Monday, March 31, 2008

PENCERAHAN MELALUI BACAAN

Karl Marx, pundit filsafat Jerman modern yang paling terkenal, menyebut dua basis terpenting bagi gerakan kelas: pendidikan dan tindakan. Pendidikan bertujuan mencerahkan pengetahuan, sedang tindakan adalah interpretasi atas filsafat acte (aksi) dalam rangka mereformasi realitas ketertindasan mereka.


Gagasan Marx, yang dipengaruhi dialektika Hegel dan antropo-teologi Feurbach, menginspirasi banyak gerakan kelas tertindas di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia, yang kesadaran kelas tertindasnya dibangkitkan oleh kelompok terdidik dan ulama berlandaskan teologi pembebasan.


Pemimpin pergerakan memandang kesadaran akan realitas, yang salah satunya digugah melalui pendidikan dan produksi bacaan, adalah skema tak terpisahkan dari mesin pergerakan. Produksi bacaan yang berbentuk surat-kabar, novel, buku, syair sampai teks lagu, adalah alat penyampai pesan perlawanan dari organisasi pergerakan untuk masyarakat.


Jauh sebelum Balai Poestaka (BP), yang berhubungan erat dengan Het Kantoor voor Inlandsze Zaken (Kantor Urusan Bumiputra), menjadi bacaan mainstream masyarakat dengan semangat politik etisnya, peran peranakan Eropa dan Tionghoa dalam produksi bacaan cukup kental pada paruh abad 19.


Percetakan peranakan Tionghoa telah menerbitkan surat-kabar berbahasa Melayu yang terbit di Jawa: Soerat Chabar Betawie (terbit tahun 1858), Selompret Melajoe (1860) dan Bintang Soerabaja (1860). Pada awal abad 20, bacaan-bacaan berlatar cerita asli dan sejarah Indonesia baru diintroduksi oleh dua jurnalis peranakan, FH Wiggers dan H Kommer, serta jurnalis keturunan Manado, F Pangemanan.


Produksi Bumiputra

Kaum bumiputra yang bisa disebut perintis fiksi modern adalah RM Tirtoadhisoerjo. Karyanya antara lain Doenia Pertjintaan (1906) dan 101 Tjerita Yang Soenggoe Terjadi Di Tanah Priangan (1906). Tirtoadhisoerjo juga menulis artikel politik paling awal berjudul Boycott di surat-kabar Medan Priyayi, yang juga dijadikan dasar untuk melawan para pemilik perusahaan gula.


Melalui rumah cetaknya sendiri, NV Javaanche Boekhandel, Tirtoadhisoerjo menerbitkan berbagai tulisan politik untuk dikonsumsi masyarakat pribumi. Diantaranya adalah: Bangsa Tjina Di Priangan (dimuat di Soenda Berita pada tahun 1904), Peladjaran Boeat Perempoean Boemipoetera (Soenda Berita, 1904), Satoe Politik di Banjumas (Medan Priyayi, 1909), Kekedjaman Di Banten (Medan Priyayi, 1909), hingga Oleh-Oleh Dari Tempat Pemboeangan (Perniagaan, 1910).


Tulisan-tulisan RM Tirtoadhisoerjo, pesatnya pertumbuhan rumah cetak di Hindia selama 1910-an, dan pendirian perhimpunan-perhimpunan untuk menentang kebijakan kolonial yang kebanyakan didanai oleh saudagar-saudagar batik, telah mendorong beberapa tokoh pergerakan untuk menerbitkan bacaaan provokatif khas kelas tertindas.


Seperti yang dilakukan Mas Marco Kartodikromo melalui Mata Gelap (terbit di Bandung tahun 1914), Student Hidjo (1918), Matahariah (1919), dan Rasa Mardika (1918). Termasuk para intelektual pergerakan yang juga penulis profilik; Soeardi Soerjaningrat, dr Tjipto, Douwes Dekker, Abdoel Moeis, Soetan Sjahrir, dan banyak yang lainnya.


Hingga penulis kiri dengan mainstream literatuur socialistisch, yang bernaung dibawah Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI, seperti Semaoen (Hikayat Kadiroen, 1920) dan Darsono (Giftige Waarheispijlen, ‘Pengadilan Panah Beratjun’, 1918).


Berbekal spektrum revolusioner dan radikal, pelbagai produksi bacaan diatas merupakan tindakan politik yang sadar; sebuah upaya penyadaran kognitif atas penindasan kolonial dan kemiskinan kaum pribumi.


Paul Tickell, yang meneliti Student Hidjo dan Hikayat Kadiroen, mengemukakan bahwa bacaan yang diproduksi oleh kaum nasionalis radikal, secara sadar atau tidak sadar telah mengajarkan kepada kaum bumiputra untuk mengenali hakikat penindasan dan sekaligus mengagitasi mereka untuk melakukan perlawanan.***

Friday, March 28, 2008

Sophisticated Rhapsody

Resensi

MEMAKNAI HARI KARBALA

“Sesungguhnya, putraku Husain, akan terbunuh di bumi Irak. Maka barangsiapa mendapatinya, hendaklah membelanya” (Ali ibn Abu Thalib dalam Kitab Kanzul-Ummmal, karya Al-Shawaiq & Al-Mutaqqi)

Karl Raimund Popper, filosof dari Austria, menegaskan bahwa sejarah tidak memiliki arti. History has no meaning. Fakta masa lalu sekedar fakta masa lalu, yang tidak pernah memiliki arti pada dirinya sendiri; kecuali kalau kita, yang hidup di zaman sekarang, memutuskan untuk memberi arti pada suatu peristiwa sejarah tersebut.

Dengan maksud memberi makna inilah, Khalid Muhammad Khalid memutuskan untuk menulis Abna’u Ar Rasul Fi Karbala, yang dalam edisi terjemahannya berjudul Tentara Langit Di Karbala.

Khalid Muhammad Khalid, penulis Mesir yang terkenal melalui buku Rijal Haula Al-Rasul Saw, mengajak kita untuk kembali ke Karbala, pada 10 Muharram di tahun 61 Hijriah. Saat dimana Husain ibn Ali, cucu Rasul Allah, bersama 72 pengikutnya terdesak di padang Karbala, dan akhirnya memperoleh kematian mulia di hadapan empat ribu tentara Abdullah ibn Ziyad, penguasa Bashrah dan Kufah.

Peristiwa Karbala, yang juga dikenal dengan sebutan Asyura, dalam buku ini diceritakan kembali oleh Khalid melalui penuturan lugas, diperkaya dengan ungkapan-ungkapan penghormatan yang emosional dan mendalam.

Pada tujuh bagian di bukunya tersebut, berbagai sisi Hari Karbala disampaikan untuk kita: dari latar belakang Husain dan keluarga Nabi (Ahlul Bayt), penyebab konflik yang terkait dengan kepemimpinan Islam, mengapa Husain berkeras untuk memenuhi undangan warga Kufah, jalannya pertempuran, momen ketegaran kaum minoritas yang rela mengorbankan nyawa sebagai akhir dari tragedi umat Islam itu, hingga usaha untuk menginterpretasikan pesan-pesan dari Hari Karbala.

Melalui buku ini, kita seperti diajak untuk melihat bagaimana rombongan Husain didesak oleh seribu tentara pimpinan Al-Hurr ibn Yazid Al-Tamimi menuju Karbala, yang memisahkan rombongan itu dari sungai Furat. Kita juga seperti berkhidmat bersama salah satu pengikut Husain, Nafi’ ibn Hilal, yang tetap menghabiskan separuh malam di Karbala untuk menulis kitab Ala Sihami Nubulihi.

