
Perjuangan Muhammad Yunus sejak tahun 1974 untuk membangun pilar terpenting perdamaian, yakni pemberantasan kemiskinan, memang layak untuk diapresiasi.
Profesor Yunus berupaya mereduksi kemiskinan dengan memberikan akses modal bagi kaum miskin, tanpa jaminan dan collateral (syarat) yang berbelit-belit. Akses modal ini dikelolanya dalam lembaga kredit, yang kemudian ditransformasikan menjadi bank formal, bernama Bank Grameen.
Sejak berdiri tahun 1983, Bank Grameen, atau Bank Desa dalam bahasa Bengali, telah memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Bank itu kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS, setiap bulan, kepada sekitar 6 juta lebih kaum miskin yang menjadi nasabahnya.
Kemenangan Profesor Yunus membuat isu kemiskinan, kredit mikro dan pemberdayaan kaum miskin menjadi arus utama perhatian masyarakat. (Entah kebetulan, atau memang latah mengikuti trend, iklan pemerintah mengenai program bantuan modal bagi masyarakat miskin dan usaha mikro tampak sering kita lihat di media
Kemiskinan Di Indonesia
Masalah kemiskinan ini, seperti biasa, harus kita kaitkan dengan negeri kita. Dengan sekitar 40 juta masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan,
Negeri yang sepertinya selalu mempunyai program pemberantasan kemiskinan.
Mulai dari kredit Bimbingan Massal (Bimas) semasa orde baru, program kredit mikro dari KUD, paket Kredit Usaha Kecil (KUK) sebesar 20% yang wajib disalurkan oleh bank di awal tahun 1990-an, pemberdayaan UMKM, program BLT untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin, proyek Perkasa (pengembangan usaha mikro khusus untuk perempuan), hingga kebijakan penguatan Lembaga Kredit Mikro (LKM).
Namun, dari realitas yang kita lihat, masyarakat miskin seolah tetap berada dalam lingkaran kemiskinannya.
Di negeri ini, usaha mikro bukan hanya sulit mengakses kredit dari perbankan (karena alasan tidak bankable), tapi juga terkadang kurang mendapatkan perlindungan yang memadai dari pemerintah.
Aliran kredit dari bank malah mengalir ke bisnis milik pengusaha besar, yang rasionya hanya 0,01% dari sekitar 44,69 juta unit usaha yang ada di
Koperasi yang semestinya menjadi Multiple Purpose Vehicle bagi masyarakat, menurut Sri-Edi Swasono dalam sebuah Seminar Nasional tentang masa depan koperasi yang pernah penulis ikuti, malah disisihkan dan dihakimi sebagai anti-tesis yang tidak memadai untuk mengatasi persoalan kemiskinan.
Noble Principle
Kesenjangan ini tentu mengindikasikan adanya sesuatu yang salah, entah itu pada sistem ataupun pendekatan yang digunakan, dalam pemberantasan kemiskinan di
(Simak komentar Muhammad Yunus: ‘Kami, profesor universitas semuanya pintar, tetapi kami sama sekali tidak tahu mengenai kemiskinan di sekitar kami. Ketika banyak orang yang sekarat di jalan-jalan karena kelaparan, saya justru sedang mengajarkan teori-teori ekonomi yang elegan’).
Komentar ini adalah semacam gugatan terhadap pakar ekonomi yang berada dalam menara gading, yang terlalu memuja competitive economics, dan cenderung meremehkan cooperative economics. Yang juga ikut serta melestarikan sistem sosial-ekonomi yang tidak adil bagi masyarakat miskin. Sistem yang terkadang memandang sebelah mata kontribusi usaha mikro (dan koperasi) dalam pertumbuhan ekonomi.
Dari
Dari
Lalu, bagaimana dengan kita?
No comments:
Post a Comment