Monday, December 10, 2007

Penunda Kronis

Ketika Isaac Newton masih remaja, ilmuwan kebanggaan Inggris itu menunda menyatakan isi hatinya pada Victory -anak gadis dari keluarga dimana Newton tinggal selama menempuh pendidikan di London. Selain karena tidak berani, Newton beralasan ingin berkonsentrasi untuk belajar. Padahal, Victory jelas juga menyukainya. Sampai kemudian Victory menikah dengan orang lain, Newton tidak pernah mengungkapkan hasrat cintanya. Dan bahkan tetap mem-bujang hingga akhir hayatnya.

Apa yang dilakukan oleh sir Isaac Newton tersebut, yakni menunda sesuatu, pasti pernah juga kita alami. Menunda belajar, sampai kita harus ‘kebut semalam’ sebelum ujian. Menunda mengungkapkan isi hati pada orang yang kita suka. Menunda meminta maaf, atau menolong orang lain. Menunda menghentikan kebiasaan buruk yang katanya terlihat keren: seperti merokok, meng-konsumsi napza, hingga begadang. Serta masih banyak contoh kebiasaan menunda lainnya dalam keseharian kita.

Menunda adalah manusiawi. Don Marquis, seorang penyair Amerika, menyebut penundaan sebagai ‘seni manusia dalam menyanjung hari kemarin’.

Namun, dibalik sisi manusiawi dari tingkah laku menunda, ada juga yang disebut sebagai penunda kronis. Dalam istilah psikologi, penunda kronis dikenal mengidap chronic procrastination atau the tomorrow syndrome.

Menunda kronis bukan sikap menunda seperti biasa. Tetapi karakter kepribadian atau kebiasaan yang melekat pada salah satu ruang mental kita. Karakter ini dapat mengakibatkan perasaan tidak puas, berpeluang merusak hubungan sosial, menghancurkan cita-cita ataupun membuat kita kerap merasa bersalah.

Intinya, karakter mental ini menjebak kita di tempat yang sama, tanpa kemajuan dan pertumbuhan.

Pemimpi Yang Malas

Jika kita menyempatkan waktu untuk diri sendiri, dan kemudian berusaha mengevaluasi diri, maka kira-kira akan seperti apakah gejala-gejala penunda kronis tersebut?

Frank J. Bruno, melalui buku tematiknya, Psychological Symptoms, membantu kita mengidentifikasi hal-hal spesifik yang mencirikan seorang penunda kronis.

Menurut Dr Bruno penunda kronis suka bekerja tergesa-gesa di detik-detik terakhir. Mereka seperti senantiasa dikejar-kejar oleh deadline, dan seakan tidak memiliki cukup waktu dalam melakukan setiap hal. Mereka juga kerap melakukan tingkah laku yang menghamburkan waktu, menghayal dan berharap tanpa melakukan sesuatu.

Penunda kronis tinggal dalam mimpi yang malas, dengan kepala penuh rencana yang tidak realistis, tetapi tanpa melakukan apa-apa. Seringkali mereka sekedar berbicara dan memikirkan sesuatu, tanpa segera bertindak.

Gejala lainnya, penunda kronis merasa sangat terbebani dengan tanggung-jawab dan sulit menikmati aktivitas-aktivitas rekreasional. Kebiasaan menunda mengakibatkan semua pekerjaan harus dilakukan sekarang juga -di hari yang pendek dengan tugas yang menumpuk.

Dan gejala, sekaligus akibat terburuk dari habit ini adalah ketidak-mampuan dalam mencapai prestasi penting dalam hidup. Dengan tidak melakukan sesuatu secara benar dalam waktu yang cukup, atau tidak melakukannya sama sekali, maka banyak kesempatan untuk berkembang yang akan terbuang.

Mereduksi Kebiasaan

Jika gejala yang disebutkan diatas sepertinya menjadi bagian dalam diri kita, maka memulai untuk mengenali dan menghentikan kebiasaan menunda tersebut adalah tindakan yang penting. Sebelum nantinya kita menyesal dan melewatkan banyak hal-hal penting dalam hidup.