Termasuk melihat Husain memimpin pasukan yang kecil, dengan Zuhair ibn Qiyan di sebelah kanan dan Habib ibn Mazhhar di sebelah kirinya, dalam suatu pertempuran tidak seimbang, dan diakhiri dengan syahidnya Husain di tangan Syimr ibn Dzil Jun.



Seperti apa yang diharapkan penulisnya, buku ini bukan hanya dapat memperkaya perspektif kita mengenai Hari Karbala sebagai fakta masa lalu. Tapi juga dapat menjadi potret sejarah mengenai perayaan kebenaran dan festival pengorbanan dari orang-orang yang berpegang teguh pada agamanya.

Kematian Husain ibn Ali sebagai martir Ahlul Bayt, juga diterjemahkan umat Islam (terutama Syiah) sebagai pengorbanan total untuk menegakkan keadilan. Apakah kita juga melihat perjuangan Husain di Karbala sebagaimana yang dimaknai Khalid Muhammad Khalid, adalah bergantung pada kita yang ‘membaca’ peristiwa itu di zaman sekarang. Karena hal inilah, buku ini menjadi layak untuk dibaca.***

MAHASISWA & EMBRIO KEPEMIMPINAN

Dalam suatu 'Kongres Internasional Menentang Imperialisme & Penindasan Kolonial' di Brussel pada 10-15 Februari 1927, berkumpul sejumlah aktivis-aktivis muda dari berbagai belahan dunia.

Kongres dengan visi menentang imperialisme tersebut, diantaranya dihadiri oleh Jawaharlal Nehru (India), Liau Hansin (China), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), hingga Mohammad Hatta dan Ahmad Subardjo, yang kelak menjadi pemimpin nasional di negaranya masing-masing.

Mohammad Hatta sendiri, sebagai salah satu presidium dalam kongres tersebut, masih berstatus mahasiswa Handelshogeschool Rotterdam, di negeri Belanda.

Pada masa itu, ketika kolonialisme mulai ditentang oleh kaum muda Eropa, para mahasiswa yang mempelopori penentangan tersebut bukan sekadar mengidentifikasikan diri mereka dengan perjuangan di Aljazair, Kuba, India ataupun Indonesia; mereka memperlihatkan simpati pada seluruh perjuangan pembebasan di Dunia Ketiga.

Gerakan revolusioner kaum muda, dimanapun itu, dengan kemampuannya dalam menganalisis konsepsi mengenai kekuasaan, keadilan, dan kekuatan-kekuatan yang melestarikan suatu relasi eksploitatif, memungkinkan mereka menjadi kekuatan kepemimpinan bangsa di masa depan.

Dialektika Gerakan
Di negeri ini sendiri, mahasiswa adalah suatu gerakan otoritatif, yang sepanjang sejarah Indonesia modern terbukti mampu memicu berbagai perubahan sosial politik.

Menurut Arbi Sanit, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, dan mengenyam proses pendidikan terlama, membuat mahasiswa akan memiliki perspektif dan kepekaan yang lebih luas dalam menyikapi masalah kemasyarakatan.

Selain itu, kehidupan unik kampus dengan akulturasi sosial-budaya yang kompleks, keterlibatan dalam berbagai pemikiran dan penelitian tematik, memungkinkan mahasiswa menjadi 'kelompok pembaharuan' paling elite di kalangan kaum muda.

Hal ini kemudian diperkuat dengan perubahan sebagai karakteristik kaum muda. Inilah model Angry Young Man-nya John Osborne, dengan sikap anti kemapanannya dan hasrat besarnya untuk merekonstruksi struktur masyarakat yang nir-keadilan.

Pada masa-masa penuh perubahan sekarang, dan ketika demokratisasi terjadi dalam semua ruang kehidupan kita, maka kemungkinan terjadinya pergeseran titik tekan gerakan mahasiswa sangatlah terbuka. Manifestasi gerakan mahasiswa mungkin akan ter-radiasi menjadi komunitas belajar yang lebih kritis dan reflektif, dibanding beraktivitas dalam dunia aksi dan penyampaian aspirasi semata.

