Thursday, January 29, 2009

THE TOMORROW SYNDROME

Ketika Isaac Newton masih remaja, ilmuwan kebanggaan Inggris itu menunda menyatakan isi hatinya pada Victory (anak gadis dari keluarga dimana Newton tinggal selama menempuh pendidikan di London). Selain karena tidak berani, Newton beralasan ingin berkonsentrasi untuk belajar. Padahal, Victory jelas juga menyukainya. Sampai kemudian Victory menikah dengan orang lain, Newton tidak pernah mengungkapkan hasrat cintanya. Dan bahkan tetap mem-bujang hingga akhir hayatnya.

Ilustrasi diatas bukan menggambarkan fenomena masifnya orang-orang jenius yang kesepian, tapi lebih mengenai tingkah laku menunda yang terkadang menjadi kebiasaan hidup kita.

Apa yang dilakukan oleh sir Isaac Newton tersebut, yakni menunda sesuatu, pasti pernah juga kita alami. Menunda belajar, sampai kita harus ‘kebut semalam’ sebelum ujian. Menunda mengungkapkan isi hati pada orang yang kita suka. Menunda meminta maaf, atau menolong orang lain.

Ataupun menunda menghentikan kebiasaan buruk yang katanya terlihat keren: seperti merokok, meng-konsumsi napza, hingga begadang. Serta masih banyak contoh kebiasaan menunda lainnya dalam keseharian kita.

Menunda adalah manusiawi. Don Marquis, seorang penyair Amerika, menyebut penundaan sebagai ‘seni manusia dalam menyanjung hari kemarin’.

Namun, dibalik sisi manusiawi dari tingkah laku menunda, ada juga yang disebut sebagai penunda kronis. Dalam istilah psikologi, penunda kronis dikenal mengidap chronic procrastination atau the tomorrow syndrome.

Menunda kronis bukan sikap menunda seperti biasa. Tetapi karakter kepribadian atau kebiasaan yang melekat pada salah satu ruang mental kita. Karakter ini dapat mengakibatkan perasaan tidak puas, berpeluang merusak hubungan sosial, menghancurkan cita-cita ataupun membuat kita kerap merasa bersalah.

Intinya, karakter mental ini menjebak kita di tempat yang sama, tanpa kemajuan dan pertumbuhan.

Pemimpi Yang Malas
Jika kita menyempatkan waktu untuk diri sendiri, dan kemudian berusaha mengevaluasi diri, maka kira-kira akan seperti apakah gejala-gejala penunda kronis tersebut?

Frank J. Bruno, melalui buku tematiknya, Psychological Symptoms, membantu kita mengidentifikasi hal-hal spesifik yang mencirikan seorang penunda kronis.

Menurut Dr Bruno, penunda kronis suka bekerja tergesa-gesa di detik-detik terakhir. Mereka seperti senantiasa dikejar-kejar oleh deadline, dan seakan tidak memiliki cukup waktu dalam melakukan setiap hal. Mereka juga kerap melakukan tingkah laku yang menghamburkan waktu, menghayal dan berharap tanpa melakukan sesuatu.

Penunda kronis tinggal dalam mimpi yang malas, dengan kepala penuh rencana yang tidak realistis, tetapi tanpa melakukan apa-apa. Seringkali mereka sekedar berbicara dan memikirkan sesuatu, tanpa segera bertindak.

Gejala lainnya, penunda kronis merasa sangat terbebani dengan tanggung-jawab dan sulit menikmati aktivitas-aktivitas rekreasional. Kebiasaan menunda mengakibatkan semua pekerjaan harus dilakukan sekarang juga, di hari yang pendek dengan tugas yang menumpuk.

Dan gejala, sekaligus akibat terburuk dari habit ini adalah ketidak-mampuan dalam mencapai prestasi penting dalam hidup. Dengan tidak melakukan sesuatu secara benar dalam waktu yang cukup, atau tidak melakukannya sama sekali, maka banyak kesempatan untuk berkembang yang akan terbuang.

Seperti ilustrasi Sir Isaac Newton diatas, yang tidak pernah mencoba langkah pertama, merasa terlambat ketika gadis pujaannya menikah, dan akhirnya tidak pernah menikah sama sekali. Sesuatu yang membuatnya menjadi ilmuwan brilian tapi kesepian, hingga tutup usia pada 20 Maret 1727.

Mereduksi Kebiasaan
Jika gejala yang disebutkan diatas sepertinya menjadi bagian dalam diri kita, maka memulai untuk mengenali dan menghentikan kebiasaan menunda tersebut adalah tindakan yang penting. Sebelum nantinya kita menyesal dan melewatkan banyak hal-hal penting dalam hidup.

