Ketika reformasi dihembuskan, kebebasan berbicara dan berpendapat memperoleh begitu banyak ruang untuk dimanfaatkan. Hampir setiap hari, kita disuguhkan narasi yang bernada protes, yang menceritakan rakyat miskin yang menjadi pesakitan dimana-mana, disertai perpaduan gagasan yang kerap mengikutinya: penguasa tanpa hati nurani, dan juga bermental demang.
Dengan melimpahnya ruang publik yang dapat kita akses, realitas ketimpangan sosial sudah menjadi rutinitas, bahkan makin bertambah tiap harinya. Berbagai produk jurnalisme tersebut merupakan satu bentuk dari volonte generale, suara orang banyak, yang tidak pernah lelah menyapa ruang publik kita.
Fakta ini bukanlah hal baru. Sebagian dari kita paham benar dalam tahun-tahun belakangan ini, bahwa kemiskinan adalah komoditas dan program pemberantasannya sekedar politik wacana dari penguasa.
Dalam saat-saat tertentu, kita terkadang mengalami apa yang disebut Sissela Bok dalam buku pentingnya, Mayhem (1998), sebagai compassion fatigue. Yakni, keletihan yang membuat kita tidak sanggup lagi merasa terharu ataupun berbelas kasihan.
Dari gejala defisiensi empati inilah yang memaksa Taufiq Ismail meminta kita untuk sekedar bertahan waras ditengah ketimpangan sosial-ekonomi yang aneh ini.
Lalu, apakah sebatas mengetahui, dan memaklumkan realitas ketimpangan ini sudahlah cukup? Jelas tidak cukup. Ada pilihan lain yang lebih mendesak dan konstruktif, dibanding hanya bertahan untuk waras saja.
Relasi Penguasa-Rakyat
Diskursus untuk menelisik ketertindasan rakyat miskin membuat kita terseret dalam perdebatan mengenai relasi penguasa-rakyat. Rakyat yang di-subordinasi secara sistematik. Bahkan ketika mereka berteriak dan melakukan protes-pun, belum menjamin bahwa aspirasi dan harapan mereka akan didengarkan penguasa.
Dalam ingatan sejarah, selama bertahun-tahun kita mengalami depolitisasi. Kita tenggelam dalam demokrasi terpimpin konstitusional semasa rezim orde baru, dengan semua kebijakan bersumber pada satu poros kekuasaan.
Demokrasi yang berlaku saat itu adalah formalistik. Kita, seperti yang dikeluhkan Marx, hanya diberi kesempatan berpartisipasi aktif dalam pemilu saja, dan untuk selanjutnya penguasa yang berhak menentukan semua hal.
Penguasa (dalam bingkai negara) tampak berhasil menguasai basis-basis pikiran (kognitif) kita, melumpuhkan kesadaran kritis dan kemampuan afektif, serta membuat kita powerless dan menerima berbagai rekayasa dari ritus-ritus penindasan yang dilestarikan selama bertahun-tahun. Manipulasi kesadaran inilah yang dimaknai Antonio Gramsci sebagai hegemoni.
Hingga saat ini, ketika reformasi menjanjikan banyak perubahan dan kebebasan, roh demokrasi formalistik masih terlihat. Kita menyadari, hegemoni negara sungguh kental.
Realitasnya, sekali lagi, terlihat dengan jelas. Protes rakyat banyak sekedar rutinitas, responnya pun minimalis. Krisis partisipasi rakyat adalah kelaziman, dari level perencanaan hingga evaluasi program. Atau, kalaupun terjadi interaksi antara penguasa-rakyat, sebagian besar bersifat kosmetik dan superfisial.
Counter Hegemony
Sindrom ketidakmampuan kita, bukan semata rakyat miskin, dalam mempengaruhi kebijakan yang diambil penguasa semestinya mendesak kita untuk memperbaiki relasi penguasa-rakyat. Proses ini, jika tidak muncul dari kesadaran tinggi elite dan penguasa, maka harus muncul dari kita sendiri.
Menurut Gramsci pula, upaya meningkatkan kekuatan diametral rakyat di mata penguasa adalah dengan menciptakan hegemoni tandingan. Yakni, proses penyadaran kognitif dalam lanskap (sosial, budaya, politik dan ekonomi) yang mengalami ketertindasan.
Program-program pengembalian kesadaran rakyat yang tertindas diawali dengan kristalisasi komitmen moral dan keprihatian kita terhadap realitas kesenjangan sosial dan ketidak-adilan.
Secara tekstual, kesadaran sosial (dan komitmen moral) adalah modal awal dari gerakan kolektif rakyat dalam transformasi struktur masyarakat yang lebih adil. Modal ini lalu dipertajam dengan mengkloningkan doktrin pemberdayaan rakyat, memperbaiki kualitas pendidikan, repolitisasi dan pemulihan hak-hak kerakyatan.
Jika kita melihat keadaan sekarang, upaya meningkatkan posisi collective bargaining rakyat vis a vis penguasa memang membutuhkan proses apokaliptik yang panjang dan berliku.
Meskipun demikian, saat sekarang, kita harus memutuskan bagaimana sebaiknya menyikapi realitas ketimpangan ini. Pilihan yang lebih baik untuk ini adalah apa yang ditegaskan oleh penyair Wiji Thukul: hanya ada satu kata, lawan!
Lawan! merupakan interpretasi terpenting dari filsafat acte-nya Marx. Sudah saatnya kita mengurangi habitus retorika, berwacana dan memperdebatkan sesuatu. Karena apa yang dipertaruhkan (masyarakat miskin yang bertambah banyak, sekarat, dan mulai kehilangan kesabaran) sungguh besar.
Juga harus tetap kita percayai bahwa ruh lawan! disini bisa berarti: kita sedang bergerak aktif menuju kondisi dimana kita akan memiliki social awareness yang tinggi, mampu mengorganisasikan diri, merencanakan, dan membangun dalam komunitas lokal serta memiliki kapasitas dalam memecahkan masalah berbasis self-help.
No comments:
Post a Comment