seperti yang dikatakan oleh Peter Ustinov dalam Aftertaste (1958), sedikit orang berhenti menjadi manusia, dan mulai menjadi gagasan, kemudian menjadi monumen, sampai akhirnya menjadi aftertaste: bukti kejayaan masa lalu yang menyisakan rasa tertentu di kepala-kepala generasi saat ini
Monday, September 06, 2010
HEGEMONY & THE BUSINESS OF WAR
Sunday, September 05, 2010
GERAKAN MELEK EKOLOGI
Sunday, February 28, 2010
SISI PSIKOLOGIS BERAGAMA
Para penafsir sosial budaya memetakan suatu siklus hibrid yang nampaknya berkembang di masyarakat Barat: era intelektual, emosional, dan akhirnya era spiritual. Sedangkan di sini, di Indonesia, dan banyak negeri timur lainnya, agama dan spiritualitas adalah entitas yang begitu dekat. Ia selalu hadir dalam ruang hidup dan keseharian kita.
Meski begitu dekat, agama tetap menjadi wacana perdebatan yang membingungkan, karena kerap menampakkan realitas elusif yang berlawanan; memicu kekerasan komunal tapi juga mengkloningkan solidaritas kemanusiaan, mengembangkan irasionalitas yang berjalan seiring dengan pencarian ilmu pengetahuan, hingga meletupkan banyak peperangan sekaligus men-share perdamaian paling hakiki.
Berbagai pendekatan pun telah digunakan untuk lebih memahami agama. Namun, dibandingkan dengan pendekatan lain, pendekatan psikologi dianggap sebagai pendekatan yang lebih manusiawi dan adil.
Psikologi mencoba menggali dimensi-dimensi penting yang kompleks dalam struktur serta dinamika mental manusia dan juga masyarakat, terutama untuk mengenali derivasi mental dari perilaku beragama manusia.
Agama tidak menjadi realitas langit, yang sakral dan transenden. Sebaliknya, psikologi memperlakukan agama dalam perspektif perilaku manusia, yang melibatkan manusia dimanapun, dengan agama apa saja.
Candu Masyarakat?
Psikologi lazimnya tidak mengajukan pertanyaan ‘apakah Tuhan itu’, ataupun eksplitasi ‘bagaimana Tuhan dapat kita temukan’. Psikologi berusaha menerjemahkan basis-basis motivasional dari tingkah laku (ber)agama.
Para psikolog awal membahas agama sebagai hal yang alamiah, bersifat bawaan, tidak dipelajari, instingtif dan berasal dari sumber primal. Namun demikian, irisan tematik antara psikologi dan agama yang paling sering ditafsirkan adalah bahwa agama memiliki karakter defensif dan melindungi; bahwa perasaan lemah dan tidak berdayalah yang membuat manusia membutuhkan agama.
Sigmund Freud, peletak dasar-dasar psikoanalisa paling otoritatif, dalam bukunya The Future of an Illusion (1961) mengungkapkan bahwa motivasi beragama bersumber dari ketak-berdayaan manusia menghadapi kekuatan-kekuatan dari luar dirinya dan dorongan instingtif di dalam dirinya.
Lebih jauh Freud menilai perilaku beragama di atas sebagai keadaan mental yang identik dengan obsessive-compulsive neurosis. Agama adalah ilusi, atau gagasan invasif yang diciptakan manusia secara sengaja untuk mengatasi berbagai masalah psikologis dan perasaan inferior yang dihadapi mereka.
Sedangkan aktivitas-aktivitas ritual dalam beragama merupakan tindakan compulsive yang dilakukan berulang-ulang untuk mengurangi kecemasan tersebut. Persistensi ilusi dan ritualisme ini, dalam bahasa Marxian, dapat berkembang menjadi candu obsesif bagi masyarakat.
Selain itu, Freud juga menemukan bahwa orang beragama sering mengalami feeling of powerlessness (perasaan ketergantungan). Dengan perasaan dependensi itu, orang tidak akan pernah sampai pada kedewasaan beragama karena gagal membangun otonomi dirinya sendiri sebagai manusia.
Melalui penafsiran tematik Freud diatas, banyak kalangan akademik kemudian dengan cepat menghakimi Freud sebagai penganjur ketidakpercayaan atas Tuhan (ateisme). Padahal, dengan menggunakan telaah introspektif, sebenarnya Freud bermaksud mengangkat suatu keprihatinan etis; bahwa dengan beragama manusia bisa saja terjebak dalam suasana patologis, terlebih jika kemampuan akalnya tidak digunakan untuk mengembangkan kesadaran beragama.
Penelitian psikolog Gordon Willard Allport, dalam bukunya The Individual & His Religion (1960), mendukung hipotesis Freud diatas. Allport mengungkapkan bahwa subjek-subjek yang menerima agama tanpa merenungkannya dan tidak kritis nampak mengalami beragam konflik, kegelisahan dan kecurigaan.
Religious Feeling
Melalui sudut perspektif yang berbeda, Sigmund Freud sejatinya sedang menerjemahkan suatu kekhawatiran atas peminggiran hakikat agama, yakni religious feeling, oleh perasaan otoritatif yang tidak terkendali, yang dianggap orang beragama sebagai ‘agama’.
Inilah yang dipotret oleh Robert A Johnson dalam Ectasy: Understanding the Psychology of Joy (1987), sebagai hilangnya ekstase spiritual dalam masyarakat Barat. Kehampaan yang diwariskan oleh kemiskinan humanisme Barat malah diisi dengan etos kesuksesan sebagai agama pengganti (ersatz religion) dan tidak resmi (illicit).
Orientasi keagamaan direduksi menjadi ekstrinsik, terfokus keluar, sekedar memberikan status dan perasaan aman. Erich Fromm, psikolog kelahiran Frankfurt Main, menyebutnya sebagai sikap beragama yang belum matang.
Secara implisit, pembacaan psikologi terhadap agama adalah hasrat pencarian akan bentuk-bentuk beragama yang sehat dan matang secara psikologis. Suatu hakikat agama sebagai manifestasi penyembuhan ruhani (cure of the soul). Agama sebagai sistem yang memberikan manusia kerangka orientasi dan obyek pengabdian, sekaligus sebagai cara untuk memahami dunia ini (world view).
Dalam buku provokatifnya, Psychology & Religion (1979), Carl Gustav Jung meyakini bahwa keberagamaan yang sehat dan matang adalah reservoir bagi energi spiritual. Sebuah orientasi keagamaan yang berbasis intrinsik, dan selaras dengan apa yang disebut tradisi keagamaan sebagai religious feeling (perasaan keberagamaan).
Religious feeling ini termanifestasi dalam pemahaman kita akan kebaikan tertinggi dalam bentuk: keikhlasan dan kerelaan bawaan (yang diantaranya diekspresikan dalam sikap saling menolong dan intuisi simpatetis pada esensi penderitaan orang lain), cinta dan persaudaraan demi mengurangi penderitaan, serta jalan bagi kebebasan dan tanggung jawab sosial manusia dalam mengembangkan spiritualitas dan pencapaian cita-cita kebenaran.
William James, psikolog dan filosof pragmatis terkemuka dari Harvard, melalui buku klasiknya The Varieties of Religious Experience (1902), menilai bahwa agama tidak boleh dinilai oleh dirinya sendiri saja, tetapi juga demi akibat-akibat moral dan psikologis yang terkait dengannya.
William James melihat dampak psikologis yang paling positif dari dorongan religius adalah cinta akan hidup. Kearifan perenial ini membuat hidup yang lebih agung, kaya dan memuaskan, sebagai tujuan agama pada analisis terakhir.