Yang paling mendesak dalam mengendalikan kebiasaan menunda, seperti disarankan oleh James R. Sherman dalam buku Stop Procrastinating-nya, adalah bertindak tanpa banyak bicara. Terlalu banyak bicara, merencanakan atau mempertimbangkan secara berlebihan dapat menghabiskan energi psikologis kita.

Ketika mengerjakan sesuatu, kita akan lebih efektif dengan menggunakan pendekatan tugas (‘task oriented’), bukan waktu (‘time oriented’). Dimana rangkaian dan keberhasilan pekerjaan kita diukur serta dikendalikan berdasarkan tugas yang harus kita kerjakan, bukan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Selain itu, penerapan Premack’s Principle juga dapat dicoba oleh para penunda kronis. Prinsip ini dapat diterjemahkan dalam bentuk saran: tempatkan tugas yang tidak menyenangkan (kerja) sebelum tugas yang menyenangkan (bermain). Dengan melakukan tugas yang sulit, akan menarik tingkah laku kita ke tingkatan yang lebih tinggi.

Dalam banyak hal di hidup ini, kita sebaiknya menetapkan tujuan yang realistis, dan dapat dikelola dengan menyenangkan. Ini karena tujuan yang begitu tinggi dapat membuat kita kerap menunda, atau menunggu hingga kita ‘merasa’ memiliki kemampuan memadai untuk melakukannya. Lagipula, kita juga jarang sekali mencapai tujuan yang tinggi hanya dalam satu kali lompatan saja.

Self Discovery
Bagian tersulit bagi penunda kronis adalah keluar dari wilayah ‘aman’-nya. Karena, kebiasaan menunda seringkali terjadi pada tugas-tugas atau sesuatu yang baru, yang memungkinkan munculnya kecemasan dan ketakutan akan kegagalan. Semisal mengungkapkan cinta pada gadis keren di sekolah, masuk ke dalam lingkungan baru, mencoba pekerjaan atau kebiasaan-kebiasaan baru, hingga mengungkapkan pendapat di depan banyak orang.

Untuk mengatasi hal yang satu ini, Dr Bruno menegaskan bahwa kita terjebak dalam paradigma ‘yang meminta kita untuk mengatasi kecemasan dulu, baru kemudian bertindak’.

Padahal, jika kita mulai bertindak sebelum merasakan cemas, kita akan menemukan bahwa tindakan itu akan mengurangi kecemasan dan membangun kepercayaan diri kita. Sehingga, sesekali bertindaklah terlebih dahulu, baru berpikir dan merasakannya.

Dengan melakukan ini, kita mungkin akan terkejut, bahwa kita dapat menemukan kualitas diri (atau talenta tersembunyi) kita secara sederhana, melalui suatu tindakan yang kita lakukan. Kita belajar dengan mempraktekkannya. Dan bahkan, hasil dari pola tingkah laku ini dapat membantu kita dalam mengenali diri, yang biasanya disebut sebagai self-discovery.

Bagaimanapun, sama seperti kebanyakan ‘terapi tingkah laku instan’ yang marak belakangan ini, merubah kebiasaan ‘menunda kronis’ menjadi sangat bergantung pada diri kita.

Keberhasilan merubah kebiasaan buruk sebagian besar terletak pada kemampuan untuk memanfaatkan energi swa-bantu (self-help) kita. Bagaimana kita menolong diri sendiri, mengendalikan dan mengarahkan hidup kita menjadi jauh lebih baik.

Karena musuh terbesar yang mesti kita taklukan terlebih dahulu, adalah diri kita sendiri.***

Thursday, January 22, 2009

UNTUK IBU


Seorang anak lelaki kecil bertanya kepada ibunya,
‘mengapa ibu menangis?’

Sang ibu berkata,
‘karena aku seorang wanita’
‘aku tidak mengerti’, kata anak itu.

Ibunya hanya memeluknya dan berkata,
‘dan kamu tidak akan pernah mengerti’

Kemudian anak lelaki itu bertanya pada ayahnya,
‘mengapa ibu suka menangis tanpa alasan?’
‘semua wanita menangis tanpa alasan’, hanya itu yang dapat dikatakan ayah.

Anak lelaki itupun lalu tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa. Dan tetap ingin tahu mengapa wanita selalu menangis.

Akhirnya ia menghubungi Tuhan, dan ia bertanya,
‘Tuhan, mengapa wanita begitu mudah menangis?’

