Kode genetik terpenting dalam peradaban global saat ini adalah media informasi. Superioritas media sebagai agen peradaban tercermin dari kapasitasnya dalam membangun opini publik, mengarahkan gaya hidup dan trend pemikiran.
Media dapat menghibur, mengajar, mendidik, sekaligus menyesatkan kita. Tanpa henti, dengan variasi yang tidak pernah berakhir. Seringkali kita mengikuti arus, bereaksi pada isu-isu tertentu akibat stimulus media.
Salah satu produksi persuasif media adalah ritual untuk memperingati hari-hari tertentu. Di bulan Desember, salah satu hari yang populer adalah 1 Desember, sebagai Hari AIDS internasional.
Dan umumnya, dalam sisi yang kontras, kelesuan publisitas mengakibatkan hal-hal tertentu terlupakan. Seperti peringatan Hari Penyandang Cacat Internasional pada tanggal 3 Desember, yang banyak diantara kita nampak tidak mengetahuinya.
Padahal, bentuk-bentuk ekspresi sosial telah digunakan di pelbagai negara oleh penyandang cacat, atau belakangan disebut dengan difabel (different ability, bukan disabled).
Ritual peringatan tahunan ini seringkali terinspirasi oleh aksi duduk penyandang cacat Amerika di kantor Federal San Fransisco pada tahun 1977, yang merupakan manifestasi pemeliharaan rasa bangga dan solidaritas dalam komunitas difabel.
Masyarakat Kelas Dua
Penyandang cacat terkadang dihakimi sebagai ‘an existence which should not exist’, eksistensi yang seharusnya tidak ada. Dan tanpa disadari, telah menjadi masyarakat kelas dua. Suatu prototipe masyarakat yang didesain untuk menerima diskriminasi fisik dan non-fisik.
Diskriminasi bahkan dilakukan oleh orangtua. Diantaranya dengan mengisolasi anak cacatnya dalam rumah, membatasi relasi sosial anak dengan dunia luar, dan membuatnya tampak tidak berdaya.
Fungsi tradisional keluarga tenggelam ditengah able-bodied culture, sejenis budaya eugenik dalam masyarakat yang memberi label orang cacat sebagai nasib buruk.
Budaya able-bodied tercermin dalam kristalisasi nilai-nilai tertentu yang menjadi norma sosial, penindasan samar yang terlembagakan tentang habituasi mengasihani diri sendiri, hingga ketergantungan pada rumah, lembaga sosial dan masyarakat.
Keadaan masif yang tercipta tentang buruknya posisi komunitas difabel di Indonesia juga merupakan produk dari kelambanan sejarah perubahan di negeri ini.
Lambannya pemerataan pembangunan dan kualitas pendidikan, penanggulangan krisis ekonomi, kemiskinan hingga pemberantasan korupsi.
Dengan demikian, untuk merangsang perubahan yang lebih progresif, maka upaya mentransformasi contoh-contoh terbaik dalam lanskap gerakan persamaan hak asasi komunitas difabel di berbagai belahan dunia menjadi begitu penting. Seperti Independent Living Movement di Amerika pada pertengahan tahun 70-an, dan di Jepang sebagai pengikut terbaiknya satu dekade kemudian.
Gerakan Self-Help
Independent Living merupakan filosofi gerakan yang terkait dengan penyediaan layanan bagi penyandang cacat berbasis masyarakat. Sebuah sistem berpikir dan cara hidup yang meng-integrasikan kemandirian dan alternatif untuk menjalani kehidupan berlandaskan self-help (menolong diri sendiri).
Pusat-pusat Independent Living di Amerika dan Jepang umumnya memiliki program semisal peer-counseling (konseling swa-kelompok), pendampingan bagi penyandang cacat, dan pelayanan rumah singgah.
Berbagai program tersebut mentransfer sikap, tingkah laku dan skill sosial yang dibutuhkan kaum difabel untuk hidup di masyarakat. Melalui kelas-kelas peningkatan kepercayaan diri, motivasi untuk hidup dan memperkuat self esteem (Tsutsumi & Higuchi, 1998).
Dengan visi besar Independent Living-lah, komunitas difabel di kedua negara maju tersebut menjadi organisasi modern yang cukup mapan, memiliki kapasitas bertahan dan bernegosiasi dengan pemerintah secara memadai.
Penyandang cacat di Amerika dan Jepang dapat hidup independen dengan sarana-sarana publik yang aksesibel, dan sekaligus meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam menikmati hidup. Pencapaian ini tentu membutuhkan organisasi gerakan yang kuat dan proses panjang.
Bagaimanapun, peringatan tahunan ini bukan sekedar sebagai medium sosialisasi bagi gerakan kemandirian komunitas difabel, tetapi juga menjadi embrio berkelanjutan yang mencerahkan kesadaran masyarakat.
Kesadaran yang diawali ketika pendataan jumlah individu difabel dilakukan secara lebih akurat, para orang tua tidak lagi malu dan mengurung anaknya yang cacat di rumah, serta tata ruang publik mencerminkan lingkungan bersahabat yang manusiawi, memberikan kemudahan bergerak dan ‘ramah orang cacat’.
Juga ketika kita mulai memandang penyandang cacat dengan lebih baik, mengenalinya dengan komunitas berkemampuan berbeda (different ability) bukan tidak berkemampuan (disabled), serta tidak menjadikannya sebagai manusia eksklusif (yang patut dikasihani).
Yang jauh lebih penting, ketika organisasi difabel mengekspresikan apa yang mereka butuhkan, seperti keyakinan yang selama ini mulai dikembangkan: ‘jangan pernah membicarakan hak-hak difabel, tanpa melibatkan kita (penyandang cacat)’.
Pertanyaan penting selanjutnya adalah mengapa isu tentang komunitas difabel ini penting? Bahkan bagi orang yang tidak cacat sekalipun. Jawabannya persis sama dengan bagaimana kita seharusnya menyikapi fenomena kemiskinan.
Empati yang dangkal, pengabaian kronis dalam masyarakat, ataupun tidak adanya energi tersisa untuk memperhatikan hal-hal yang secara pragmatis tidak menguntungkan. Ini adalah noda dalam identitas kemanusiaan kita.
Permasalahan sosial seperti ini bukan sekedar beranalogi bagaimana kalau besok kita cacat atau menjadi miskin. Semuanya bisa saja terjadi.
Tetapi, yang diperlukan adalah proses menggugah kesadaran serta mengembangkan masyarakat yang saling menolong, mengaktualisasikan kembali kolektivitas dan struktur keramahan, yang ironisnya mulai berkurang belakangan ini. Padahal, menurut keyakinan banyak ahli sosial Eropa, masyarakat yang inklusif adalah berakar dari negara agraris, seperti Indonesia!
1 comment:
di denpasar para penyandang disabilitas dari Yayasan pendidikan Dria Raba juga memperingatinya dengan jalan santai
salam kenal sob, ditunggu kunjungan baliknya ya.....
Post a Comment