Yang paling mendesak dalam mengendalikan kebiasaan menunda, seperti disarankan oleh James R. Sherman dalam buku Stop Procrastinating-nya, adalah bertindak tanpa banyak bicara.

Ketika mengerjakan sesuatu, kita akan lebih efektif dengan menggunakan pendekatan ‘task oriented’, bukan ‘time oriented’. Dimana rangkaian dan keberhasilan pekerjaan kita diukur -serta dikendalikan- berdasarkan tugas yang harus kita kerjakan, bukan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Selain itu, penerapan Premack’s Principle juga dapat dicoba oleh para penunda kronis. Prinsip ini dapat diterjemahkan dalam bentuk saran: tempatkan tugas yang tidak menyenangkan (kerja) sebelum tugas yang menyenangkan (bermain). Dengan melakukan tugas yang sulit, akan menarik tingkah laku kita ke tingkatan yang lebih tinggi.

Dalam banyak hal di hidup ini, kita sebaiknya menetapkan tujuan yang realistis, dan dapat dikelola dengan menyenangkan. Toh, kita juga jarang sekali mencapai tujuan yang tinggi hanya dalam satu kali lompatan.

Self Discovery

Bagian tersulit bagi penunda kronis adalah keluar dari wilayah ‘aman’-nya. Karena, kebiasaan menunda seringkali terjadi pada tugas-tugas atau sesuatu yang baru, yang memungkinkan munculnya kecemasan dan ketakutan akan kegagalan. Semisal mengungkapkan cinta pada gadis keren di sekolah, masuk ke dalam lingkungan baru, mencoba pekerjaan atau kebiasaan-kebiasaan baru, hingga mengungkapkan pendapat di depan banyak orang.

Untuk mengatasi hal yang satu ini, Dr Bruno menegaskan bahwa kita terjebak dalam paradigma ‘yang meminta kita untuk mengatasi kecemasan dulu, baru kemudian bertindak’.

Padahal, jika kita mulai bertindak sebelum merasakan cemas, kita akan menemukan bahwa tindakan itu akan mengurangi kecemasan dan membangun kepercayaan diri kita. Sehingga, sesekali bertindaklah terlebih dahulu, baru berpikir dan merasakannya.

Dengan melakukan ini, kita mungkin akan terkejut, bahwa kita dapat menemukan kualitas diri -atau talenta tersembunyi- kita secara sederhana, melalui suatu tindakan yang kita lakukan. Kita belajar dengan mempraktekkannya. Dan bahkan, hasil dari pola tingkah laku ini dapat membantu kita dalam mengenali diri, yang biasanya disebut sebagai self-discovery.

Bagaimanapun, sama seperti kebanyakan ‘terapi tingkah laku instan’ yang marak belakangan ini, merubah kebiasaan ‘menunda kronis’ menjadi sangat bergantung pada diri kita.

Keberhasilan merubah kebiasaan buruk sebagian besar terletak pada kemampuan untuk memanfaatkan energi swa-bantu (self-help) kita. Bagaimana kita menolong diri sendiri, mengendalikan dan mengarahkan hidup kita menjadi lebih baik.

Karena musuh terbesar yang mesti kita taklukan terlebih dahulu, adalah diri kita sendiri. ­

Saturday, December 08, 2007

Peringatan Hari Penyandang Cacat Internasional - 3 Desember

Kode genetik terpenting dalam peradaban global saat ini adalah media informasi. Superioritas media sebagai agen peradaban tercermin dari kapasitasnya dalam membangun opini publik, mengarahkan gaya hidup dan trend pemikiran.

Media dapat menghibur, mengajar, mendidik, sekaligus menyesatkan kita. Tanpa henti, dengan variasi yang tidak pernah berakhir. Seringkali kita mengikuti arus, bereaksi pada isu-isu tertentu akibat stimulus media.

Salah satu produksi persuasif media adalah ritual untuk memperingati hari-hari tertentu. Di bulan Desember, salah satu hari yang populer adalah 1 Desember, sebagai Hari AIDS internasional.

Dan umumnya, dalam sisi yang kontras, kelesuan publisitas mengakibatkan hal-hal tertentu terlupakan. Seperti peringatan Hari Penyandang Cacat Internasional pada tanggal 3 Desember, yang banyak diantara kita nampak tidak mengetahuinya.