Tuhan berkata,

‘ketika Aku menciptakan seorang wanita, ia diharuskan untuk menjadi seorang yang istimewa. Aku membuat bahunya cukup kuat untuk menopang dunia, namun, harus cukup lembut untuk memberikan kenyamanan’

‘Aku memberikannya kekuatan dari dalam untuk mampu melahirkan anak, dan menerima penolakan yang seringkali datang dari anak-anaknya’

‘Aku memberinya kekerasan untuk membuatnya tetap tegar ketika orang-orang lain menyerah, dan mengasuh keluarganya dengan penderitaan dan kelelahan tanpa mengeluh’

‘Aku memberinya kepekaan untuk mencintai anak-anaknya dalam setiap keadaan, bahkan ketika anak-anaknya bersikap sangat menyakiti hatinya’

‘Aku memberinya kekuatan untuk mendukung suaminya dalam kegagalan, dan melengkapi tulang rusuk suaminya untuk melindungi hatinya’

‘Aku memberinya kebijaksanaan untuk mengetahui bahwa seorang suami yang baik tidak akan pernah menyakiti istrinya, tetapi kadang menguji kekuatannya dan ketetapan hatinya untuk berada di sisi suaminya tanpa ragu’

‘dan akhirnya, Aku memberinya air mata untuk diteteskan. Ini adalah khusus miliknya untuk digunakan kapanpun ia butuhkan’

‘kau tahu, kecantikan seorang wanita bukanlah dari pakaian yang dikenakannya, sosok yang ditampilkan, atau bagaimana ia menyisir rambutnya’

‘kecantikan seorang wanita harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya, tempat dimana cinta itu ada…’

Monday, January 12, 2009

UNTUK SEORANG GADIS DI LUAR SANA

TODAY IS A GIFT

MEMAHAMI CINTA

It is not more light that is needed in the world. It is more warmth.
We will not die of darkness, but of cold.
(Jenny Read, penyair Inggris; 1991)

Setiap dari kita pasti pernah mengalami cinta. Bahkan ketika kita merasa bahwa kita adalah jomblo sejati, kita tetap pernah melaluinya. Cinta memberikan segalanya. Kebahagiaan dan juga penderitaan. Terkadang cinta melukai hati, meski hikmahnya bisa tertanam dalam.

Selalu berusaha untuk menemukan cinta adalah sesuatu yang manusiawi. Kita selalu diajarkan bahwa pasti ada orang lain di luar sana, yang memang diciptakan untuk kita, untuk bersama-sama memahami dan menjalani kehidupan ini.

Cinta yang agung terus dibangun selama kehidupan. Ia bisa muncul dari mana saja. Namun, cinta, terutama diantara dua anak manusia, seringkali bermula dari rasa suka (liking relationship).

Rasa suka biasanya berupa sikap positif kita terhadap orang lain, ditopang dengan kecenderungan untuk berdekatan dan berinteraksi. Rasa suka dapat berlangsung secara kebetulan, impersonal (tidak terkait dengan orang tertentu), juga kadang terjadi ketika kita bertemu dengan orang asing, hingga berbentuk persahabatan.

Rasa suka yang kuat dan hasrat untuk berhubungan lebih ekslusif dan permanen diantara dua orang membentuk apa yang disebut sebagai hubungan berdasarkan cinta (loving relationship). Saat-saat dimana rasa suka berkembang menjadi cinta inilah yang dikenal dengan jatuh cinta.

Jatuh cinta merupakan keterikatan emosi yang kompleks, berbaur dengan gairah dan keterpesonaan fisik yang kuat. Jatuh cinta kerap disebut sebagai ‘magnificent obsession’ (obsesi yang luar biasa), yang terkadang memiliki kualitas adiktif, atau mencandu.

Tapi cinta bukan melulu perasaan suka yang dalam, ia adalah sesuatu yang termasuk paling kompleks dalam kehidupan semua manusia.

Mengapa cinta begitu kompleks dan unik? Ini karena cinta memang tema yang begitu sulit untuk didefinisikan. Cinta harus dirasakan.


Arkeologi Cinta
Banyak filosof dan ilmuwan sosial berusaha memecahkan cinta menjadi sebuah definisi, sebuah rangkaian komponen yang membuat cinta itu ada, dan bagaimana cinta itu diekspresikan.

Era Yunani kuno, era dimana berpikir adalah suatu keahlian, umumnya membedakan cinta menjadi tiga tipe, yakni: eros, atau cinta romantik; philia, atau persahabatan; dan agape, yang berarti cinta kepada sang Pencipta, yang sekarang biasanya merujuk pada kasih sayang antar-manusia.

