Monday, April 20, 2009

PEMILU & PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT

Beberapa hari kemarin (9/4), jutaan masyarakat Indonesia menggunakan hak partisipatifnya dalam ranah politik. Dengan mendatangi tempat pemungutan suara, menggunakan hak pilihnya dan memutuskan pilihan, masyarakat telah ikut berpartisipasi dalam menentukan bentuk bangunan politik dan pemerintahan di negeri ini dalam lima tahun ke depan.

Pesta demokrasi bernama pemilu memang merupakan ruang publik artifisial yang memungkinkan individu berperan aktif bagi komunitasnya. Namun, menurut Karl Marx, seorang filosof terkemuka Jerman, pemilu bukan saja merupakan proses politik yang indah, namun juga ironis.

Dalam Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1844), Marx mengemukakan bahwa pemilu adalah satu-satunya kesempatan bagi masyarakat biasa untuk menjalankan perannya dalam kehidupan politik.

Hal ini dikarenakan setelah pemilu individu biasanya akan kembali menjadi masyarakat sipil biasa. Tanpa peran dan kontribusi pemikiran yang signifikan bagi pengambilan kebijakan publik. Belakangan, ironi Marxian ini dikenal dengan istilah demokrasi formalistik.

Pendekatan demokrasi formalistik dapat membuat masyarakat teralienasi dari proses pengambilan kebijakan publik. Padahal, kebijakan publik justru melulu berbicara tentang masyarakat, dan bagaimana mengambil tindakan-tindakan publik demi mensejahterakan masyarakat.

Doktrin mensejahterakan masyarakat secara adil sejatinya merupakan kerangka berpikir utama dalam mengambil setiap kebijakan publik. Dan karena kebijakan publik aktual adalah alat dalam pencapaian cita-cita Indonesia yang diinginkan oleh masyarakat banyak, maka kebijakan publik haruslah demokratis, mampu mengakomodasi segala kepentingan dan preferensi dalam masyarakat agar basis legitimasinya kuat.

Dengan terasingnya masyarakat dari proses pengambilan kebijakan publik, mengakibatkan kebijakan publik bukan lagi merupakan kesepakatan bersama, yang mampu membuat semua elemen dalam masyarakat merasa bertanggungjawab untuk melaksanakan dan menyukseskan kebijakan publik tersebut.

Melalui pelaksanaan pemilu, kita bukan sekedar menentukan siapa dan bagaimana proses pengambilan kebijakan publik dalam skala lokal hingga nasional yang nanti akan muncul. Tapi juga menjadi ruang yang representatif bagi kita untuk mengekspresikan peran kita sebagai warga masyarakat yang baik, sekaligus menjadi momen apokaliptikal bagi ironi demokrasi formalistik Karl Marx diatas.

Apa yang akan terjadi pada rangkaian pemilu di tahun 2009 ini, dan bagaimana proses politisasi masyarakat setelahnya, akan memperlihatkan kemungkinan apakah ironi demokrasi formalistik memang benar-benar terjadi di negeri ini.

Pemilihan wakil rakyat di hari kemarin ini, dan pemilihan presiden langsung nanti, tentu saja memberikan kesempatan partisipasi politik yang luas dan otonom kepada masyarakat. Tanpa paksaan dan intimidasi, masyarakat memiliki hak untuk memilih kandidat pemimpinnya menurut preferensi masing-masing. Memilih adalah salah satu pembelajaran demokrasi yang paling esensial.

Namun pembelajaran ini akan menjadi formalistik, jika esensi demokrasi yang lain seperti kontrol terhadap kekuasaan tidak berjalan sebagaimana-mestinya. Juga ketika demokrasi tidak menjamin dibukanya ruang yang lebih luas bagi keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakan publik.

Minimnya jaminan keterlibatan masyarakat yang lebih luas inilah yang kerap terjadi di negeri ini. Realitas dari hal ini tampak dengan jelas. Dalam banyak kebijakan publik, terdapat kekosongan argumentative turn. Proses pengambilan kebijakan publik lazimnya bersifat top-down, dan sekaligus mereprentasikan krisis partisipasi masyarakat, terutama dalam level perencanaan.

Dalam dinamika kebijakan publik, protes masyarakat kerap ditafsirkan sebagai rutinitas semata, responnya pun minimalis. Atau, kalaupun sempat terjadi interaksi antara masyarakat dengan pengambil kebijakan, sebagian besar bersifat kosmetik dan superfisial.

Kenyataan diatas inilah yang dapat membuat ironi demokrasi formalistik menjadi sesuatu yang relevan untuk terjadi dalam proses demokratisasi di negeri ini.


Demokrasi Deliberatif
Untuk menjamin tidak berkuasanya ‘watak demokrasi formalistik’ dalam sistem pemerintahan yang berjalan nantinya, maka penguasa yang terpilih nanti perlu menjamin dibukanya ruang-ruang partisipasi publik.

