Tuesday, April 29, 2008

KEMISKINAN DI SEKITAR KITA

Profesor Muhammad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian 2006 dari Bangladesh, pada bulan Agustus tahun 2007 lalu hadir di Bandung, dan memberikan kuliah umum 'Kredit Kecil Untuk Mengentaskan Kemiskinan' (Micro-credit for Poverty Reduction). Kegiatan di Gedung Merdeka tahun lalu itu juga menjadi bagian dari Dies Natalis Universitas Padjadjaran yang ke 50.

Dalam kuliah umum tersebut, prof Yunus menegaskan bahwa kemiskinan tidak tercipta karena masyarakat miskin itu sendiri, tetapi lebih diakibatkan oleh sistem yang tidak memberikan kesamaan kesempatan bagi semua kalangan untuk bangkit, bekerja dan berkreasi sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Sebagai dosen ekonomi yang sejak tahun 1974 berjuang untuk membangun pilar terpenting perdamaian, yakni pemberantasan kemiskinan, pendapat prof Yunus diatas memang dapat diandalkan.

Seperti diberitakan media massa di seluruh dunia, prof Yunus berusaha mereduksi kemiskinan dengan memberikan akses modal bagi kaum miskin, tanpa jaminan dan collateral (syarat) berbelit-belit. Akses modal ini dikelolanya dalam lembaga kredit, yang kemudian dirubah menjadi bank formal, bernama Bank Grameen.

Sejak berdiri tahun 1983, Bank Grameen, atau Bank Desa dalam bahasa Bengali, telah memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Bank itu kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS, setiap bulan, kepada sekitar 6 juta lebih kaum miskin yang menjadi nasabahnya.

Kemiskinan Di Indonesia

Dengan kemenangan Nobel Perdamaian bagi prof Yunus tersebut, mikrokredit untuk masyarakat miskin menjadi arus utama perhatian. Upayanya menjadi inspirasi, dan menjadi 'model anti tesis kemiskinan yang nyata' dari seorang intelektual kampus.

Mungkin, dengan alasan inilah prof Yunus diundang oleh Universitas Padjadjaran, dan menjadi bagian dari perayaan tahunan berdirinya universitas negeri pertama di Jawa Barat tersebut.

Sebagai institusi publik yang sifat utamanya adalah pengabdian pada masyarakat, dan terutama karena perannya sebagai jantung penggerak peradaban, setiap perguruan tinggi dituntut untuk lebih memainkan peran strategisnya dalam menerapkan visi pro bono humani generis (for the good of human kind) di masyarakat di sekitarnya.

Kebaikan visi pro bono itu, antara lain adalah memproduksi dan mengimplementasikan berbagai anti-tesis bagi salah satu masalah utama masyarakat di seluruh wilayah di Indonesia, yakni pengangguran dan kemiskinan. Karena, meski pertumbuhan ekonomi makro Indonesia cenderung mengalami kenaikan dalam tahun-tahun terakhir, angka kemiskinan dan pengangguran ironisnya tidak mengalami perubahan berarti.

Program-program baru semisal Program Bantuan Tunai Langsung dalam skala nasional, atau program-program berskala lokal semisal Program Peningkatan Kemakmuran (PBPK) yang dijalankan di Kota Bandung, hingga Program Keluarga Harapan (PKH) yang dibagikan kepada 89 ribu keluarga miskin di sekitar 12 kota/kabupaten di Jawa Barat misalnya, masih memerlukan pembuktian keberhasilan jangka-panjangnya dalam mereduksi kemiskinan.

Bagaimanapun, masalah kemiskinan bukan semata terkait dengan penderitaan manusia dan keadilan sosial-ekonomi masyarakat, tapi juga menyangkut perdamaian dan ketidakstabilan. Seperti rekomendasi 30 Rektor PTN/PTS dari seluruh Indonesia, yang dikumpulkan secara khusus oleh Dirjen Potensi Pertahanan – Departemen Pertahanan (20/2/07), bahwa kemiskinan adalah ancaman pertahanan terbesar negeri ini.