Melalui desain yang lebih progresif, dapat diciptakan suatu interaksi mutual antara mahasiswa dan masyarakat sebagai basis keberadaban (public civility) alternatif, berbentuk komunitas belajar. Sinergi antara mahasiswa dan masyarakat sebagai 'warga belajar' akan meningkatkan kemampuan kolektif masyarakat untuk beradaptasi secara lebih cerdas, sekaligus untuk menghadapi benturan peradaban dan kemajuan.

Dengan demikian, kebutuhan redefinisi dan revitalisasi gerakan, atau bisa kita sebut sebagai dialektika gerakan, merupakan sine qua non; suatu keharusan agar gerakan mahasiswa tidak kehilangan konteks zamannya dan tetap 'mengakar' pada kebutuhan masyarakat di sekitarnya.

Sehingga kehidupan kampus bukan sekedar dituntut untuk mengkloningkan individu-individu yang selalu merasa tidak puas dan menginginkan perubahan, tapi juga individu yang mampu melihat arah perubahan tersebut, memulai dan menciptakan proses-prosesnya, serta men-share hasrat kemajuan yang tertanam di dalam dirinya.

Regenerasi Tanpa Henti
Satu keunggulan komparatif lain dari 'gerakan pembaharuan' ini adalah sifat regenerasi alamiahnya, yang memungkinkan kelompok mahasiswa tidak pernah kehabisan sumber daya manusia untuk meneruskan estafet gerakan.

Setiap tahun mahasiswa-mahasiswa lama lulus dan pergi meninggalkan kampus, namun mahasiswa-mahasiswa baru selalu saja ada untuk menggantikan mereka: memperbaharui kesadaran, memodernisasikan pola-pola pergerakan, memperkaya perspektif, serta kembali meningkatkan kepekaan dan hakikat eksistensial dari gerakan ini.

Perpindahan generasi diatas turut memperkuat resistensi gerakan mahasiswa. Dimana, meski seringkali harus berhadapan dengan upaya disorientasi yang pervasif dari penguasa, namun roh gerakan mahasiswa tetap hidup, bahkan tetap narsistik diantara ancaman kekerasan politik.


Realitas ini kemudian membuat potret gerakan mahasiswa tidak hanya menyiratkan gerakan berbasis aksi massa. Tetapi juga model gerakan perjuangan yang diawali oleh 'kesadaran pembaharuan', didorong oleh generasi terpelajar yang menghadirkan organisasi pergerakan dan serangan intelektual bagi rezim penguasa, demi mencapai pembaharuan sosial-politik secara berkelanjutan.

Bagaimanapun, regenerasi ini, ditopang oleh visi dan kualitas pendidikan yang memadai, sejatinya akan terus mampu memproduksi sekelompok generasi terpelajar, dengan kode genetik utamanya terdiri atas: berpikir kritis, mampu membuat hubungan antar gagasan, dan mengetahui bagaimana mewujudkan suatu kebaikan tertinggi mengenai keikhlasan dan kerelaan bawaan (yang diekspresikan dalam sikap saling menolong dan intuisi simpatetis pada esensi penderitaan orang lain).

Jika tetap mampu mempertahankan idealisme komunitasnya, gerakan intelektual ini, sekelompok angry young man-nya John Osborne ataupun anak-anak muda yang selalu tidak puas ini, dalam kearifan sejarah, merupakan salah satu kekuatan perubahan yang patut diperhitungkan.

‘Jangan diam sebelum mati, sebab diam adalah mati sebelum mati’

®Juga dipublikasikan pada harian lokal, SATELIT NEWS, 280807

Tuesday, March 18, 2008

NEWSPEAK NOAM CHOMSKY

Bagi kita, masyarakat dunia ketiga, menyebut para pemimpin Amerika Latin yang galak (Fidel Castro, Hugo Chavez dan Evo Morales), ataupun para fundamentalis Islam di Iran sebagai penentang kepemimpinan global Amerika Serikat, boleh jadi merupakan kelaziman.