Di zaman modern, melalui buku klasiknya, the Art of Loving (1956), Erich Fromm mengajukan lima jenis cinta yang berbeda. Yakni brotherly love (cinta atas seluruh manusia, atau disebut kemanusiaan), parental love (cinta orang tua untuk anak mereka), erotic love (mengharapkan keterikatan fisik dengan lawan jenis), self-love (mencintai diri sendiri), dan love of God (cinta religius).

Semakin kompleks kehidupan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang mengesankan, membuat munculnya begitu banyak pendekatan lain untuk memahami cinta. Satu contoh yang cukup baik adalah milik DA Prescott (The Child in the Educative Process, 1957), yang mendeskripsikan empat aspek dalam cinta.

Menurut Prescott, cinta adalah empati. Seseorang yang sedang mengalami cinta biasanya lebih ingin berbagi perasaan, dan menjalani pengalaman-pengalaman tertentu secara intim dengan orang dicintainya.

Cinta juga berarti peduli. Kita menjadi sangat peduli atas kesejahteraan, kebahagiaan dan perkembangan orang yang kita cintai. Kepedulian ini terkadang begitu dalam, dan dapat menjadi nilai-nilai utama dalam kepribadian kita. Ini dapat menjadi bagian struktur diri kita yang terkait dengan orang yang kita cintai.

Dalam cinta, kita akan menemukan kebahagiaan ketika kita mampu menyediakan apa-apa yang dibutuhkan orang yang kita cintai, yang dapat membuat orang itu menjadi lebih baik, lebih bahagia dan lebih berkembang. Kekuatan, waktu, pikiran dan energi, mungkin uang, serta hal-hal lain yang kita dedikasikan untuk kebaikan pasangan kita.

Dan aspek keempat, menurut Prescott lagi, cinta bukan sekedar menyediakan. Ia juga bermakna keterlibatan optimal kita dalam setiap aktifitas yang mendorong perkembangan dan kebahagiaan bersama. Tapi keterlibatan ini bukan berarti kita mendominasi, atau mengarahkan pencapaian hidup orang yang kita cintai. Kita mesti menerima keunikan dan individualitas, membebaskan ekspresi diri, serta apa-apa yang ingin dicapai oleh pasangan kita.

Ekspresi Cinta
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak psikolog sosial yang mulai mengembangkan pengukuran mengenai cinta dengan model yang sistematik, berdasarkan penilaian mereka atas sifat-sifat dasar cinta.

Salah satu usaha ilmiah untuk memahami cinta dan rasa suka adalah dengan mengembangkan skala pengukuran, yang disebut dengan A New Love Scale, yang terdiri atas lima skala untuk menilai lima komponen berbeda dari cinta (A Pam, R Plutchik & HR Conte, Love: A Psychometric Approach, 1975).

Pengukuran ‘skala cinta’ ini meliputi lima komponen utama, meliputi: rasa hormat, kecocokan, altruism (sifat mementingkan kepentingan orang lain), ketertarikan fisik, dan kasih sayang.

Hasil dari pengukuran ini menunjukkan bahwa hubungan cinta biasanya memiliki skor yang lebih tinggi, dibanding hubungan berdasarkan persahabatan atau sekedar berpacaran. Atas dasar skor-skor tertinggi tersebut, ditemukan bahwa aspek terpenting dalam cinta adalah ketertarikan fisik dan kasih sayang. Sedangkan aspek terpenting dalam hubungan berpacaran misalnya, adalah kecocokan dan ketertarikan fisik semata.

Bagaimanapun, memahami cinta melalui model-model ilmiah dan sistematis adalah sesuatu yang positif. Model-model ilmiah ini dapat membantu kita untuk lebih memahami, dan memberi peta yang memadai bagi kita untuk mengarahkan serta mengembangkan cinta menjadi sesuatu yang mendukung perkembangan kehidupan kita kearah lebih baik.