Perpaduan antara kemiskinan dan pengangguran, menurut Alvin Toffler dalam Future Shock (1995), adalah awal dari malapetaka sosial. Kegelisahan orang-orang yang tidak bekerja dan masyarakat miskin yang makin tertekan dapat memunculkan banyak ketidakpuasan, dan dapat berkembang menjadi konflik dan hasrat komunal untuk melakukan perubahan radikal.

Peran Perguruan Tinggi

Dengan demikian, pemberantasan kemiskinan sejatinya dilihat dalam perspektif ketergesaan dan kesungguhan. Dimana, pada titik inilah pemberantasan kemiskinan memerlukan daya dukung nyata dari institusi pendidikan (tinggi).

Dalam suatu wawancara di majalah Time (13/10/06), prof Yunus berujar, ‘Kami, profesor universitas semuanya pintar, tetapi kami sama sekali tidak tahu mengenai kemiskinan di sekitar kami. Ketika banyak orang yang sekarat di jalan-jalan karena kelaparan, saya justru sedang mengajarkan teori-teori ekonomi yang elegan’.

Komentar ini adalah semacam gugatan terhadap intelektual ekonomi yang berada dalam menara gading, yang kerap terlalu memuja competitive economics, dan cenderung meremehkan cooperative economics. Karena ekonomi kompetitif, dengan mengagungkan rasio pertumbuhan ekonomi dan mekanisme pasar bebas semata, juga ikut serta melestarikan sistem sosial-ekonomi yang tidak adil bagi masyarakat miskin.

Dari seorang profesor yang bersahaja, kita belajar bahwa usaha mikro (dan koperasi) bukan semata berperan dalam pemberantasan kemiskinan, tapi juga dapat menjadi countervailing power (kekuatan penyeimbang) dalam era globalisasi ini. Kekuatan ini menyebarkan noble principle: menolong diri sendiri untuk mandiri secara bersama-sama (mutual self-help).

Selain menyumbangkan produksi pemikiran dalam pemberantasan kemiskinan, intelektual kampus dapat memberi supervisi, mengarahkan dan membuka ruang-ruang secara kreatif bagi pemberdayaan masyarakat. Intelektual kampus, pada hakikatnya, mesti berada dalam lapisan terdepan untuk menggerakkan tata kehidupan masyarakat menuju keadaan yang lebih adil.

Dari kehadiran prof Yunus di Bandung tersebut, kita belajar bagaimana seorang intelektual kampus berbuat sesuatu yang nyata untuk mewujudkan hasrat pribadinya dalam menghapus kemiskinan di Bangladesh pada tahun 2030 nanti.

Hal ini meninggalkan semacam pertanyaan apokaliptik bagi kita, segenap civitas academica di setiap perguruan tinggi, kapankah kita memicu suatu gerakan, yang berhasrat untuk 'memasukkan kemiskinan dalam museum sejarah kita di masa depan'?***

Thursday, April 24, 2008

EKOLITERASI

BEBERAPA pakar multidisiplin dari berbagai negara berkumpul dalam Intergovernmental Panel on Climate Change of the United Nations. Mereka mencoba menganalisis kemungkinan penyebab rangkaian bencana dalam beberapa tahun terakhir). Sebuah hipotesis kemudian dimunculkan bahwa pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca, dapat memicu perubahan iklim global, menghadirkan gelombang panas, memicu kenaikan permukaan laut, termasuk kekeringan dan banjir yang datang silih berganti.

Perubahan iklim global, bukan semata berdampak pada keseimbangan alam, tetapi juga memiliki trickle down effect yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Entah itu akibat polutan atau penyebaran serangga-serangga pembawa penyakit yang berkembang biak seiring makin panasnya cuaca.

Ancaman luar biasa dari pemanasan global juga demi keberlangsungan bumi di masa depan, membuat upaya-upaya anti-tesis bagi pemanasan global menjadi arus utama perdebatan masyarakat dunia. Kita pun mengenal frasa think globally, act locally, yang menggambarkan kontribusi perbaikan alam di tingkat lokal terhadap keseimbangan global.

