggungjawab serta menganggap dapat memutuskan segalanya secara rasional.
Akibatnya, ketika kita memutuskan mencoba pengalaman beresiko pertamakali, dan tidak terjadi sesuatu yang buruk, maka kita cenderung meremehkan resiko jangka panjang dan meneruskan aktivitas tersebut.
Ketika kita mencoba pengalaman having sex pertama kali bersama pasangan misalnya, dan tidak terjadi sesuatu yang buruk, maka kita biasanya mengabaikan resiko jangka panjang dan meneruskan aktivitas seksual kita.
Selain itu, keputusan untuk aktif terlibat dalam kegiatan beresiko juga dapat terkait dengan faktor lingkungan eksternal. Yang biasanya berbentuk minimnya perhatian orangtua dan keluarga, tekanan dari teman, keinginan mengikuti kelompok teman sebaya yang juga melakukan hal yang sama, serta lingkungan fisik yang potensial.
Bagaimanapun, apa-apa yang berpotensi mendorong kita untuk melakukan tingkah laku beresiko diatas, sebagian besar diantaranya bergantung pada kita sendiri. Seberapa banyak informasi yang kita miliki untuk digunakan dalam mengambil keputusan, bagaimana kita berpikir dan meng-komunikasikan perihal resiko yang tidak diinginkan, serta bagaimana kita mengelola hubungan pertemanan yang berpotensi menjebak kita dalam aktivitas beresiko.
Apakah kita memilih untuk tidak, atau untuk melakukan tingkah laku beresiko, sepenuhnya bertumpu pada kesadaran kita, dan bagaimana kita konsisten pada komitmen untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Inilah yang terpenting.
No comments:
Post a Comment