Menjadi lazim karena polarisasi musuh-musuh utama AS itu kental dengan prasangka politik. Suara penentangan akan berbeda jika muncul dari jantung peradaban itu sendiri: intelektual AS, dan jika memungkinkan berketurunan Yahudi.

Satu sosok intelektual berbeda itu ialah Noam Chomsky, seorang analis paling tajam atas kebijakan luar negeri AS. Selain menentang neo-liberalisme, Chomsky juga melihat desain ‘propaganda mental' AS akan tata dunia baru justru memperlemah demokrasi, menindas HAM dan hanya membawa kepentingan segelintir pemilik modal.

Bagi Robert W. McChesney, profesor komunikasi Universitas Illinois, Noam Chomsky adalah seorang anarkis, oposan berdimensi sosialis libertarian dan figur otoritatif di bidang linguistik.

Necessary Illusions

Noam Avram Chomsky (7 Desember 1928), putra seorang emigran Rusia, dibesarkan oleh keluarga Yahudi radikal, yang sempat melewati masa mudanya dengan menjual koran di kios pamannya di New York.

Pendidikan dasarnya diselesaikan di Oak Lane dan Sekolah Menengah Pusat Philadelphia. Lalu, Chomsky kuliah di Universitas Pennsylvania, dengan mendalami studi bahasa, matematika dan filsafat. Selama menjadi mahasiswa, Chomsky muda sangat terkesan akan pandangan politik radikal dari dosen linguistiknya, profesor Zellig Harris.

Minat politik inilah yang membuat Chomsky mengintroduksi 'revolusi kritis' pada kajian linguistik. Dengan integrasi linguistik, basis matematika dan logika modern, Chomsky menghasilkan master piece-nya di bidang generative grammar (pendekatan yang menghubungkan bahasa dan pikiran).

Dalam buku pentingnya, Manufacturing Consent: the Political Economy of the Mass Media (1988), yang ditulis bersama Edward Herman, profesor keuangan Universitas Pennsylvania, Chomsky menegaskan peran propaganda media global dalam mendesain persepsi publik akan isu-isu tertentu. Terutama isu politik internasional, terorisme dan tata dunia baru.

Media global membangun simbolisasi bagi lingkungan palsu di sekitar kita, dengan menyuplai informasi bias secara berkelanjutan. Informasi menyesatkan ini dinamakan Chomsky dengan 'ilusi-ilusi yang perlu' dalam membangun 'skema kognitif' kita akan suatu peristiwa, sesuai dengan agenda dari negara adikuasa.

Menurut Chomsky, sistem ini mengontrol pikiran kita dengan penggunaan kata-kata dan pemberian makna tertentu, yang dikenal dengan Newspeak. Sejumlah Newspeak diproduksi untuk membatasi pandangan kita akan realitas. Secara reflektif, Chomsky menyebutnya sebagai 'the American Ideological System'.

Penulis Profilik

Sebagai intelektual yang hidup di salah satu episentrum kemajuan dunia modern, Chomsky berperan sebagai bagian penggerak perkembangan intelektual dengan mengajar di Massachusetts Institute of Technology (MIT), tepat setelah Ia meraih Ph. D di Universitas Pennsylvania pada 1955. Chomsky bahkan menjadi profesor linguistik dan filsafat di universitas tersebut.

Hingga kini, selain mengajar di berbagai penjuru dunia dan menjadi aktivis politik berbasis keadilan sosial, profesor Chomsky juga menulis lebih dari 30 buku politik dengan beragam tema.

Karya-karya terpentingnya, selain Manufacturing Consent diatas, antara lain adalah Political Economy of Human Rights (1979), Towards a New Cold War (1982), Pirates & Emperors: International Terrorism in the Real World (1986), Necessary Illusions (1989), World Orders, Old & New (1994), hingga Profit over People: Neo-liberalism & Global Order (2003).