Filsafat global

Sebelum Al Gore, salah seorang pengkhotbah pemanasan global terkemuka, menerima hadiah Nobel Perdamaian 2007, tema pemanasan global telah dipotret oleh para pengkritik sosial bertahun-tahun yang lalu.

Buku penting Michael Allaby, Thinking Green: an Anthology of Essential Ecological Writing (1989), manifesto Penny Green & Derek Wall dalam A Green Manifesto for the 1990s (1990), hingga anjuran mencerahkan Marry Mellor melalui karya Breaking the Boundaries: Towards a Feminist Green Socialism (1992), dipercaya sebagai sumber-sumber diskursus awal, yang berupaya mendorong pemanasan global menjadi episentrum pemikiran kritis mengenai pembangunan modern.

Pusat-pusat studi lingkungan berbentuk organisasi intergovernmental, program lingkungan PBB (UNEP), hingga Protokol Kyoto hanyalah rangkaian kampanye untuk menegaskan dukungan politik untuk mereduksi pemanasan global. Gerakan kontra pemanasan global, bukan semata didominasi ilmuwan ataupun politisi, tetapi juga dieksploitasi oleh media dan dunia entertainment melalui gaya mereka yang menghibur. Acara Earth Day Special, film dokumenter an Inconvenient Truth dan The 11th Hour, Arctic Tale hingga The Simpson Movie; berhasil mengangkat tema ramah lingkungan, memperkenalkan istilah carbon-neutral dan hybrid car dalam kualitas estetik yang menyenangkan.

Desain ekologi

Selain menjadikan arus utama perdebatan masyarakat, komunitas-komunitas hijau juga mengampanyekan integrasi antara ideologi kontra pemanasan global dan konsepsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Pembangunan berkelanjutan ini diawali sekelompok masyarakat dengan pemahaman kognitif yang memadai tentang hakikat dan prinsip-prinsip ekologi. Proses meningkatkan pemahaman inilah yang dinamakan ecological literacy atau ecoliteracy.

Ecoliteracy, sebuah paradigma baru yang dipopulerkan oleh Fritjof Capra, bertujuan meningkatkan kesadaran ekologis masyarakat. Ecoliteracy berupaya memperkenalkan dan memperbarui pemahaman masyarakat akan pentingnya kesadaran ekologis global, guna menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopangnya.

Dengan tingkat "melek ekologis`" yang baik, desain-desain dalam berbagai bidang kehidupan juga akan berbasis ekologi. Dengan demikian, setiap bidang kehidupan (eco-economy, eco-farming, eco-management, hingga eco-city) dapat dirancang dengan corak ekologis yang kental. Hal ini membuat ecoliteracy menjadi instrumen yang sangat penting. Terutama, karena kebijakan-kebijakan yang mengintegrasikan pembangunan dan keseimbangan ekologis, hanya akan muncul dari stakeholder yang mengetahui dengan baik nilai-nilai ekologi tersebut. Ecolteracy menjadi amat penting di negeri di mana para pejabat (penguasa) dan pengusaha berkolusi melahirkan kebijakan yang tidak prolingkungan.

@Juga dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, 06 Desember 2007. Dengan judul Ekoliterasi & Kebijakan Pro lingkungan

Sumber digital - http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=3593

MAY DAY, HARINYA KELAS PEKERJA

"Di bidang pertanian, manufaktur dan sektor jasa, mesin akan segera menggantikan tenaga kerja manusia, dan menjanjikan sebuah ekonomi dengan produksi otomatis pada dekade pertengahan abad ke 21. Pergantian total pekerja dengan mesin akan memaksa setiap negara untuk memikirkan kembali peran manusia dalam proses sosial" (Jeremy Rifkin, The End of Work, 1995)


Sebagai penulis futuristik, Jeremy Rifkin merasa perlu untuk memperlihatkan pada kita semua, suatu siklus global yang berhubungan dengan ketenaga-kerjaan: revolusi pertanian, revolusi industri, dan kini bergerak ke arah revolusi sektor jasa dan pengetahuan.

Dalam setiap siklus revolusi tersebut, jenis-jenis pekerjaan ‘berulang-ulang’ dengan keterampilan rendah akan lenyap. Dan industri-industri gelombang baru akan menciptakan lapangan kerja baru, dengan kebutuhan manusia yang memiliki keterampilan lebih kompleks.