Lebih dari itu, Abraham Maslow, seorang psikolog humanistik paling terkenal di dunia, mengungkapkan bahwa kita memang harus memahami cinta; ‘kita harus mampu mengajarkannya, menciptanya, meramalkannya, atau bagian-bagian tertentu di dunia ini akan hilang dalam permusuhan dan kecurigaan’ (Motivation & Personality; 1954)

Namun demikian, cinta bukan sekedar untuk dipahami. Seperti kata penyair Inggris, William Shakespeare, cinta mesti diekspresikan melalui tindakan positif yang nyata. Ekspresi ini bukan melulu untuk kebaikan kita dan pasangan kita, tapi juga untuk kebaikan setiap manusia.***

Thursday, January 01, 2009

‘LEIDEN IS LIJDEN’




Orang tua yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yakni selama hidupnya melarat
(Catatan harian Prof Schermerhorn, ketua delegasi Belanda pada Perundingan Linggarjati, tanggal 14 Oktober 1946)

Haji Agus Salim adalah salah satu the founding fathers Indonesia, karena termasuk dalam Panitia 19 yang merumuskan UUD 1945. Bahkan, ia bersama Djajadiningrat dan Soepomo berjasa dalam menyempurnakan redaksional batang tubuh UUD tersebut.

Dalam rapat-rapat BPUPKI, Bung Karno kerap menyebut Haji Agus Salim sebagai ‘orang besar yang sudah tua’, the grand old man. Bukan karena usianya yang 61 tahun, tetapi juga karena pengalaman internasional dan penguasaan bahasa-bahasa asing.

Sebagai tokoh yang dibesarkan dalam adat Minang, Haji Agus Salim amat menonjol dalam tiga hal: pandai berkata-kata, dinamis, dan sekaligus kosmopolit.

Kentalnya budaya lisan Minang membuatnya cakap dalam berdebat, dengan gaya bahasa kritis dan tajam, tapi disampaikan secara halus serta cerdas. Kompetensi ini dipergunakannya dalam mengelola beberapa surat kabar; yang menyebarkan gagasan Indonesia merdeka, namun tanpa pernah ditangkap pemerintah Belanda.

Ulama Intelektual
Haji Agus Salim (8 Oktober 1884 - 4 November 1954) lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, dengan nama lahir Mashudul Haq. Ia anak dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim (seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau) dan Siti Zainab.

Ia menempuh pendidikan di sekolah dasar Belanda ELS (Europeese Lager School), dan HBS (Hogere Burger School) di Batavia. Meski lulus dengan nilai terbaik diantara HBS se-Hindia Belanda, Haji Agus Salim sebagai inlander gagal mendapatkan beasiswa sekolah kedokteran di Belanda.

Pada 1905, Haji Agus Salim kemudian bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi, sebagai penerjemah dan mengelola urusan haji. Di Jeddah inilah ia berkesempatan memperdalam ilmu agama pada pamannya, Syekh Ahmad Khatib.

Pengalaman belajar ini menempa dirinya menjadi ulama intelektual, sekaligus menguasai bahasa Arab dan Turki. Padahal, sebagai lulusan HBS ia telah menguasai empat bahasa lain: Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis.

Dengan perpaduan antara kecerdasan bahasa, daya analisa dan pemahaman agama Islam sebagai teologi pembebasan, Haji Agus Salim memutuskan untuk terjun dalam politik melalui SI (Syarikat Islam).

Di usia 41 tahun, Haji Agus Salim membentuk Jong Islamieten Bond (JIB). Melalui JIB, banyak lahir generasi Muslim didikan Barat sekuler tapi tetap beriman. Dari Haji Agus Salim, para pemuda mengenal Islam secara cerdas, kritis, komprehensif, serta modern. Dan secara tidak langsung memicu kelahiran generasi Muslim moralis-idealis.

Keteladanan
Haji Agus Salim adalah Bapak Bangsa yang kompleks; Ia penerjemah, wartawan, diplomat dan ulama, juga sastrawan.

Sebagai wartawan ia tercatat menjadi Ketua Dewan Pers pertama. Pernah menjabat menteri luar negeri beberapa kali. Dengan kapasitas diplomasinya, kemerdekaan Indonesia mendapat pengakuan negara-negara Arab pada 1947.

Penerbitan ceramahnya tentang Islam di Cornell University (1953), Amerika Serikat, menasbihkan Bapak Bangsa ini sebagai perintis pemikiran neo-modernisme Islam di Indonesia.

Teladan terpenting dari Haji Agus Salim adalah kesederhanaan dan idealisme, serta keteguhan mempertahankan dua hal tersebut.

Sebagian generasi JIB (seperti M Natsir, M Roem, Kasman, Prawoto hingga Jusuf Wibisono) adalah anak didik Haji Agus Salim yang belajar agama, dari tempat yang satu ke tempat lain; yang bergantung ke mana Haji Agus Salim dan keluarganya harus pindah dan mengontrak rumah, dari sebuah gang becek ke gang becek lain.

Kasman Singodimedjo dengan sangat baik melukiskan hidup Haji Agus Salim ini sebagai ‘leiden is lijden’, memimpin adalah menderita.***