Padahal, bentuk-bentuk ekspresi sosial telah digunakan di pelbagai negara oleh penyandang cacat, atau belakangan disebut dengan difabel (different ability, bukan disabled).

Ritual peringatan tahunan ini seringkali terinspirasi oleh aksi duduk penyandang cacat Amerika di kantor Federal San Fransisco pada tahun 1977, yang merupakan manifestasi pemeliharaan rasa bangga dan solidaritas dalam komunitas difabel.

Masyarakat Kelas Dua
Penyandang cacat terkadang dihakimi sebagai ‘an existence which should not exist’, eksistensi yang seharusnya tidak ada. Dan tanpa disadari, telah menjadi masyarakat kelas dua. Suatu prototipe masyarakat yang didesain untuk menerima diskriminasi fisik dan non-fisik.

Diskriminasi bahkan dilakukan oleh orangtua. Diantaranya dengan mengisolasi anak cacatnya dalam rumah, membatasi relasi sosial anak dengan dunia luar, dan membuatnya tampak tidak berdaya.

Fungsi tradisional keluarga tenggelam ditengah able-bodied culture, sejenis budaya eugenik dalam masyarakat yang memberi label orang cacat sebagai nasib buruk.

Budaya able-bodied tercermin dalam kristalisasi nilai-nilai tertentu yang menjadi norma sosial, penindasan samar yang terlembagakan tentang habituasi mengasihani diri sendiri, hingga ketergantungan pada rumah, lembaga sosial dan masyarakat.

Keadaan masif yang tercipta tentang buruknya posisi komunitas difabel di Indonesia juga merupakan produk dari kelambanan sejarah perubahan di negeri ini.
Lambannya pemerataan pembangunan dan kualitas pendidikan, penanggulangan krisis ekonomi, kemiskinan hingga pemberantasan korupsi.

Dengan demikian, untuk merangsang perubahan yang lebih progresif, maka upaya mentransformasi contoh-contoh terbaik dalam lanskap gerakan persamaan hak asasi komunitas difabel di berbagai belahan dunia menjadi begitu penting. Seperti Independent Living Movement di Amerika pada pertengahan tahun 70-an, dan di Jepang sebagai pengikut terbaiknya satu dekade kemudian.

Gerakan Self-Help
Independent Living merupakan filosofi gerakan yang terkait dengan penyediaan layanan bagi penyandang cacat berbasis masyarakat. Sebuah sistem berpikir dan cara hidup yang meng-integrasikan kemandirian dan alternatif untuk menjalani kehidupan berlandaskan self-help (menolong diri sendiri).

Pusat-pusat Independent Living di Amerika dan Jepang umumnya memiliki program semisal peer-counseling (konseling swa-kelompok), pendampingan bagi penyandang cacat, dan pelayanan rumah singgah.

Berbagai program tersebut mentransfer sikap, tingkah laku dan skill sosial yang dibutuhkan kaum difabel untuk hidup di masyarakat. Melalui kelas-kelas peningkatan kepercayaan diri, motivasi untuk hidup dan memperkuat self esteem (Tsutsumi & Higuchi, 1998).

Dengan visi besar Independent Living-lah, komunitas difabel di kedua negara maju tersebut menjadi organisasi modern yang cukup mapan, memiliki kapasitas bertahan dan bernegosiasi dengan pemerintah secara memadai.

Penyandang cacat di Amerika dan Jepang dapat hidup independen dengan sarana-sarana publik yang aksesibel, dan sekaligus meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam menikmati hidup. Pencapaian ini tentu membutuhkan organisasi gerakan yang kuat dan proses panjang.

Bagaimanapun, peringatan tahunan ini bukan sekedar sebagai medium sosialisasi bagi gerakan kemandirian komunitas difabel, tetapi juga menjadi embrio berkelanjutan yang mencerahkan kesadaran masyarakat.