Sekarang, di berbagai negara maju, pengembangan nano-tekhnologi akan mengubah secara revolusioner industri manufaktur dalam 25 tahun ke depan. Konsekuensinya, dalam pembicaraan di ruang-ruang direktur perusahaan, topiknya berkisar pada rencana menghasilkan produk dua kali lipat dengan separuh tenaga kerja yang ada.

Dengan demikian, otomatisasi dan efisiensi, menyebabkan berbagai jenis pekerjaan akan hilang.

Blame the Victim

Di Indonesia sendiri, pekerjaan-pekerjaan yang hilang bukan disebabkan oleh otomatisasi, tetapi lebih karena faktor restrukturisasi dan juga bangkrutnya perusahaan akibat perpaduan antara ekonomi biaya tinggi dan dampak linear dari keruntuhan (meltdown) pondasi ekonomi kita pada krisis 1998. Termasuk karena perusahaan-perusahaan multinasional memilih merelokasi investasinya ke negara lain, dengan human resources advantages yang lebih kompetitif, seperti China ataupun Vietnam.

Lebih mencemaskan, ketika buruh (yang dipersepsikan terlalu banyak menuntut) juga dijadikan ‘sasaran tembak’ bagi macetnya investasi asing di Indonesia. Model blame the victim, dengan menyalahkan buruh yang sudah terjepit dalam kehidupan ‘murah’, tentu merupakan prasangka yang terlalu berlebihan.

Karena, menurut kesimpulan Survey Global Competitiveness Report, yang dilakukan World Economic Forum sepanjang 2001-2004 terhadap 4.700 pebisnis senior di 80 negara, investor asing tidak lagi nyaman berinvestasi di Indonesia disebabkan buruknya infrastruktur, perizinan usaha yang memakan waktu, transparansi dan kinerja birokrasi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, serta lemahnya penerapan hukum dan jaminan stabilitas sosial-politik.

Pengakuan para pebisnis senior itu menegaskan bahwa keunggulan komparatif berbentuk ketersediaan pasar dan sumber daya alam, termasuk buruh murah, belumlah memadai untuk menarik minat investor asing. Sebenarnya, yang paling mendesak untuk diperbaiki adalah mereduksi ekonomi biaya tinggi, dan memperbaiki kinerja pemerintah.

Visi Kelas Pekerja

Hari Buruh Internasional, yang dikenal luas dengan istilah Mayday, adalah peringatan yang setiap tahun berusaha memperlihatkan sisi paradoks dari kelas pekerja. Dimana, kehidupan murah para kelas pekerja di berbagai belahan dunia, telah mensubsidi akselarasi dan memberi keuntungan besar bagi perusahaan. Dalam bahasa Marx, kelas pekerja telah memberikan ‘nilai lebih’ berkali-kali lipat bagi para pemilik modal.

Meski tidak semasif tahun lalu, peringatan Hari Buruh di Indonesia pada tahun ini, tetap diwarnai dengan ritual unjuk rasa damai oleh para kelas pekerja di berbagai daerah. Yang umumnya terkonsentrasi pada daerah-daerah industri dan kota besar.

Terlepas dari ritual-ritual kelas pekerja tersebut, Mayday juga dapat dijadikan sebagai refleksi dari dua visi besar Karl Marx mengenai gerakan kelas pekerja: pendidikan dan tindakan.

Karl Marx, filosof Jerman yang banyak menganalisis kehidupan kelas pekerja (dengan langsung hidup di tengah pemukiman kumuh kelas pekerja di kota London) mengungkapkan dua komponen terpenting dari gerakan kelas pekerja. Yakni pendidikan, yang berupaya mencerahkan pengetahuan dan wawasan bagi kelas pekerja, dan tindakan sebagai interpretasi dari filsafat acte (aksi) dari kelas pekerja untuk merubah kondisi ketertindasan mereka.

