Sunday, September 05, 2010

GERAKAN MELEK EKOLOGI


Krisis lingkungan menjadi arus utama perdebatan masyarakat dunia dalam beberapa tahun terakhir. Bukan hanya pada peringatan Hari Bumi, setiap 22 April saja, yang menjadi momentum untuk merejuvenasi perasaan peduli kita pada alam. Saat sekarang, setiap orang yang peduli dengan keberlangsungan kehidupan manusia berusaha menjadikan krisis lingkungan dan bagaimana cara penanggulangannya sebagai isu bersama.

Seperti beberapa pakar multidisiplin dari berbagai negara, yang berkumpul dalam Intergovernmental Panel on Climate Change of the United Nations. Para pakar ini mencoba menganalisis kemungkinan penyebab rangkaian bencana dalam beberapa tahun terakhir. Hipotesis yang muncul adalah bahwa pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca, dapat memicu perubahan iklim global, menghadirkan gelombang panas, memicu kenaikan permukaan laut, termasuk kekeringan dan banjir yang datang silih berganti. 

Krisis lingkungan akibat perubahan iklim global, bukan semata berdampak pada keseimbangan alam, tapi juga menjadi ancaman luar biasa bagi keberlangsungan bumi di masa depan. Hal inilah yang membuat upaya-upaya anti-tesis bagi krisis lingkungan menjadi derivasi yang krusial bagi pembangunan berkelanjutan.

Pusat-pusat studi lingkungan berbentuk organisasi intergovernmental, program lingkungan PBB (UNEP), Commission on Sustainable Development (CSD), hingga KTT Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 dan Protokol Kyoto hanyalah rangkaian kampanye untuk menegaskan dukungan politik untuk mereduksi pemanasan global. 

Selain menjadikan arus utama perdebatan masyarakat dunia, komunitas-komunitas yang peduli lingkungan juga mengampanyekan integrasi antara antitesis krisis lingkungan, ideologi kontra pemanasan global dan konsepsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development). 

Pembangunan berkelanjutan ini diawali oleh sekelompok masyarakat dengan pemahaman kognitif yang memadai tentang hakikat dan prinsip-prinsip ekologi. Proses meningkatkan pemahaman inilah yang dinamakan ecological literacy atau ecoliteracy. 

Desain Ekologi

Ecoliteracy, sebuah paradigma baru yang dipopulerkan oleh Fritjof Capra, bertujuan meningkatkan kesadaran ekologis masyarakat. Ecoliteracy berupaya memperkenalkan dan memperbaharui pemahaman masyarakat akan pentingnya kesadaran ekologis global, guna menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopangnya.

Pada awalnya ecoliteracy lebih dikenal dengan ecological awareness, atau kesadaran ekologis. Dengan penggunaan kata ecoliteracy, berarti kita bukan sekedar membangkitkan kesadaran untuk peduli terhadap lingkungan, tapi juga memahami bekerjanya prinsip-psinsip ekologi dalam kehidupan bersama yang berkelanjutan di planet bumi ini. Kita memercayai bahwa prinsip-prinsip ekologi sejatinya menjadi penunjuk arah bagi penciptaan komunitas belajar berbasis pembangunan berkelanjutan. 

Dengan demikian, `melek ekologi` merupakan tahap pertama dari pembangunan komunitas-komunitas yang berkelanjutan. Tahap kedua adalah apa yang disebut dengan ecodesign, atau rancangan bercorak ekologi. Ecodesign dapat diterapkan di hampir segala bidang. Kita mengenalnya dalam frasa-frasa yang mulai lazim belakangan ini, semisal ecoeconomy, ecocity, ecofarming, ecotechnology, hingga ecopsychology. Tahap ketiga dari proses ini adalah terbentuknya komunitas-komunitas berkelanjutan yang menyadarkan dirinya pada prinsip ekologi.

Untuk mendukung gerakan `melek ekologi` ini, Fritjof Capra bersama Peter Buckley dan Zenobia Barlow mendirikan The Center for Ecoliteracy pada tahun 1995, di Berkeley, Amerika Serikat. The Center for Ecoliteracy diperuntukkan untuk memperjuangkan dan menyebarluaskan paradigma baru berupa konsep ecoliteracy diatas.
Selain mencoba menginternalisasi prinsip-prinsip ekologi dalam bidang praksis diatas, Fritjof Capra juga mengungkapkan pentingnya integrasi paradigma ecoliteracy dalam kurikulum di sekolah. Pendidikan perlu memastikan pemahaman peserta didik yang lebih baik akan sistem kehidupan, siklus dan jaring kehidupan, ataupun daya dukung bumi di masa depan.

Frijof Capra sendiri, dalam sebuah kuliah di Liverpool Schumacher Lectures, 20 Maret 1999, mengatakan, keberhasilan `melek ekologi` membutuhkan kurikulum yang memastikan guru dapat mengajarkan prinsip-prinsip ekologi, seperti: (1) bahwa ekosistem tidak menghasilkan limbah dalam arti sebenarnya, karena limbah dari satu spesies merupakan makanan bagi spesies lainnya, (2) zat makanan berputar secara kontinu melalui lingkaran kehidupan, atau web of life, (3) bahwa energi yang menggerakkan perputaran kehidupan berasal dari matahari, (4) keanekaragaman dan kompleksitas jaringan ekologis menjamin stabilitas ekosistem, dengan keseimbangan yang dinamis, (5) dan bahwa kehidupan semua organisme, sejak permulaan kehidupan sekitar 3 miliar tahun yang lalu, tidak dilalui dengan peperangan, melainkan atas dasar kerja sama, kemitraan dan jaringan.

Karena keberlangsungan kehidupan (manusia) bergantung pada kemampuan kita memahami prinsip-prinsip ekologi, dan bagaimana kita menjalani keseharian hidup berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. ***

*Juga dipublikasikan di Harian Umum PIKIRAN RAKYAT, 07 Mei 2009

No comments: