There is no alternative. Inilah pernyataan paling terkenal dari para penganjur demokrasi liberal & ekonomi liberal. Kegagalan masyarakat komunis, masyarakat demokrasi sosial, dan bahkan masyarakat di negara yang menerapkan prinsip kesejahteraan, telah mendorong liberalis pada satu keyakinan: (neo)liberalisme adalah satu-satunya pilihan.
Francis Fukuyama, dalam magnum opus-nya ‘The End of History & the Last Man’ (1992), menilai bahwa neoliberalisme adalah akhir dari sejarah, suatu puncak evolusi dari sistem politik dan ekonomi dunia. Neoliberalisme menjadi tatanan global. Suatu arus utama pemikiran ekonomi dan politik pada zaman kita.
Dengan pandangan fundamentalisme pasar, dipadu prinsip laissez-faire yang berbasis pada filsafat individualisme dan teori Darwinisme Sosial, neoliberalisme telah membiarkan sekelompok kecil pihak swasta mengontrol sebanyak mungkin kehidupan sosial dalam rangka memaksimalkan keuntungan pribadi mereka.
Meskipun mendapat pelbagai tantangan humanis yang tajam, liberalisasi ekonomi dan politik tetap menjadi pendekatan utama yang digunakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia.
Kritik Atas Liberalisasi
Kritik terhadap kapitalisme dan paham liberal adalah fakta lazim, yang sudah dimulai sejak zaman Karl Marx pada abad 19, ketika ilmu ekonomi modern baru saja lahir.
Sekelompok ilmuwan sosial, yang dikenal dengan sebutan Frankfurt Schulle, mengkritik liberalisasi yang tidak mengabdi pada kepentingan praksis-moral (how to run good life), tapi lebih pada pemuasan kebutuhan bagi segelintir masyarakat kaya pemilik modal.
Alih-alih menciptakan masyarakat sipil, liberalisasi sekedar mencetak konsumen. Dan, alih-alih membangun komunitas inklusif, ideologi ini malah mempopulerkan pusat-pusat perbelanjaan.
Dampak sosial-ekonomi dari liberalisasi, dengan doktrin utama survival of the fittest, mengakibatkan dampak yang identik di seluruh dunia. Semakin asimetrinya pembagian kaya-miskin, ketertinggalan yang mencolok diantara negara-negara dan masyarakat termiskin, serta kerusakan akut lingkungan akibat pendekatan ekonomi eksploitatif.
Kritik lain, yang sekarang ini justru menjadi arus utama perdebatan, adalah semakin mudahnya kelompok kaya pemilik modal dalam mendapatkan uang dengan cara-cara yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Dosa sosial berbentuk ‘kekayaan tanpa kerja keras’ inilah, seperti keyakinan Mohandas Gandhi, yang menjadi pemicu dari ketidak-stabilan ekonomi dunia.
Menurut pandangan Joseph E Stiglitz, ekonom AS peraih Nobel Ekonomi 2001, dengan prinsip pasar bebas tanpa regulasi, para pelaku pasar berhasrat untuk meraup keuntungan dengan berinvestasi pada produk-produk spekulatif. Masyarakat kaya dengan uang berlebih, serta para spekulan pasar, telah mengambil keuntungan dari ketidak-stabilan pasar yang sebenarnya kerap direkayasa oleh mereka sendiri.
Keserakahan dan penipuan inilah yang menjadi penyebab krisis kredit perumahan beresiko tinggi (sub-prime mortgage), yang kemudian memicu krisis finansial secara global. Bangkrutnya lembaga investasi raksasa AS, Lehman Brothers dan Washington Mutual pada pertengahan September 2008 lalu misalnya, serta berimbas pada lembaga keuangan di seluruh dunia, telah memaksa pemerintah AS mengeluarkan Paket Dana Penyelamatan (bailed out) senilai 700 miliar USD, atau setara Rp 6500 triliun.
Meski krisis finansial global masih menggoyang kerapuhan perekonomian dunia, terutama perekonomian AS, mayoritas ekonom di seluruh dunia masih menganggap penurunan ekonomi ini hanya terjadi secara melandai, yang disebut dengan resesi. Bukan suatu krisis yang mengarah pada depresi besar, seperti yang terjadi pada tahun 1929 lalu.
Bagaimanapun, saat sekarang begitu banyak orang yang menduga-duga, apakah krisis finansial ini adalah akhir dari liberalisasi yang berpijak pada fundamentalisme pasar? Seperti penafsiran Michel Foucault, setiap masyarakat dalam tiap periode memiliki rezim kebenarannya sendiri-sendiri. Apakah krisis ini adalah akhir dari rezim kebenaran neoliberalisme yang hegemonik itu, masih menjadi misteri apokaliptik bagi kita semua.