Selain itu, terutama bagi pemerintah, makna Mayday adalah memikirkan kembali strategi-strategi untuk melindungi dan memperbaiki kesejahteraan kelas pekerja pada tahun-tahun mendatang. Termasuk sebagai pemicu untuk membangkitkan kebijaksanaan pemilik modal dalam berbagi kesejahteraan. Dengan perlahan-lahan mereduksi motif eksploitatif, yang menempatkan kelas pekerja harus menjual tenaga mereka sehari penuh hanya untuk mendapatkan upah yang minimalis. Dan lebih menghargai nilai suatu perkerjaan, dengan memberi upah yang lebih baik.

@Juga dipublikasikan di Harian Banjarmasin Post, 03 Mei 2007

Tuesday, April 22, 2008

KRISIS PANGAN

Kasus gizi buruk kembali merebak di negeri ini. Pemberitaan media massa membantu kita melihat perspektif yang berbeda dari masyarakat Indonesia, yakni kelaparan dan kemiskinan, ditengah kemewahan dan hiruk pikuk kegembiraan yang dipertontonkan di ruang-ruang publik kita.

Terkadang, kita menjadi bingung untuk bersikap. Setelah melihat balita-balita ringkih yang kurang gizi, kita dipaksa untuk menikmati tontonan-tontonan kuliner yang menggugah selera. Seperti lirik satire Iwan Fals, obrolan kita di meja makan tentang mereka yang kelaparan, menggambarkan ironi yang mencemaskan tentang pembagian kaya-miskin di dunia ini.

Kelaparan dan gizi buruk adalah sedikit contoh dari ketidak-berdayaan masyarakat miskin yang diakibatkan oleh sistem yang meminggirkan mereka. Sistem sosial yang didesain untuk mengakomodasi persaingan bebas dan filsafat darwinisme sosial dari Herbert Spencer; biarkanlah yang terkuat hidup, dan yang lemah mati.

Inilah dialektika negatif, yang menindas ribuan (bahkan jutaan) masyarakat miskin sebagai rasionalisasi ‘tumbal sejarah’, demi mendorong standar hidup tinggi dari sedikit masyarakat elite yang sangat makmur.

Sistem ini pula yang membuat banyak negara seperti enggan memproteksi sektor pertanian dalam negeri mereka. Seperti di Indonesia. Meski harga pangan melonjak, petani-petani di Indonesia tidak mendapatkan perubahan berarti. Atau, meski Menteri Pertanian mengklaim produksi beras nasional tahun ini surplus 1.3 juta ton, masih banyak masyarakat miskin yang mengkonsumsi nasi aking hingga mati kelaparan. Begitu sulit bagi kita untuk menjelaskan realitas paradoks ini.

Kerusuhan Sosial

Kelaparan akibat krisis pangan juga menjadi isu global. Pertemuan ke-13 Badan Pangan & Pertanian Dunia (FAO) yang berlangsung di Brazil, 14 hingga 18 April 2008 ini, menyoroti krisis pangan yang terjadi di banyak belahan dunia.

Direktur Jendral FAO, Jacques Diouf, bahkan menegaskan bahwa persediaan pangan dunia saat ini berada dalam tahapan kritis. Stok pangan global tahun ini lebih rendah lima persen dibanding tahun lalu, atau terendah dalam 20 tahun terakhir.

Krisis ini disebabkan oleh makin meningkatnya kebutuhan pangan di sejumlah negara. Namun, pada saat bersamaan, produksi pangan mengalami penurunan akibat perubahan iklim global dan bencana yang dating silih berganti. Konsekuensinya, stok pangan mengalami krisis, dan memicu kenaikan harga pangan.

Keadaan ini semakin diperkeruh dengan sikap para spekulan pasar, yang justru dikembang-biakkan oleh liberalisasi sistem sosial-politik-ekonomi yang dianut oleh banyak negara. Keterbatasan produksi pangan dan kenaikan harga pangan, yang terjadi secara global, pada akhirnya mengancam jutaan penduduk. Terutama di negara-negara yang penduduknya mayoritas berpendapatan kurang dari satu dollar per hari.

Dari pengalaman sejarah, minimnya sumber daya energi telah memicu banyak peperangan di dunia ini. Dan minimnya stok pangan global, serta lonjakan harga pangan, dapat mendorong masalah sosial serupa. Dimana masyarakat miskin yang kelaparan, bukan sekedar berpotensi memicu kerusuhan sosial, tapi juga peperangan dan perubahan sosial yang radikal.

Kerusuhan sosial karena krisis pangan yang dicemaskan oleh FAO bukan sekedar isapan jempol semata. Atau wishful thinking dari pakar-pakar sosial yang paranoid. Kerusuhan model ini sudah terjadi di negara-negara pengekspor beras. Seperti di Bangladesh (12/04) dan Haiti (13/04) pada bulan ini, yang dipicu oleh aksi protes masyarakat terhadap kenaikan beras dan bahan bakar minyak dalam persentase yang begitu memberatkan.

Saat sekarang, realitas apokaliptikal bagi kita hanyalah menunggu saat-saat dimana masyarakat miskin di Indonesia yang kelaparan, berhenti bersikap pasrah dan menerima detik-detik kematian mereka. Saat dimana masyarakat miskin mulai memprotes sistem sosial yang meminggirkan mereka dan mendorong suatu perubahan sosial

Perubahan yang, mungkin, memaksa pengambil kebijakan bekerja dengan kesungguhan dan ketergesaan, dalam mereduksi kemiskinan dan kematian yang diakibatkan olehnya.***

Juga dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 16 April 2008

The Forgotten Half

“Bukan hanya kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk percaya akan diri kita sendiri” (Chicken Soup for the College Soul, 2000; 31)


Dalam beberapa hari ke depan, sebagian dari kita, yakni teman-teman di sekolah menengah atas, akan menghadapi tahap terpenting dalam masa pendidikan menengah atas mereka: ujian akhir nasional dan ujian masuk perguruan tinggi.

Kedua ujian diatas bukan hanya mengukur sejauh mana kita berhasil, dan mampu mencerna pelajaran semasa sekolah (yang dikonversi dalam standar angka-angka tertentu, yang terkadang bisa membuat kita merasa tertekan). Tapi juga akan menentukan dimana kita akan berada nantinya, yang tentunya akan berpengaruh pada bagaimana pencapaian kita di masa depan.

Masa-masa sekolah tentu masa yang menyenangkan. Dan kita pasti berharap meninggalkan sekolah dengan hasil yang menyenangkan pula. Ujian yang berjalan lancar, kelulusan dengan hasil memuaskan, dan dapat menjadi bagian dari universitas terbaik yang kita impikan.

Lalu, sebagaimana yang sering dipertanyakan banyak orang, mengapa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi menjadi sesuatu yang dibutuhkan? Jawaban untuk hal ini memang beragam.

Banyak kalangan mempercayai bahwa arti pendidikan tinggi bukan semata menjamin diperolehnya pengetahuan dan keterampilan yang lebih memadai. Tapi juga membuka kesempatan untuk bertahan, bersaing, dan meningkatkan taraf hidup ditengah persaingan (ekonomi) global yang makin ketat.

Selain keyakinan diatas, ada gejala menarik dari penelitian Commission on Work, Family & Citizenship di Amerika Serikat yang bisa kita jadikan petunjuk. Melalui penelitian di beberapa negara bagian Amerika sepanjang tahun 1990-an, Komisi ini menemukan suatu the forgotten half.

The forgotten half adalah suatu kelompok masyarakat yang tidak bekerja, atau hanya memiliki pendapatan yang kurang memuaskan, dengan kehidupan ekonomi relatif buruk dan selalu dibayangi kemiskinan. Yang cukup mengejutkan dari penelitian diatas, the forgotten half ini mayoritas dihuni oleh orang-orang yang tidak sempat mengecap pendidikan tinggi.

Meski penelitian ini dilakukan di benua Amerika, generalisasi lintas wilayah dari penelitian ini dapat diandalkan (Social Psychology, 1999). Hal ini berarti penemuan-penemuan tersebut cukup memadai untuk dapat diterapkan pada negara-negara dengan budaya yang berbeda, termasuk di Indonesia.