Tentu saja bukan sekedar dibuka dengan interaksi yang formalistik semata, tetapi lebih bernuansa diskursus. Juga bukan ruang publik yang telah terkontaminasi feodalisasi. Dimana ruang publik sekedar menjadi ‘media humas’ bagi opini publik yang diciptakan oleh elite politik, media ataupun ekonomi.

Hal ini menjadi penting, karena selama ini ruang publik justru lebih sering hanya menjadi media sosialisasi bagi produk-produk kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah. Bukan sebagai forum yang menjamin adanya proses argumentative turn, berbentuk dialog yang mempertemukan keinginan pemerintah dengan aspirasi masyarakat banyak.

Dengan demikian, dalam konteks pemilu legislatif dan presiden ini, para kandidat bukan hanya perlu membuka ruang publik melalui kampanye saja, tapi juga perlu menyediakannya pasca mereka terpilih nanti. Di ruang publik inilah nanti, masyarakat berkomunikasi, mengeluarkan pendapat, dan memberi solusi atas permasalahan publik mereka. Perdebatan yang terjadi di ruang publik akan menghasilkan suatu konsensus yang digunakan sebagai alat legitimasi bagi kebijakan-kebijakan publik.

Dalam filsafat politik modern, penggunaan ruang publik sebagai model penentu kebijakan publik ini dikenal dengan demokrasi deliberatif. Model demokrasi deliberatif diperkenalkan oleh Jurgen Habermas, seorang filosof modern Jerman, dalam buku pentingnya Between Facts & Norms (1992).

Secara radikal, Jurgen Habermas menyatakan bahwa kebijakan publik dan produk-produk hukum yang berkaitan dengan masyarakat adalah hasil diskursus-diskursus yang terjadi di dalam masyarakat. Melalui model demokrasi ini, Jurgen Habermas mengonfirmasi bahwa perdebatan dan konsesus yang terjadi secara demokratis diantara masyarakat, dapat menjadi suatu produk kebijakan publik dengan status hukum yang mengikat.

Dengan postulat tersebut, demokrasi deliberatif merupakan bentuk demokrasi dimana legitimitas hukum tercapai karena hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil. Masyarakat sipil dapat mengarahkan keputusan-keputusan politik melalui apa yang disebut Jurgen Habermas sebagai ‘kekuasaan komunikatif’.

Di negara asal Jurgen Habermas, Jerman, praktek yang mengarah pada pendekatan demokrasi deliberatif dikenal dengan sebutan ‘Prakarsa Masyarakat’. Ini adalah ruang publik dimana kelompok-kelompok masyarakat berinisiatif mengadakan pertemuan, berdialog sekaligus merencanakan usul-usul pembangungan dan kebijakan publik kepada pemerintah setempat. Hasil dari Prakarsa ini dapat diandalkan, bukan karena berdasarkan aspirasi masyarakat itu sendiri, tetapi karena anggota masyarakat yang terlibat juga adalah para praktisi dan profesional.

Aktivitas Prakarsa ini mendorong anggota masyarakat untuk lebih peduli, lebih aktif berperan, dan memikirkan pengembangan kehidupan mereka bersama menjadi jauh lebih baik. Proses seperti inilah yang perlu digagas oleh pemerintah, dan kemudian ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat itu sendiri.

Bagaimanapun, penciptaan ruang publik yang memuat perdebatan dan konsensus masyarakat terhadap masalah-masalah mereka sendiri adalah proses demokratisasi yang panjang. Ia hanya dapat dikembangkan dalam budaya demokratis yang bebas dan beradab, juga dalam budaya yang bersedia untuk belajar secara berkelanjutan.

Dan seperti keyakinan para pundit politik di negeri ini, pembelajaran demokratisasi yang panjang tersebut dapat diawali dari partisipasi aktif kita dalam pemilu legislatif secara langsung kemarin, dan pemilu presiden nanti.

Pada akhirnya, partisipasi aktif kita dalam rangkaian pemilu langsung saat sekarang bukan sekedar ruang belajar untuk menjalankan peran kita sebagai warga masyarakat dalam kehidupan politik, tapi juga menjadi salah satu realitas apokaliptikal bagi ironi demokrasi formalistik Marxian diatas.

*Juga di publikasikan di Harian Umum PIKIRAN RAKYAT, 11 April 2009

Thursday, April 09, 2009

MENGAPA KITA MENGAMBIL RESIKO?

Seiring dengan perkembangan tekhnologi informasi, beragam peristiwa dan momen memungkinkan untuk diabadikan, kemudian dipublikasikan secara umum dalam jaringan internet.

Salah satu fenomena, yang terkait dengan tingkah laku remaja, adalah publisitas video yang mengabadikan perilaku seksual dan kekerasan remaja, yang belakangan ini muncul dan diunduh oleh banyak orang dari internet. Dengan kemampuan media informasi ini, kita disuguhkan puncak dari suatu ‘gunung es’, yang terkait dengan rangkaian permasalahan di sekitar remaja.