Seluruh karya politis profesor Chomsky (dari anti imperialis, analisis media kritis, bahasa, demokrasi dan gerakan buruh), merupakan suatu jalinan karya mengenai demokrasi, polarisasi terhadap kebijakan AS serta whistle-blower atas ancaman mencemaskan dari neo-liberalisme.***

Wednesday, March 05, 2008

ATEISME RUSSELL

-I-
Seorang anak laki-laki bertanya pada pengasuhnya, "Siapa yang merencanakan Tuhan?" Pengasuh itu terkesiap. Dengan nada mencemaskan, Ia berkata, "Apa maksudmu?"

Anak itu menjawab, melalui penampilan imutnya -pipi merah dan rambut keriting itu-, dengan penjelasan yang sungguh ganjil untuk anak se-usianya, "Kue ini buatan ibuku, dan ibuku adalah anak nenek. Pendeta bilang selalu seperti itu. Kalau Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta ini, dan juga menciptakan kita, lalu bagaimana dengan Tuhan sendiri? Siapakah yang merencanakan Tuhan?"

Pengasuh itu tampak terkejut. Atau, Ia memang tidak siap untuk meladeni pembicaraan aneh itu, "Tidakkah kau ingin bermain dengan teman-temanmu?"

Anak itu terdiam beberapa saat. Ia mengunyah kuenya dengan perlahan, dan melihat langit biru terluas yang selalu dilihatnya selama ini.

Bukan hanya pengasuhnya saja yang resah. Anak itu baru berusia 11 tahun. Apa yang terjadi dengan anak ini? Tidak mungkin ia terlalu banyak membaca filsafat Nietzsche. Ia memang penyendiri, dan kerap mengacuhkan ajakan bermain teman-temannya. Dengan pertanyaan aneh itu, ia tidak pernah terjatuh, tidak pula pernah mengalami cedera otak serius.

Selaras dengan berjalannya waktu, anak itu kemudian hari dikenal sebagai salah satu humanis terbesar abad 20. Dia-lah Bertrand Russell, seorang filosof yang kehilangan kepercayaannya pada segala bentuk otoritas sejak muda.

-II-
Cerita itu aku baca ketika berumur 18 tahun. Aku hampir tidak pernah lupa dengan apa yang kupikirkan saat itu. Membaca cerita tersebut -sambil membayangkan: bahwa aku hanyalah se-titik, benar-benar tanpa arti, dalam semesta tak berhingga ini, membuatku, untuk pertamakalinya, mesti gelisah dalam menyikapi hidup.

Apakah aku harus bersyukur, karena menjadi bagian kecil dari keagungan rencana Tuhan. Atau, inilah bagian yang selalu saja sulit, bahkan untuk sekedar diungkapkan.

Haruskah ku akui perasaan takut ini, perasaan benar-benar takut karena ketidak-berartian dan betapa kecilnya aku dalam kehidupan ini. Seperti tidak berpengaruh apa-apa bagi-Nya jika aku harus dihapus dari sejarah kehidupan sekarang, dan juga di kehidupan yang lain nantinya. End of history. Nothing!

Mungkin, tidak seharusnya Russell bertanya seperti itu. Tapi, mau tidak mau, hasrat ingin tahu Russell tersebut malah mendesak berbagai pertanyaan apokaliptik lain. Bukan semata mencari jawaban 'ada' atau 'tiada'-nya Perencana semua ini.
Tapi juga pencarian lain: siapa kita, mengapa kita hidup, apakah keberlangsungan hidup kita memiliki makna, atau hanya rangkaian tanpa tujuan. Lalu, bagaimana dengan kehidupan nanti, jika memang itu harus terjadi. Apakah akan berlanjut dengan keabadian, dan tanpa akhir, atau…

Ah, mencoba memikirkan hal-hal seperti ini lebih jauh, membuatku seperti ingin menangis. Aku harus berhenti.