Temuan diatas bukanlah untuk menakut-nakuti masyarakat yang tidak mendapatkan akses pendidikan tinggi. Melainkan sebagai tantangan terbesar bagi masyarakat, dan juga bagi kita sendiri. Apakah nanti akan menjadi bagian dari the forgotten half itu, atau termasuk dalam kelompok yang memiliki kapasitas untuk bersaing dalam perkampungan global masa depan yang sangat kompetitif.

Menurut Bill Gates, pendiri Microsoft dalam buku futuristiknya The Road Ahead (1995), dalam dunia yang berubah secara cepat ini, orang-orang dengan pendidikan yang lebih tinggi biasanya dapat beradaptasi, sekaligus dapat merespon perubahan itu dengan cara-cara yang lebih baik.

Oleh karena itu, pendidikan yang lebih tinggi, dari sudut pandang manapun, merupakan asset strategis bagi eksistensi kita di masa depan. Kenyataan ini membuat peluang berkuliah di tempat terbaik adalah modal yang sangat berharga dan patut untuk diperjuangkan.

Harus kita percayai, bahwa modal pendidikan ini akan banyak memberi kita perbedaan dalam berpikir, merasa dan bertindak serta menyesuaikan diri dengan kemajuan peradaban.

Meski, kita juga memahami, bahwa hal ini bukanlah satu-satunya ukuran mutlak bagi kesuksesan kita di masa mendatang.

Meramal Masa Depan

Kita juga pasti sepakat, bahwa diperlukan kerja keras untuk membuat mimpi berkuliah (dan juga mimpi-mimpi lainnya) menjadi kenyataan. Seperti sebuah pepatah bijak: hidup ini merupakan tempat yang netral. Hidup tidak lebih dari rangkaian kesempatan dan pilihan.

Segala yang kita raih (kesuksesan, kegagalan, kebahagiaan dan kesedihan, prestasi ataupun mimpi buruk) adalah bergantung pada pilihan, kemauan dan usaha kita sendiri.

Perjuangan menciptakan masa depan ini tentu telah diawali oleh teman-teman pelajar bertahun-tahun yang lalu, dengan menghabiskan sebagian besar waktu untuk belajar, mengikuti les tambahan dan juga berdoa.

Perjuangan diatas akan terus ditumbuh-kembangkan oleh rasa optimis. Menjadi pribadi yang optimistik sangatlah penting, karena akan membawa kita pada keadaan emosi positif, yang nantinya dapat memperbanyak produksi zat endorfin dalam otak kita. Dimana, zat ini akan memicu peningkatan aliran neurotransmitter, dan memungkinkan otak kita bekerja serta berfungsi secara lebih efisien.

Kebiasaan untuk selalu berpikir positif dan melakukan yang terbaik, adalah satu langkah maju dalam membangun keunggulan pribadi kita. Menurut Aristoteles, filosof paling terkenal dari Yunani, ‘kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang’. Karena itu, keunggulan bukanlah suatu perbuatan atau bakat turunan, melainkan suatu kebiasaan.

Pada akhirnya, banyak rumus-rumus kemajuan diluar sana yang bisa kita jadikan prinsip hidup, atau sekedar diingat sebagai ungkapan penyemangat yang akan mengerakkan energi dan hasrat kita dalam melakukan berbagai hal dengan cara-cara terbaik. Salah satunya seperti yang dikatakan Alan Kay, seorang praktisi pendidikan terkemuka di Amerika, bahwa satu-satunya cara untuk meramal masa depan, adalah dengan menciptakannya. Jadi, teruslah berjuang, demi menghindarkan diri dari kelompok setengah yang terlupakan itu, the forgotten half.***

Juga dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 11 April 2008.

Friday, April 04, 2008

RESENSI

HARI-HARI TERAKHIR ‘TEOLOG PEMBEBAS’

Narasi sejarah merupakan bentuk terbaik dari filsafat perubahan. Dengan obsesi perubahan inilah, maka bermunculan begitu banyak revolusi dalam sejarah bangsa-bangsa. Salah satu icon revolusi, terutama di Amerika Latin, adalah Ernesto 'Che' Guevara.