Publisitas itu tetap menunjukkan bahwa ada ‘kehidupan lain’ di luar sana, yang dialami dan dijalani remaja-remaja kita, yang terkadang tidak diketahui oleh orangtua dan masyarakat.

Kekerasan diantara remaja, terlibat dalam geng motor, mengkonsumsi NAPZA, tawuran, kebut-kebutan di jalan raya, hingga having sex sebelum menikah, adalah tingkah laku mengambil resiko.

Kenapa disebut beresiko? Ini karena kita terkadang tidak siap menghadapi konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari tingkah-laku tersebut. Kita biasanya tidak terlalu khawatir, karena merasa banyak remaja lain yang juga melakukannya. Kita juga merasa yakin bahwa tingkah laku tersebut hanya diketahui oleh kita saja.

Mungkin kita biasa-biasa aja melakukan semua hal, sepanjang kita memang menyukainya. Namun, tidak bagi orang tua. Bahkan, bagi kita nanti, ketika kita menjadi orang tua di masa depan. Mengkonsumsi drugs, tawuran, terlibat dalam kekerasan kelompok ataupun having sex sebelum menikah, bagi orang tua, dan dari sudut pandang manapun, adalah suatu tingkah laku yang mesti dihindari.



Minim Informasi
Lalu, kenapa kita berani melakukan tingkah laku yang memiliki resiko diatas?

Untuk mengetahuinya, banyak peneliti sosial yang menyarankan kita untuk lebih memahami bagaimana proses berpikir (kognitif) dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh remaja. Karena, tingkah laku kita merupakan hasil dari keputusan yang dibuat oleh kita itu sendiri.

Salah satu pendekatan ilmiah yang biasanya digunakan untuk memahami hal ini adalah Behavioral Decision Theory. Dari teori ini, keputusan bertingkah laku dengan resiko tertentu dapat dianalisis dari proses berpikir kita.

Banyaknya informasi yang kita miliki akan menentukan tingkah laku apa yang kita tampilkan. Informasi yang minim dan salah akan membuat kita merasa benar, ketika kita melakukan tingkah laku yang beresiko.

Menurut pendekatan ini juga, kita memutuskan untuk mencari pengalaman-pengalaman baru yang beresiko, biasanya, disebabkan oleh ketidakmampuan kita dalam mengevaluasi resiko dari tingkah laku secara akurat. Kita terkadang mengabaikan akibat-akibat jangka panjang yang negatif.

Kemungkinan lain mengapa kita memutuskan tingkah laku beresiko adalah perasaan 'invulnerable', atau perasaan 'tak-terkalahkan' dalam diri kita. Gagasan ini sepertinya terlalu berlebihan. Namun, jika kita mengamati dengan lebih seksama, maka perasaan 'tak-terkalahkan' ini cukup masuk akal.

Kita seringkali menganggap diri kita dapat mengatasi resiko yang mungkin muncul dari tingkah laku tertentu. Kita merasa masih muda, kuat, sehat dan bugar, independen, tidak lagi seperti anak-anak, bertanggungjawab serta menganggap dapat memutuskan segalanya secara rasional.

Akibatnya, ketika kita memutuskan mencoba pengalaman beresiko pertamakali, dan tidak terjadi sesuatu yang buruk, maka kita cenderung meremehkan resiko jangka panjang dan meneruskan aktivitas tersebut.

Ketika kita mencoba pengalaman having sex pertama kali bersama pasangan misalnya, dan tidak terjadi sesuatu yang buruk, maka kita biasanya mengabaikan resiko jangka panjang dan meneruskan aktivitas seksual kita.

Selain itu, keputusan untuk aktif terlibat dalam kegiatan beresiko juga dapat terkait dengan faktor lingkungan eksternal. Yang biasanya berbentuk minimnya perhatian orangtua dan keluarga, tekanan dari teman, keinginan mengikuti kelompok teman sebaya yang juga melakukan hal yang sama, serta lingkungan fisik yang potensial.

Bagaimanapun, apa-apa yang berpotensi mendorong kita untuk melakukan tingkah laku beresiko diatas, sebagian besar diantaranya bergantung pada kita sendiri. Seberapa banyak informasi yang kita miliki untuk digunakan dalam mengambil keputusan, bagaimana kita berpikir dan meng-komunikasikan perihal resiko yang tidak diinginkan, serta bagaimana kita mengelola hubungan pertemanan yang berpotensi menjebak kita dalam aktivitas beresiko.

Apakah kita memilih untuk tidak, atau untuk melakukan tingkah laku beresiko, sepenuhnya bertumpu pada kesadaran kita, dan bagaimana kita konsisten pada komitmen untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Inilah yang terpenting.