-III-
Tapi, aku tidak benar-benar tidak memikirkannya. Sungguh menyedihkan, ketika pikiran ini terus menungguku, dengan setia, terutama di saat-saat keheningan tidak bisa terhindarkan.

Dan seperti epidemi, aku bahkan menyebarkan pikiran ini, kegelisahan dan rasa ingin tahu yang mengikutinya, pada orang lain disekitarku. Teman dekat, sesama pecandu sepakbola, beberapa wanita-wanita yang begitu sensitif, hingga mereka yang aku rasa telah melewati banyak hal dalam hidup ini.

Begitulah. Aku mendapatkan beragam reaksi melalui orang-orang yang pernah berbagi mengenai hal ini. Keheningan sesaat yang aku tidak mengerti. Gelengan kepala ragu-ragu. Ungkapan ketidak-mengertian, atas masalah ini dan atas pencarianku ini. Ajakan bersemangat untuk membicarakan topik lain yang lebih penting, lebih sederhana, lebih praktis dan lebih berdampak langsung pada prestasi hidup kita di dunia.

Begitu banyak tatapan aneh dengan dahi yang berkerut itu. Senyum kesejukan dan penjelasan persuasif yang terkadang mencerahkan, meski hanya sesaat. Mata-mata yang memandang kehampaan berhiaskan setetes air.

Kebingungan orang-orang tersesat, dengan ajuan keberatan yang semakin dalam. Hingga pembicaraan eksistensial yang mesti terhenti oleh azan shubuh.
Tapi lebih banyak sekedar komentar pendek bernada sinis, “siapa sih kita, tidak sepantasnya kita menanyakan hal-hal yang pasti ga bisa kita jawab?”
Semuanya bercampur selama bertahun-tahun. Tanpa akhir.

-IV-
Orang bilang, kita lebih dahulu terbiasa hidup, sebelum terbiasa berpikir. Mungkin saja orang-orang itu benar. Aku merasa keseharianku hanyalah rutinitas, bahkan ketika hidupku menginjak seperempat abad ini.

Aku tidak pernah benar-benar terbiasa berpikir, memusatkan perhatian, mengarahkan kesadaranku, atau berusaha membuat tiap gagasan dan tiap gambar dari hidup ini menjadi suatu orkestra penuh makna.

Akibatnya, pencarianku sekedar terbentur pada dua gagasan, yang terlalu sedikit tapi selalu saja aku jadikan sebagai titik Archimedes; tempat berpijak seadanya ditengah kabut ketidakpastian.

Gagasan pertama aku pungut dari seorang relawan kemanusiaan; dari jenis teman yang tepat untuk berbagi makna hidup. Walau, sebenarnya aku yakin, apa yang dia katakan, tidak lebih dari perputaran energi pengetahuan yang tak pernah berakhir. Dia meng-kloning-kan gagasan ini dari tempat lain.

"Kau pernah dengar Eugene O'Neil?"

Aku belum pernah mendengar nama itu. Tapi, aku juga tidak suka terlihat bodoh di depan orang lain.

"Apakah dia seorang pemikir modern yang rendah hati? Dari namanya, mungkin dia pemikir dari Skotlandia, bukan?”

"Wow, bukan, bukan. Dia bukan seorang jenius yang malas menjual pikirannya. Dia tuh seorang penulis tragedi sejarah terpenting"

Meski baru setahun terakhir mengenalnya. Namun, dengan kacamata tebal dan kantung mata yang tegas itu, aku memastikan bahwa dia sejenis homo sapiens pemakan buku.

"Tidak dari novelnya, ataupun dari roman satirenya. Melainkan dari drama yang ditulisnya. The Iceman Cometh.

Aku pernah melihat Drama O'Neil itu di sebuah pementasan independen di Jakarta. Orang-orang bilang, dan juga dari resensi para pakar, The Iceman Cometh memberi sensasi-pasca-pementasan yang hampir sama dengan Macbeth atau King Lear"

Aku menyerah. Tidak pernah terpikir olehku untuk menonton satupun dari ketiga drama yang nampaknya terkenal itu.

