Sebagian besar kuis bertujuan untuk merangsang senyum kita, ketika kita melihat orang-orang mendapatkan berbagai hadiah. Dari tontonan ini pula, perasaan bahagia, keceriaan dan kejutan dapat menghibur kita. Mengajak kita bersenang-senang sejenak, melepaskan penat dan melupakan tekanan dalam kehidupan. Meski, kita bukanlah pemenangnya.
Buat sebagian dari kita, sepertinya tidak ada yang salah dengan meluasnya berbagai kuis tersebut. Namun, ada satu hal yang mengkhawatirkan saya, yang berkaitan dengan relasi antara kuis dan orang miskin.
Untuk kita, menonton kuis yang berhadiah jutaan, bahkan miliaran, tentu menjadi pengalaman menyenangkan, sekaligus mendebarkan.
Tapi, sensasi itu mungkin akan terasa berbeda pada orang miskin. Pada para tukang becak, nelayan, atau pedagang kaki lima, yang mesti menghabiskan seharian hidupnya mengumpulkan uang, yang sekedar cukup untuk bertahan hidup.
Sedangkan, dari tontonan kuis itu, seseorang bukan hanya dengan mudah mendapatkan uang (pada salah satu kuis, anda cukup berpenampilan aneh, pemandu kuispun memilih anda, dan dipastikan anda akan membawa pulang hadiah), tapi juga seringkali sekedar bermodalkan keberuntungan.
Orang miskin lalu mulai membandingkan, antara dirinya yang bekerja keras namun selalu dalam keprihatinan, dengan orang-orang (dalam kuis di televisi) yang dengan mudah mendapatkan uang. Makna kerja keras seperti disepelekan.
Yang lebih menyedihkan, akses-akses untuk kuis seringkali tidak mungkin dijangkau oleh orang miskin, orang yang lebih membutuhkan hadiah-hadiah tersebut.
Apakah kita tidak menangkap bentuk ketidak-adilan disini? Orang miskin di Indonesia bukan sekedar ‘warga kelas dua’, yang mendapatkan diskriminasi dalam berbagai hal. Tapi juga mesti gigit jari, mesti sabar menonton hiburan-hiburan di televisi yang berpeluang menyakiti perasaan mereka.
Kuis mungkin memang hanya hiburan untuk kita. Tetapi, sebaiknya, konsep-konsep kuis juga hendaknya memperhatikan dampak psikologis bagi orang miskin. Terutama, untuk kuis-kuis yang tidak penting, yang hanya mengumbar hadiah miliaran rupiah dengan mudah.
Dalam bingkai yang lebih besar, bangsa kita sepertinya kurang memerlukan jurnalistik hedonis, jurnalistik remeh temeh (melalui berbagai infotainment yang menggempur rumah kita setiap hari), dan juga berbagai produk jurnalisme bernuansa kekerasan sebagai menu utama dalam tayangan stasiun televisi kita.
Untuk beberapa kasus, kita bahkan membenci media yang dapat dengan dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral dan pesan-pesan spiritual. Media yang menayangkan gambar kemewahan selebritas virtual dalam satu detik (yang serba berlebih dan menghambur-hamburkan), dan pada detik berikutnya orang-orang di daerah pedalaman yang kelaparan dan nyaris sekarat.
Terakhir, untuk stasiun televisi, ataupun perusahaan-perusahaan yang menjadi sumber dana bagi penyelenggaraan suatu kuis, bukankah dana yang begitu besar itu sebaiknya diwujudkan dalam bentuk corporate philanthropist.
Membangun sekolah yang hendak runtuh, mengembangkan rumah sakit di daerah terpencil, memberi beasiswa bagi orang miskin, ataupun membantu pemerintah dalam mengatasi kelaparan dan gizi buruk, tentu lebih dibutuhkan oleh bangsa ini.
No comments:
Post a Comment