Wednesday, February 27, 2008

PEREMPUAN DALAM LOTENG

Proyek besar feminisme selain kesamaan hak dan kesetaraan gender, adalah program pemberdayaan perempuan sebagai anti-tesis dari feminisasi kemiskinan. Termasuk didalamnya peningkatan partisipasi perempuan dalam pelbagai hal: pendidikan, kesehatan, politik hingga pengambilan keputusan publik.

Untuk beberapa hal, semisal partisipasi politik perempuan, ide-ide feminisme merupakan diskursus klasik. Plato, dalam The Republic, menyebut partisipasi politik perempuan sebagai ‘bagian dari hubungan alami antar kedua jenis kelamin’. Saat itu, melihat beberapa perempuan yang sudah aktif dalam sistem politik bukanlah sesuatu yang radikal. Plato meyakini bahwa kecerdasan dan etika tidak dibatasi oleh kelas, etnis ataupun gender tertentu.

Namun demikian, keyakinan Plato tersebut sekedar meta-narasi klasik dalam dunia ide. Selama-berabad-abad, seperti keyakinan para feminis, mayoritas masyarakat kita bersifat ‘patriakal’. Masyarakat kita didominasi dan dibentuk oleh laki-laki. Perempuan dikungkung oleh struktur dan harapan laki-laki, yang dikenal dengan penindasan patriakal.

Dalam zaman modern, kampanye untuk hak-hak perempuan dimulai pada abad 18 selama masa Pencerahan. Pencerahan, aukflarung, atau abad akal budi, adalah masa dimana para pemikir percaya bahwa ‘manusia adalah ukuran bagi segalanya’.

Melalui Pencerahan, dalam Critique of Pure Reason (1781), Immanuel Kant menegaskan bahwa kodrat manusia berada dalam kemajuan, bukan pada kepercayaan masa lampau. Dunia telah semakin dewasa.

Filsafat Pencerahan yang menekankan lingkungan dan pendidikan, membantu mengatasi perbedaan-perbedaan antar gender yang pernah diketahui. Dengan ini, kualitas-kualitas bawaan dalam manusia, yang menjadi nilai stereotype laki-laki dan perempuan, disangkal.

Stereotype maskulinitas dan feminitas disangkal. Bahwa laki-laki harus aktif dan agresif, dan perempuan pasif; bahwa anak laki-laki ‘secara kodrati’ nakal, dan dizinkan untuk berpetualang, sedangkan anak perempuan ‘secara kodrati’ baik sehingga perlu ‘dipenjara’ untuk menjadi manis di rumah; adalah ide-ide yang disangkal oleh filsafat Pencerahan.

Perdebatan filsafat Pencerahan adalah derivasi yang memicu filsafat feminisme. Filsafat yang diyakini akan merubah secara radikal mengenai cara kita berpikir mengenai dunia laki-laki dan perempuan.

Literasi Feminisme

Literatur bercorak feminis masa itu yang menjadi bagian dari agenda reformasi perempuan diantaranya adalah Progress of Human Mind (1789), karya penulis Prancis Condorcet, dan buku Olympe de Gouges, Declaration of the Rights of Women (1789). De Gouges sendiri adalah seorang anak tukang daging yang dididik secara otodidak, yang memimpin perempuan dari berbagai kelas untuk menentang bias gender dalam Deklarasi Prancis atas Hak Manusia saat itu.

Polarisasi terhadap ide-ide patriakal juga dinyatakan dengan jelas oleh Mary Wollstonecraft, dalam A Vindication of the Rights of Women (1792). Buku Mary merupakan salah satu pernyataan feminis paling awal di Inggris, dimana ideal Pencerahan dalam buku itu mengenai ‘hak-hak yang sama’ tetap bertahan hingga sekarang. Ide provokatif mengenai feminisme selanjutnya datang dari John Stuart Mill dalam esainya The Subjection of Women (1869).

Setelah mengalami moratorium selama perang dunia, feminisme kembali menjadi bagian dari agenda pemikiran posmodernitas. Gerakan feminisme baru dan radikal ini bukan sekedar menganalisa subordinasi perempuan, tapi juga relasi eksploitatif atas perempuan.

Buku penting feminisme radikal ini antara lain adalah The Second Sex (1949) oleh Simone de Beauvoir, The Feminine Mystique (1963) karya Betty Friedan, buku Germain Greer dengan judul The Female Eunuch (1971), Faces of Feminism (1981) milik Olive Banks, hingga karya mencerahkan dari Mary Mellor, Breaking the Boundaries: Towards a Feminist Green Socialism (1992).

Pada negara-negara dunia ketiga, feminisme dikaitkan dengan hibrida poskolonial. Dimana perempuan dunia ketiga telah menanggung beban penindasan ganda: dari bangsa kolonial dan dari kaum lelaki pribumi.

Poskolonialisme mempostulatkan perempuan di dunia ketiga sebagai korban par excellence, korban dari ideologi imperial dan patriarki pribumi. Perempuan dunia ketiga adalah subaltern gendered, kelas-kelas inferior yang tertindas. Termasuk di Indonesia, dengan potret yang paling sering disebut, RA Kartini.

Sama seperti visi feminis di belahan dunia lain, Chandra Talpade Mohanty dalam esai Under Western Eyes: Feminist Scholarship & Colonial Discourses (1994), melihat bahwa upaya-upaya desakralisasi subordinasi perempuan di negara dunia ketiga adalah proses berganda dalam ‘mengeluarkan perempuan (lain) dari loteng, mengeluarkan perempuan dari ruang gelap tersebut’.

Bagaimanapun, perkembangan literasi feminisme dalam etika Gramscian, merupakan bagian dari counter-hegemony terhadap ide-ide maskulinitas yang mendominasi dunia material dan simbolis masyarakat di seluruh dunia.***

INTEGRITAS KEPEMIMPINAN

Ditengah polemik aliran dana non-budgeter DKP, dan pertikaian politik (politicking) antar elite-elite nasional beberapa waktu yang lalu, muncul kabar mengejutkan dari negeri Jepang mengenai bunuh diri menteri Toshikatsu Matsuoka (29/05).

Menteri pertanian, kehutanan dan perikanan Jepang tersebut gantung diri, beberapa jam sebelum menjalani pemeriksaan atas skandal politik dan korupsi yang disangkakan padanya.

Kedua perbincangan publik diatas memang tidak berkaitan secara langsung satu sama lain. Akan tetapi, kasus bunuh diri seorang menteri merupakan pelajaran yang sangat berharga mengenai pentingnya integritas individual, implementasi nyata dari tanggung jawab moral dan budaya malu pada pemimpin-pemimpin publik di luar sana.

Bunuh diri memang contoh ekstrim dari perasaan bersalah. Namun demikian, di Jepang dan banyak negara maju lainnya, skandal-skandal politik ataupun korupsi, dan bahkan kinerja yang tidak memuaskan, dapat memaksa pemimpin serta pejabat-pejabat publik mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moralnya.

Hal inilah yang langka terjadi di Indonesia. Selangka pemimpin-pemimpin dengan integritas (moral) yang mengesankan, semisal Bung Hatta.

Self-Awareness

Integritas sendiri adalah satu kualitas utama yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Konsepsi integritas telah disebut Plato, dalam The Republic, sekitar 25 abad yang lampau.

Dalam era postmodern sekarang, Stephen R Covey, satu dari sekian banyak pembicara kepemimpinan paling populer di dunia, memasukkan integritas dalam apa yang disebutnya sebagai ‘etika karakter’ (character ethics).

Melalui studi mendalam akan literatur-literatur tentang keberhasilan yang diterbitkan di Amerika Serikat sejak 1776, Dr Covey menemukan fakta bahwa ‘etika karakter’ (yang diantaranya meliputi integritas, kerendahan hati, keberanian, keadilan, hingga kerja keras) adalah dasar dari keberhasilan pemimpin-pemimpin di seluruh dunia.

Integritas juga berhubungan erat dengan standar-standar moral dan kejujuran intelektual yang menjadi kerangka tingkah laku kita (Warren Bennis, 2001). Tanpa integritas, kita menipu diri sendiri dan orang lain, serta meremehkan setiap usaha keras yang dilakukan.

Menurut Warren Bennis, penulis On Becoming a Leader dan juga Rektor University of Cincinnati, integritas terdiri atas tiga bagian penting: pengenalan diri, ketegasan, dan kematangan.

Pengenalan diri menjadi tugas tersulit bagi pemimpin manapun. Dengan mengenali diri sendiri, pemimpin akan memiliki seperangkat keyakinan mengenai diri mereka sendiri (self-concept) dan dapat mengintegrasikan dimensi-dimensi kualitas dari diri meraka (self-schemas) dengan nilai-nilai baik yang diakui masyarakat. Pengenalan diri adalah proposisi awal dari kematangan dan ketegasan.

Dengan pengenalan diri yang baik pula, pemimpin dapat lebih mengontrol dan mengarahkan tingkah lakunya. Dalam kajian psikologi sosial, kualitas ini dinamakan regulasi-diri (self-regulation). Dimana, aspek terpenting dari self-regulation adalah kesadaran diri (self-awareness) dan bekerjanya self-concept dengan konsisten. Self-awareness, atau kesadaran diri, akan mendorong pemimpin untuk senantiasa membandingkan dirinya dengan standar integritas moral tertentu (Journal of Personality & Social Psychology. Vol 74, 1998; 578-589).

Defisitnya kesadaran-diri individu, dan terutama inkonsistensi individu dalam mengevaluasi tindakannya terhadap standar-standar moral tertentu, merupakan derivasi dari defisitnya integritas moral seorang pemimpin.

Etika Kantian

Sedangkan untuk menelaah moralitas, kita tidak bisa mengesampingkan jejak pemikiran Immanuel Kant. Sebagai seorang filosof Pencerahan, dan dengan gaya berpikir mendekati keaslian spekulatif Plato, Kant berperan dalam meletakkan dasar-dasar Etika bagi filsafat modern. Suatu etika moral berlandaskan pada kedewasaan budi manusia.

Bagi Kant, moralitas dan juga integritas ditentukan oleh kecakapan budi kita. Dengan menggunakan budi, atau akal, individu dapat mengendalikan kehendak bebasnya, untuk kemudian menyesuaikan dengan hukum-hukum universal sesuai kesepakatan masyarakat banyak.

Dalam buku pentingnya, Critique of Pure Reason, ide-ide moral Kant terfokus pada sebuah pertanyaan ‘Apa yang harusnya saya lakukan?’ Untuk menjawab hal ini, Kant menggunakan metode pemeriksaan atas status penilaian etis (ethical judgment). Dengan metode tersebut, Kant menyimpulkan bahwa apa-apa yang ‘seharusnya’ dilakukan mesti didasarkan pada suatu hukum umum yang dapat diterapkan di semua lapisan masyarakat.

Dengan perkataan lain, apa yang harus kita lakukan, dan dengan itu kita dapat disebut bermoral, harus dipertimbangkan dari ‘apa yang akan terjadi bila setiap orang melakukan apa yang kita lakukan’. Inilah prinsip ‘perintah kategoris’, yakni prinsip dasar moralitas yang akan memampukan manusia (dengan menggunakan akal) untuk menyelesaikan permasalahan moral.

Jika kita aplikasikan pada konteks pemimpin dan kekuasaan, maka salah satu tindakan pemimpin yang dapat disebut bermoral adalah menjalankan kekuasaannya demi kebaikan seluruh masyarakat. Atau, pemimpin tidak bermoral adalah mereka yang menghabiskan dana negara untuk kebutuhan sekunder (seperti mobil, pakaian dinas ataupun alokasi makan-minum pejabat), dibanding untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, apabila pemimpin memerintah untuk kepentingan (kelompok) sendiri, ataupun berbuat sesuatu yang ‘seharusnya’ tidak dilakukan, maka kita dapat memberi label mereka sebagai pemimpin yang tidak bermoral. Seperti model ‘perintah kategoris’-nya Kant, apa jadinya jika semua pemimpin koruptif, dan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri?

Melalui etika Kantian, ukuran integritas moral dan kebaikan seorang pemimpin, ditentukan dari apa yang dilakukan pemimpin tersebut dikaitkan dengan kebaikan intrinsik dan kesesuaian pada ekspektasi rakyat. Model etika Kantian sejatinya dapat digunakan sebagai ukuran integritas moral para pemimpin dan penguasa di negeri kita.

Pertanyaan Bagi Kita

Dari pengalaman sejarah kita yang masih pendek ini, mungkin, integritas moral inilah satu-satunya kualitas utama yang paling dirasakan ‘tidak-signifikan-ada’ dalam setiap jenjang kehidupan politik kita. Realitas ini dapat dilihat dari pelbagai keluhan masyarakat akan maraknya tingkah laku yang ‘seharusnya’ tidak dilakukan pemimpin.

Selain itu, keluhan akan pemimpin yang tampak lebih mementingkan kekuasaan dibanding bekerja dengan militan untuk melayani masyarakat, juga merupakan indikasi mencemaskan dari kualitas integritas moral sebagian pemimpin kita.

Realitas ini lalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan apokaliptik terhadap sistem dalam masyarakat, semisal keluarga dan pendidikan, yang sejatinya mendukung hibrida bagi integritas moral individu. Karena, seperti kualitas baik lainnya, integritas moral dimulai dalam keluarga. Dari keluarga, nilai-nilai baik diajarkan dan diinternalisasi sejak dini. Keluarga, ditopang dengan pendidikan berkarakter, adalah penumbuh kesadaran moral individu.

Benarkah pendidikan moral (yang mengajarkan apa-apa yang ‘seharusnya’ dilakukan, termasuk mengajarkan tanggung jawab terhadap amanah pekerjaan) dan pendidikan budi pekerti dalam keluarga telah gagal?

Atau, yang sebenarnya terjadi adalah hipotesis sekelompok intelektual Jerman bermahzab Frankfurt SchĂșlĂ© (1933-1950). Bahwa masalah pemimpin menyimpang (maladaptive) dari masyarakat modern lebih disebabkan oleh dominasi racun rasio instrumental. Lebih karena pemimpin kita tidak lagi mengabdi pada kepentingan praksis moral (how to run a good life), melainkan tenggelam dalam pola pikir yang hanya melihat realitas (alam dan manusia) sebagai potensi untuk dimanipulasi, ditundukkan dan dikuasai secara total.

Racun rasio instrumental ini turut berperan bagi kecacatan budi pemimpin kita dalam mengenali apa yang ’seharusnya’ dilakukan, yang sekaligus meruntuhkan kebajikan integritas moral dalam menyelesaikan pertikaian-pertikaian moral tersebut.

Dan jika kita dipaksa untuk menggunakan penalaran etika Kantian, sebagian masyarakat mungkin mengalami kekacauan penilaian etis. Sehingga, kita kesulitan untuk menilai baik-buruknya suatu tindakan. Kita kerap mengalami disorientasi dalam bersikap terhadap pemimpin-pemimpin yang telah bertindak dengan tidak ‘seharusnya’. Paradoks inilah yang membuat kita, meminjam frasa David Hume, seperti memperlihatkan kepasrahan tersirat akan penyerahan nasib kita pada segelintir penguasa.

Bagaimanapun, dengan kondisi Indonesia yang masih mencemaskan saat sekarang, pertanyaan-pertanyaan diatas bukan lagi premis yang eccentric solipsism (eksentrik sok penting) semata, melainkan sebagai suara orang banyak yang mesti didengarkan, dan mesti direspon dengan perbaikan-perbaikan yang berarti.

Kita, masyarakat biasa dan menjadi objek utama kebijakan kekuasaan, mungkin saja tidak bisa menjawab pertanyaan provokatif diatas dengan memadai.

Kita hanya bisa mengenali, dan merasakan dampak (minimnya integritas moral pemimpin) tersebut secara langsung.

PENGARUH EKSISTENSIALISME

Man is nothing else but his plan; he exists only to the extent that he fulfills himself; he is therefore nothing else than the ensemble of his acts, nothing else than his life

(Jean-Paul Sartre, Existentialism & Human Emotions, 1946:32)

Sebelum psikologi modern membuka dirinya pada pemikiran (school of thought) berbasis emosi dan spiritual yang transenden, psikologi terlebih dahulu dipengaruhi oleh ide-ide humanistik.

Psikologi humanistik berpusat pada diri, holistik, terobsesi pada aktualisasi diri, serta mengajarkan optimisme mengenai kekuatan manusia untuk mengubah diri mereka sendiri dan masyarakat.

Psikologi humanistik begitu dekat, dan mungkin saling berhubungan secara elusif dengan penyembahan diri dan eksistensialisme.

Perpaduan antara akar-akar eksistensialisme, teori mengenai diri, kehampaan eksistensial (terutama pada masyarakat Barat) dan kebutuhan untuk mengisinya, serta ekspansi komersialisasi, telah membuat psikologi-diri menjadi agama zaman baru, religion of new age.

Sebuah psikologi-diri yang hanya menegaskan apa yang diyakini para pemikir humanistik mengenai ‘manusia adalah ukuran bagi segalanya’.

Sastra Eksistensial

Meta-narasi eksistensialis bukan hanya mempengaruhi psikologi, tapi juga sastra, politik, teologi, hingga model pendidikan zaman sekarang.

Dalam khazanah sastra sendiri, beberapa penulis (semisal Franz Kafka, Samuel Beckett, Albert Camus ataupun Fyodor Dostoevsky) dikenal luas melalui tulisan-tulisan yang kental dengan kualitas eksistensialis.

Selain mengajukan pertanyan-pertanyaan bersifat pencarian diri, para penulis eksistensialis itu juga menyatakan visi keprihatinan mengenai masalah-masalah ilusif yang mesti dihadapi individu dalam karya mereka.

Beberapa eksistensialis sayap kanan (Soren Kierkegaard, Gabriel Marcel, Martin Buber, hingga Nicolai Berdyaev) juga memberikan trade-mark khas dalam penulisan sastra; yakni menulis sesuai dengan hati dan tujuan, tetapi tanpa metodologi.

Motif utama mereka terkait dengan penciptaan ruang yang lebih luas bagi emosi, sekaligus sebagai reaksi balik terhadap rasionalisme kaku Rene Descartes dan idealisme klise Hegelian.

Motif tersebut membentuk keyakinan ideologis akan filsafat aktual ini dalam ‘pembolehan prinsip yang berbeda satu dengan yang lain’. Prinsip berbeda dan kepercayaan pada diri ini telah menjadi model yang sangat berpengaruh pada pertengahan akhir abad 20.

Filsafat Diri

Eksistensialisme sendiri adalah filsafat pemberontakan; yang dalam cara-cara tertentu dapat dilihat sebagai pemberontakan romantisme melawan ide Pencerahan Eropa yang terlalu menekankan sistem dan rasionalitas.

Kata eksis, secara harfiah berarti ‘berdiri tegak melawan’. Dan para filsuf eksistensialis telah menekankan pentingnya manusia ‘berdiri tegak’ melawan dunia, masyarakat dan cara berpikir yang membatasi kebebasannya.

Eksistensialisme berarti filsafat mengenai saya, dan bagaimana saya hidup.

Dengan demikian, eksistensialisme adalah filsafat subyektif mengenai diri. Hal ini terlihat pada ide-ide dari tiga eksistensialis terbesar Eropa: Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger (1889-1976) dan Jean-Paul Sartre (1905-1980).

Eksistensialisme Kierkegaard tercapai karena menemukan diri di hadapan Tuhan. Bagi Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang sangat berpengaruh, diri terkait dengan ‘pengada otentik’, atau kecerdasan identitas.

Sementara bagi Sartre, diri serupa dengan konsep Descartes, tetapi dengan meniadakan Tuhan. Diri bagi Sartre adalah pengakuan atas Tuhan. Karena, dalam menciptakan manusia yang kita inginkan, tak ada satupun dari tindakan-tindakan kita yang tidak sekaligus menciptakan gambaran tentang manusia sebagaimana ia seharusnya.

Dalil diataslah, menurut Sartre lagi, yang menggambarkan diri kita sebagai ‘Tuhan kecil’ yang berada atau menyatu dalam diri kita, sekaligus yang ‘memiliki kebebasan kita’ seperti sebuah kebajikan metafisik (Being & Nothingness, 1943:42)***

Sunday, February 24, 2008

LITERASI ERA DIGITAL

“Thomas Jefferson telah menggagas konsep perpustakaan dan hak meminjam buku secara cuma-cuma. Namun, penggagas besar ini tidak pernah membayangkan bahwa kini 20 juta orang dapat mengakses sebuah perpustakaan digital secara elektronik dan mengambil isinya tanpa biaya sama sekali”
(Nicholas Negroponte, dalam buku Being Digital; 1995)

Selama ratusan ribu tahun, nenek moyang kita berkeliaran dibumi sebagai pemburu. Sekitar 12.000 tahun lalu, mereka mulai bercocok tanam dan beternak. Antara 500 hingga 200 tahun lalu, mereka menemukan percetakan, mesin uap, ilmu pengetahuan dan sains modern. Tidak kurang dari 300 tahun yang pendek, berbagai penemuan inventif telah merubah banyak hal dalam kehidupan manusia.

Kini, setelah penemuan mikro-prosesor komputer dan kalkulator saku pada 1971, Homo sapiens sapiens (penghuni bumi era posmodern) menjalani kehidupan dengan kecepatan informasi, komunikasi instan dan perubahan berkelanjutan sebagai kecenderungan utama.

Penemuan Claude Shannon, ilmuwan Bell Laboratories, mengenai digitalisasi informasi berbentuk digit biner (bits) adalah derivasi perkembangan luar biasa dari tekhnologi penyimpanan dan penyajian informasi.

Melalui digitalisasi, jenis informasi apapun dapat dipahami kodenya dalam bentuk digit biner, dan kemudian dapat dikomunikasikan kembali sebagai rangkaian impuls listrik. Kabel serat optik tunggal, sebagai media transmisi informasi, setidaknya mampu mengirim satu milyar bit per detik.

Dengan kapasitas ini, menurut Bill Gates dalam The Road Ahead (1995), serat optik sehelai rambut dapat mengirim seluruh edisi Wall Street Journal yang pernah diterbitkan dalam waktu kurang dari satu detik. Atau di lanskap pendidikan tinggi misalnya, internet dapat menghubungkan 100 universitas lebih dengan kecepatan 600 juta bit per detik, yang berarti mampu mentransmisikan sekitar 30 jilid ensiklopedi dalam satu detik.

Akselarasi luar biasa ini membentuk suatu pengaruh mutual (forceful interplay) antara iptek dan masyarakat. Seperti visi masa depan Karl Marx dalam Das Kapital (1867), bahwa masyarakat memang pencipta tekhnologi, tapi kecenderungan tekhnologi juga berkemampuan mengarahkan model kehidupan dari masyarakat tersebut.

Dan revolusi digital, seperti keyakinan John Naisbitt di High Tech High Touch (1999), telah dan akan merubah struktur bisnis, pendidikan, pekerjaan, interaksi antar-manusia, tekhnik penyembuhan, hiburan, dan mungkin esensi teologis kita.

          Apartheid Tekhnologi
Dengan kemajuan tekhnologi dan energi intelektual yang mencerahkan, generasi saat ini dipercaya memiliki pilihan masa depan yang tak terbatas, dengan segala sesuatunya mungkin untuk dilakukan.

Para tekhnofilia bahkan berkeyakinan luar biasa akan solusi tekhnologi. Internet di setiap ruang kelas akan membuat sekolah lebih baik, rekayasa genetika dapat menyembuhkan pelbagai penyakit, atau rekayasa biologi pada tanaman akan menjamin ketersedian pangan bagi seluruh penduduk dunia.

Namun demikian, kemajuan asimetri dunia juga memunculkan kecemasan akan terciptanya masyarakat dua kelas: antara yang menguasai tekhnologi-informasi dan yang tidak, antara yang dapat belajar secara efisien (dengan bantuan kemajuan tekhnologi) dan mereka yang belajar hanya menggunakan kapur dan papan tulis.

Don Tapscott, dalam Blueprint to the Digital Economy (1998), mengingatkan jika proses tekhnologisasi dikendalikan hanya oleh kekuatan pasar, maka dapat tumbuh suatu ‘apartheid tekhnologi’; dimana kelas miskin tidak dapat melakukan apa-apa dan makin tertinggal.

Realitas ini terlihat ketika anak-anak di sekolah elite (di negeri ini ataupun di negara maju) bukan sekedar dimanjakan dengan kemudahan tekhnologi, tapi juga hiruk-pikuk pilihan keterampilan non-akademik yang tak terbatas. Bandingkan dengan anak-anak di pinggiran Jakarta, Banten, apalagi daerah pedalaman; segala aspek begitu berbeda.

Konsekuensinya, segelintir generasi yang menguasai tekhnologi menjadi pemimpin dan menikmati bagian terbesar dari pendapatan nasional, sedangkan mayoritas anak-anak kita menjadi pekerja kasar dan pekerja kerah biru, dengan aktivitas pekerjaan berulang-ulang dan upah minim.

Proporsi kesenjangan pendidikan di Indonesia saat ini identik dengan model pendidikan di Amerika Serikat puluhan tahun yang lalu, atau mungkin lebih menyedihkan; dimana pendidikan nasional bertujuan mendidik 20 persen populasi untuk menjadi pekerja profesional, 30 persen untuk perdagangan dan kerja administratif, dan membiarkan 50 persen sisanya menjadi pekerja pertanian yang tidak terdidik.

Kesenjangan ini, minimnya dana untuk aksesibilitas tekhnologi dan masalah bangsa lainnya, membuat upaya mereduksi ‘apartheid tekhnologi’ sebagai tanggung-jawab masyarakat dan pemerintah yang cukup berat, kalau tidak dibilang utopis. Apalagi ketika pelayanan kebutuhan dasar (pangan, kesehatan, pendidikan) saja masih jauh dari memuaskan.

Demokratisasi akses ini akhirnya hanya bergantung pada filantropi sektor swasta. Salah satunya seperti apa yang dilakukan yayasan To Be One milik Nicholas Negroponte, dengan program penyediaan satu laptop berakses internet untuk setiap anak, yang berjumlah sekitar 1 miliar anak di seluruh dunia.
     
          Learning 2.0
Anak-anak saat ini bukan sekedar membutuhkan demokratisasi akses saja, tapi juga bagaimana mereka mampu menggunakan perangkat teknologi dan informasi tersebut dengan baik.
Akselarasi model pembelajaran, salah satunya digagas oleh the Partnership for 21st Century Skills, mengonfirmasi bahwa kemampuan beradaptasi di dunia yang selalu berubah dengan cepat ini ditentukan oleh aksesibilitas serta tingkat melek tekhnologi dan informasi (information-technological literacy)

Anak-anak sekarang mesti diajarkan sejak dini mengenai tekhnologi. Ranahnya meliputi apa itu tekhnologi, bagaimana tekhnologi bekerja, pencapaian-pencapaian apa yang mungkin didapat dari tekhnologi, serta bagaimana menggunakannya secara efisien dan efektif.

Sehingga setiap anak mampu menggunakan perangkat tekhnologi, instant messaging, website, buku-buku digital, blog, laporan-laporan penelitian di jurnal elektronik, data-data pada search engine, pembelajaran interaktif, hingga chat rooms, dengan baik dan tanpa meninggalkan pengembangan talenta kognitif dan afektif mereka.

Literasi tekhnologi ini memperkaya pembelajaran konvensional yang bertujuan meningkatkan ‘pengetahuan dasar’ (membaca, menulis, matematika, sains, pengetahuan umum serta cultural literacy) dan apa yang disebut para pendidik sebagai ‘portable skills’: berpikir kritis, membuat hubungan antar-gagasan, menyelesaikan masalah, dan mengetahui bagaimana belajar secara berkelanjutan.

‘Portable skill’, yang menekankan kefasihan analitik dan kompetensi kognitif, menjadi begitu krusial karena sifat ‘one touch’ tekhnologi. Kemudahan yang diciptakan oleh tekhnologi menempatkan kemampuan kognitif berlevel tinggi sebagai pembeda produktivitas.

Bagaimanapun, tekhnologi dan literasi tekhnologi, merupakan episentrum kemajuan masa depan. Seperti penuturan Stan Shih, Direktur Acer Group di Taiwan, yang meramalkan bahwa tingkat melek tekhnologi dan informasi yang baik, akan memungkinkan negara berkembang memadatkan pengalaman sejarah mereka: melompati era industri, dan langsung menuju ‘era-baru jaringan kecerdasan’.

Era dimana kemajuan mengesankan masyarakat, perusahaan ataupun negara-bangsa terjadi jika mereka mampu melakukan pemrosesan informasi dan penyebaran pengetahuan kreatif (menciptakan daya guna) dengan baik dan progresif.

Pertanyaannya, apakah kita mampu memanfaatkan kesempatan besar, seperti ramalan Stan Shih diatas? Jika kita dipaksa melihat mayoritas kondisi dan sistem (hardware, software, dan brainware) pendidikan kita saat sekarang, lompatan itu tampaknya utopis, atau mungkin begitu tak terjangkau dalam waktu dekat.

Modal masa depan bangsa kita tinggal bergantung pada kekuatan otak, pengetahuan dan kreativitas generasi saat ini, sembari mengejar ketertinggalan (demokratisasi) tekhnologi tersebut.

FOOTBALL FOR HOPE

Peta kemakmuran dunia memang asimetri. Pemberitaan dan citra visual di media massa dapat mengilustrasikan hal ini dengan baik. Akan sulit bagi kita untuk menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat miskin di Afrika misalnya, dan segelintir masyarakat yang begitu makmur di utara Eropa dan Amerika, adalah berasal dari spesies yang sama. Dalam hal kekayaan, fasilitas, harapan hidup, kesehatan dan pendidikan, keduanya sangat berbeda.

Masyarakat Amerika Serikat misalnya, membelanjakan sedikitnya delapan miliar dollar AS setahun untuk kosmetik, padahal hanya dengan dua miliar dollar AS setahun dapat memenuhi hak semua orang pada pendidikan.

Di Eropa, orang-orang membelanjakan sekitar 11 miliar dollar AS untuk es krim, sedangkan hanya sembilan miliar dollar AS yang dibutuhkan untuk menjamin akses semua orang miskin pada air bersih dan sanitasi.

Kemewahan tidak terkecuali menyentuh juga sepakbola, olahraga paling populer di dunia. Lihat saja perputaran hadiah uang di Liga Champions Eropa musim 2006/2007 yang mencapai 579,6 juta Euro. Atau gaji Steven Gerrard, skipper Liverpool dan timnas Inggris, yang kabarnya mendekati angka enam juta pounds per tahun, atau sekitar 2,1 miliar rupiah setiap pekannya.

Melalui penggunaan tekhnologi komersialisasi yang canggih, sepakbola modern, terutama di Eropa Utara, telah bermetamorfosa menjadi sebuah industri hiburan masa kini dengan perputaran uang yang begitu melimpah.

Tentu saja begitu sulit untuk membandingkan perputaran uang di sepakbola dengan minimnya dana yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di seluruh belahan dunia. Keduanya berada dalam wilayah yang berbeda, meski terkadang memperlihatkan irisan yang begitu nyata.

Salah satu irisannya adalah sebuah pertanyaan etis: apakah sepakbola masa kini juga ikut melestarikan kesenjangan yang begitu mencolok diatas, antara pentas kemewahan dan neraka kemiskinan?

Apakah berlimpahnya uang yang dihabiskan dalam industri sepakbola juga menjadi bentuk ketidak-pedulian masyarakat, sementara di tempat lain jutaan orang meski menghadapi kemiskinan absolut?

           Melawan Kemiskinan
Posisi sepakbola terhadap kemiskinan sesungguhnya sangat kompleks, elusif dan dapat dikaitkan dengan banyak sudut pandang. Berlimpahnya uang mungkin saja ditafsirkan sebagai potret kesenjangan yang menyakitkan bagi masyarakat miskin. Mengapa orang-orang begitu mudah mengeluarkan uang untuk sepakbola, sedangkan bantuan internasional untuk pembangunan millennium (MDGs) hanya ditargetkan sekitar 130 miliar dollar AS pada tahun 2010 nanti.

Akan tetapi, cobalah bertanya pada Samuel Eto’o di Barcelona, Carlos Tevez di Manchester United, atau Fallah Johnson di Persik Kediri, mengenai sepakbola dan kemiskinan. Maknanya akan begitu berbeda. Sepakbola bagi mereka adalah harapan untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Football for hope.

Sepakbola berada dalam lintasan dimana harapan diproduksi, disebarkan dan diinternalisasikan oleh anak-anak miskin yang bermain sepakbola di benua Afrika, di jalan-jalan pemukiman kumuh di Brazil, juga di kampung-kampung di negeri ini.

Mahouve Marcell, pemain Persita Tangerang, yang merupakan anak legenda Kamerun Roger Milla dan pernah bermain di klub Montpellier (Prancis), mengungkapkan bahwa meski ia kini bermain untuk klub yang lebih kecil, ia merasa lebih beruntung dibanding jutaan rakyat Kamerun lain yang mesti bergelut dengan kemiskinan.

Selain menjadi jalan untuk memperbaiki kesejahteraan, sepakbola juga menjadi hiburan yang menyenangkan bagi masyarakat miskin. Dalam momen-momen tertentu sepakbola menjadi pembangkit kebanggaan, medium bagi negara-negara miskin untuk mensejajarkan diri dengan negara maju, sekaligus menjadi aktivitas dimana masyarakat miskin bisa melupakan sejenak kesulitan yang mereka hadapi setiap hari.
          
          Kampanye Global
Pada tahun-tahun terakhir ini, sepakbola tampak lebih aktif dalam keterlibatannya dengan kemiskinan. Insan sepakbola mungkin saja ingin mereduksi persepsi mengenai ketidak-pedulian etis mereka terhadap kemiskinan.

Sepakbola kini punya sebutan lain: football in the fight against poverty. Bentuknya bukan sekedar slogan dukungan, tapi juga penggalangan dana untuk mereduksi kemiskinan.

Seperti sebuah pertandingan bertajuk Match against Poverty di estadio Rosaleda, Malaga, Spanyol, yang mempertemukan tim Ronaldo dan tim Zinedine Zidane menjadi satu contoh dari partisipasi aktif dunia sepakbola melawan kemiskinan. Pertandingan pada November 2007 lalu, dengan 28.963 penonton itu, menghasilkan dana yang digunakan untuk menyediakan peralatan sekolah bagi 3000 anak-anak di Haiti, membantu pembangunan pusat kesehatan dan sekolah di Congo, hingga menciptakan 350 pekerjaan konstruksi di Sri Lanka, dimana 75 tempat cuci dan 44 toilet public, serta banyak tempat penyediaan air bersih dibangun.

Sepakbola juga ikut ambil bagian dalam kampanye global Stand Up Against Poverty pada 15 dan 16 Oktober 2007, yang melibatkan 43.716.440 partisipan di sekitar 127 negara di seluruh dunia. Sepuluh stadion di Italia akan menjadi host bagi kampanye Stand Up, dimana sebelum pertandingan setiap kapten kesebelasan membacakan deklarasi melawan kemiskinan.

Juga di Meksiko, dimana Federasi Sepakbola Meksiko memastikan kampanye Stand Up akan menjadi bagian dari setiap pertandingan sepakbola pada tanggal 15 Oktober di seluruh negeri itu.

Bagaimanapun, tanggung jawab, atau lebih tepat disebut kepekaan (altruisme sosial) industri sepakbola ini adalah salah satu potret untuk menyebarkan hasrat saling menolong diantara masyarakat.

Satu harapan yang mencerahkan dari Zinedine Zidane setelah pertandingan amal di Malaga, bahwa sepakbola memiliki kemampuan untuk memperlihatkan rasa solidaritas yang tinggi sekaligus memberikan kontribusi nyata bagi UNDP.

Lebih jauh, sepakbola dapat menjadi salah satu wahana eksistensial dalam menjawab tantangan terberat akan kemiskinan: bahwa kemiskinan di masa depan akan menjadi sekedar catatan masa lalu di museum. Dimana pertandingan-pertandingan amal untuk mengumpulkan dana, seperti di Malaga itu, tidak perlu lagi dilakukan di masa depan.