"Aku belum sempat melihat ketiganya. Emang sensasi seperti apa yang kau rasakan? Juga yang orang lain rasakan?"

"Perasaan mendalam tentang pentingnya hakikat manusia. Tentang menjadi manusia"

"Wah, sayang aku belum pernah menontonnya. Jadi, aku benar-benar tidak bisa membayangkan sensasinya"

Dia membuka kacamatanya. Seperti biasa, dia terlihat lebih muda jika melepas kacamata jelek itu.

"Ketika drama selesai, jika kita sungguh-sungguh menghayati, biasanya akan hadir kesadaran jernih akan kekosongan. Kesepian di dunia yang luas ini. Kita menjadi haus untuk mencari kejelasan hakikat kehidupan kita"

Aku hanya terdiam. Cerdas sekali drama itu. Dan memang, seperti itulah pekerja seni tercipta. Untuk mengajak kita melihat hal-hal yang seringkali kita abaikan. Membiarkan kita, dengan kecerdikan mereka yang mencurigakan, untuk melihat realitas-realitas yang tidak terpikirkan.

"Jadi, begitulah manusia. Seringkali kita tidak tahu apa-apa. Kemudian kita jadi berhasrat untuk menjelaskan semuanya. Kita berusaha memahami dunia dengan menyederhanakannya dalam sifat manusia. Kita menandai dunia dengan karakteristik diri kita”

"Maksudmu, jika itu menyangkut apa yang Tuhan semesta alam Inginkan, kita tidak akan bisa menemukan jawabannya"

Dia tidak langsung menjawab. Malah membersihkan kacamatanya dengan kain beludru dari kantong jaket hitamnya.

"Sepertinya begitu. Semua pertanyaan yang kau ajukan, rasa ingin tahu dan kegelisahan itu cuma pemikiran antropomorfis. Sehingga kita, sampai kapanpun, tidak akan bisa memahami 'pikiran' di atas sana"

Dia melanjutkan. Berat dan dalam, hampir putus asa.

"Kita boleh menangis sejadi-jadinya atas ketidakberdayaan ini. Tapi, memang inilah yang harus kita terima"

Aku tidak tahu mesti berkata apa

"Yeah, tapi menurutku penting juga sekali-kali kita memikirkan hal ini. Biar kita menghayati betapa kecil-nya kita"

-V-
Gagasan sederhana lain atas pencarianku ini hanyalah satu istilah yang terdengar deket, dan juga keren bagi sebagian orang.

Istilah ini sepertinya menjadi akhir dari setiap pembicaraan, karena tampak masuk akal dan manusiawi; 'kegelisahan eksistensial'. Yup, itulah istilah yang aku pinjam dari ruang-ruang kuliah filsafat di tahun-tahun pertamaku kuliah.

Kata orang-orang jenius di luar sana, yang menghabiskan hidup mereka untuk mendiskusikan banyak gagasan mencerahkan, keadaan ini cuma kegelisahan, sekedar ketakutanku akan ketiadaan. Apa yang aku alami, rasakan dan pikirkan ini sangat manusiawi.

Terkadang kita berusaha untuk mengatasi keanehan ini, bahwa kita yang pasif ini adalah produk ciptaan, dengan mempertanyakan segala sesuatu. Inilah yang dinamakan Erich Fromm, seorang psikolog terkenal dari Jerman, sebagai perasaan akan transendensi.

Terkadang kita melangkah lebih jauh. Bukan sekedar bertanya, tapi juga menggugat.

Terkadang kita bukan sekedar gelisah akan ketiadaan karena kematian, tapi juga karena kita kesulitan memikirkan kemungkinan akhir dari hidup setelah kematian. Karena kita tahu, tidak ada yang pernah tahu. Meski, kita telah dikabarkan akan hidup selamanya di kehidupan itu nanti.