Semua orang berlomba untuk berpendapat, mengirimkan pesan-pesan publik agar masyarakat ikut berusaha menghayati perbandingan antara: penghormatan tamu negara dengan solidaritas muslim, dana penyambutan yang berlebihan dengan alokasi untuk kepentingan rakyat yang lebih mendesak, hingga potensi keuntungan dialog soft power dengan skeptisisme berdasarkan ketiadaan manfaat dari kunjungan 10 jam tersebut.
Dibalik pro-kontra ini, ada satu hal yang menarik untuk diperdebatkan lebih lanjut. Yakni, penyambutan yang berlebihan ini seringkali dikaitkan dengan mentalitas kita sebagai bangsa inferior.
Seremoni yang kabarnya menguras dana sekitar 6 miliar itu, seakan makin menegaskan posisi sub ordinat kita. ‘Hamba’ yang berjuang terlalu keras untuk menyambut, dan melayani ‘tuan’-nya.
Realitas ini turut melengkapi sikap ketidak-beranian pemerintah, yang selama ini kita pertanyakan. Mengapa kita enggan meminta re-negosiasi proyek-proyek milik Amerika yang berpotensi merugikan kita. Atau, mengapa kita terbiasa mengikuti agenda liberalisasi dan privatisasi, yang menghasilkan kesenjangan akut dalam perekonomian antar negara.
Benarkah bangsa kita menderita inferiority complex? Sejenis sindrom, dalam psikologi Adlerian, dimana kita selalu merasa memiliki kelemahan, putus asa dan tidak percaya diri. Termasuk belum benar-benar dapat melepaskan diri dari ‘mental terjajah’, serta sudah terbiasa dengan relasi tuan-hamba.
Apakah posisi kita yang tertinggal ini disebabkan oleh perasaan inferior itu, atau lebih karena tata dunia global yang terlanjur mendesain hubungan antara negara maju-negara dunia ketiga, dengan relasi hegemoni-sub ordinasi?
Untuk menyingkap pertanyaan ini, kita sepertinya belum memiliki penjelasan akademis yang dapat diandalkan. Bukan karena adaptasi inferiority complex dalam budaya suatu bangsa masih kontroversial, dan masih dianggap pseudo-science. Tapi juga, karena dampak kolonial terhadap kehidupan (masa depan) bangsa terjajah memerlukan pemetaan psikologis dan historis yang kompleks. Seperti yang dirintis kelompok Subaltern Studies, yang mengkaji atribut umum sub ordinasi masyarakat Asia Selatan dan keterkaitannya dengan narasi kolonialisme (Postcolonial Theory - A Critical Introduction, 1998:1).
Bermental ‘Demang’
Daripada kita mengambil kesimpulan yang simplisitis, lebih bijak bagi kita untuk menunggu penelitian-penelitian apokaliptik mengenai inferiority complex yang mungkin diderita bangsa kita. Dan karena kita sudah terbiasa hidup dalam dunia yang deterministik, maka kita pun memerlukan penjelasan lain untuk membenarkan kondisi ketertinggalan bangsa.
Salah satu hipotesis yang memadai, yang membuat bangsa kita terperosok dalam ketertinggalan, adalah keberadaan penguasa yang bermental ‘demang’. Kelompok penguasa (dan juga pemimpin) bermental ‘demang’ ini bisa muncul, dan berkembang dari mana saja.
Mereka bisa saja para pengambil kebijakan dan pejabat publik (dari pusat hingga daerah), yang menggunakan otoritasnya demi keuntungan pribadi. Sebagian besar politisi busuk, yang disebut peneliti CSIS J. Kristiadi, berasal dari partai ‘kartel’. Atau, oknum ilmuwan dan teknokrat yang sekedar menjadi spin doctor (sempalan superfisial) penguasa dari kebijakan-kebijakan yang menyesatkan.
Termasuk orang-orang, menurut mantan economic hit man Amerika John Perkins, yang menjadi bagian dari sekelompok kecil elite yang korup, dengan kekayaan berlimpah disekitar lautan kemiskinan masyarakatnya.
Eksistensi para ‘demang’ inilah yang membuat potensi (sosial dan ekonomi) Indonesia tidak berarti apa-apa. Untuk sementara, merekalah yang pantas untuk kita jadikan sumber kesalahan dalam carut-marutnya pengelolaan republik ini.
Dan, seperti yang kerap diutarakan banyak pakar yang optimistik: dengan kondisi yang mencemaskan saat ini, Indonesia tetap memiliki beragam resources yang memadai untuk bangkit kembali.
Meski, harus kita hayati secara pervasif, bahwa selagi masih ada pemimpin yang bermental ‘demang’, maka gagasan Indonesia Bangkit, dalam jangka waktu yang panjang, akan sekedar menjadi wishful thinking, sekedar impian suntuk kita belaka.