Dimana Che Guevara terlibat dalam perjuangan revolusioner melawan imperialisme di Guatemala, Kuba dan Bolivia, serta sekaligus men-tasbihkannya sebagai legenda. Minimal bagi yang menggunakan figur Che sebagai simbol perlawanan.

Buku ini adalah potongan terpenting dari kehidupan Che Guevara. Yang bersumber dari catatan harian Che sejak 7 November 1966 sampai 7 Oktober 1967, rentang waktu ketika Che menggerakkan gerilya di Bolivia sampai menjelang penangkapannya di jurang Yuro pada tanggal 8 Oktober 1967.

Menurut Fidel Castro, catatan milik Che ini bukan sengaja ditulis untuk dipublikasikan. Melainkan untuk panduan dalam evaluasi berkala terhadap segala kejadian, situasi dan orang-orang yang terlibat di Bolivia. Namun, demi kebaikan sejarah, maka transkrip ini kemudian diterbitkan, bahkan dengan jaminan keotentikan dari Castro sendiri.

Sebagai teman baik, Castro tidak hanya memuji kebiasaan Che menulis pengamatan sehari-harinya dalam situasi yang sulit. Tapi, Castro juga membela keputusan Che yang lebih memilih terjun dalam perjuangan bersenjata di Bolivia, dibanding menikmati kemenangan revolusi pembebasan Kuba yang diikutinya.

Che, yang banyak mempelajari Marxisme selama perjalanannya mengelilingi Amerika Latin, memang lebih tertarik menyebarkan pesan pembebasan secara langsung dalam perang gerilya, yang disebutnya sebagai upaya 'internasionalisme proletarian sejati'.

Catatan harian Che Guevara ini menceritakan rangkaian perjuangannya di Bolivia: proses kedatangannya pada 7 November 1966 di Nacahuza, organisasi perjuangannya, kontak senjata dengan tentara Bolivia, perjalanan yang berat, berbagai kesukaran dari alam dan serangan penyakit, kelaparan, perpecahan, hingga malam terakhir sebelum penangkapannya. Semuanya ditulis dari sudut pandang Che sendiri.

Che, anak pertama dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan Celia de la Serna yang terlahir pada 14 Juni 1928, benar-benar mempersiapkan kelompok gerilyanya secara sistematis, termasuk dengan melakukan analisis bulanan. Sebuah metode yang menegaskan kemampuan diagnosa intelektualnya -sesuatu yang memang harus dimiliki Che sebagai seorang dokter.

Che juga menulis berbagai pengalaman dengan selera humor latino. Seperti kesenangannya akan panorama Bolivia yang indah, perayaan ulang tahun kawan-kawan seperjuangan hingga pertemuannya dengan serangga baru yang menyebalkan.

Sebagai manusia biasa, Che banyak menuliskan kegelisahan hatinya karena semakin terdesak di areal pegunungan setinggi 2000 meter. Yang bertambah cemas ketika kawan-kawannya gugur satu persatu, merasa bersalah jika penyakit asmanya kambuh dan menghambat mobilitas, serta tetap menulis detik-detik terakhir hidupnya melalui penuturan manusiawi.

Secara keseluruhan, buku ini semestinya menjadi sangat penting dalam memotret figur Che. Terutama untuk melengkapi buku-buku teks mengenai pemikiran Che yang telah ada selama ini. Kelebihannya bukan semata terletak pada tingkat ke-detailan tinggi dan analisis bulanan dari catatan harian Che ini -yang memberi kita kesempatan untuk menghayati dan membayangkan ruang pergerakan Che berpuluh tahun yang lalu di belantara Bolivia-. Tapi, juga karena kerja keras yang melelahkan dari istri dan rekannya, Aleida March de Guevara, dalam menguraikan tulisan yang kecil dan sulit menjadi sebuah buku.

Buku yang memperlihatkan sisi lain dari figur pejuang dunia ketiga, yang men-'darahdaging'-kan ide revolusioner dalam dirinya, dan yang berniat menjadikan perang gerilya di Bolivia sebagai sekolah tempur bagi berbagai kelompok revolusioner di Asia, Afrika dan Amerika Latin sendiri.

Hasta la Victoria Siempre!