Kesadaran yang diawali ketika pendataan jumlah individu difabel dilakukan secara lebih akurat, para orang tua tidak lagi malu dan mengurung anaknya yang cacat di rumah, serta tata ruang publik mencerminkan lingkungan bersahabat yang manusiawi, memberikan kemudahan bergerak dan ‘ramah orang cacat’.

Juga ketika kita mulai memandang penyandang cacat dengan lebih baik, mengenalinya dengan komunitas berkemampuan berbeda (different ability) bukan tidak berkemampuan (disabled), serta tidak menjadikannya sebagai manusia eksklusif (yang patut dikasihani).

Yang jauh lebih penting, ketika organisasi difabel mengekspresikan apa yang mereka butuhkan, seperti keyakinan yang selama ini mulai dikembangkan: ‘jangan pernah membicarakan hak-hak difabel, tanpa melibatkan kita (penyandang cacat)’.

Pertanyaan penting selanjutnya adalah mengapa isu tentang komunitas difabel ini penting? Bahkan bagi orang yang tidak cacat sekalipun. Jawabannya persis sama dengan bagaimana kita seharusnya menyikapi fenomena kemiskinan.

Empati yang dangkal, pengabaian kronis dalam masyarakat, ataupun tidak adanya energi tersisa untuk memperhatikan hal-hal yang secara pragmatis tidak menguntungkan. Ini adalah noda dalam identitas kemanusiaan kita.

Permasalahan sosial seperti ini bukan sekedar beranalogi bagaimana kalau besok kita cacat atau menjadi miskin. Semuanya bisa saja terjadi.

Tetapi, yang diperlukan adalah proses menggugah kesadaran serta mengembangkan masyarakat yang saling menolong, mengaktualisasikan kembali kolektivitas dan struktur keramahan, yang ironisnya mulai berkurang belakangan ini. Padahal, menurut keyakinan banyak ahli sosial Eropa, masyarakat yang inklusif adalah berakar dari negara agraris, seperti Indonesia!

Sunday, December 02, 2007

Belajar Di Alam

"Dan bukan hanya sebuah impian, melainkan kenyataan yang besar, intipan ke kehidupan yang lebih tinggi, kemungkinan kemanusiaan yang lebih luas, yang di tengah-tengah kesibukan dan hingar-bingar kehidupan, berhenti selama empat tahun yang pendek untuk mempelajari makna hidup" -WEB Dubois-

Orientasi Pengenalan Kampus merupakan interaksi mutual pertama antara mahasiswa baru dengan kehidupan kampus secara langsung. Seperti model rekayasa pengalaman dalam setting pendidikan lainnya, ospek sejatinya merupakan ritual saling menolong.

Ritual untuk membantu mahasiswa baru yang sedang melompat dalam terra incognito, daerah yang tidak dikenal, lingkungan yang sama sekali baru dengan beragam pengalaman yang baru pula.

Bentuk bantuan dari setiap kampus tersebut, diantaranya adalah: berbagi pengalaman terdahulu, menyediakan alam artifisial untuk beradaptasi, mendesain 'jembatan transisional', hingga membuka pintu dan menunjukkan dunia perkuliahan -suatu kompleksitas dunia yang nantinya akan dialami dan dihayati oleh mahasiswa baru tersebut.

Metamorfikom

Model jembatan transisional, atau media metamorfosis bagi pelajar sekolah menengah menjadi mahasiswa tersebut, dapat dirancang menjadi tempat belajar yang mencerahkan, untuk kemudian diintegrasikan dengan visi dan nilai-nilai filosofis dari kampus masing-masing.

Dan kampus ekstensi Fakultas Ilmu Komunikasi, satu dari sedikit fakultas di Universitas Padjadjaran - Bandung, yang mengadakan kegiatan di luar area kampus, dengan supervisi dari HIJAU DAUN -lembaga outbound training- telah membangun rangkaian kegiatan pembelajaran dalam ospek yang bertajuk Metamorfikom 2007.

Bagian akhir dari Metamorfikom ini adalah kegiatan outbond training dengan model pembelajaran utama diarahkan pada team building package. Outbond yang diselenggarakan pada 31 Agustus hingga 2 September di bumi perkemahan Ranca Upas, Bandung Selatan ini, diikuti oleh 113 mahasiswa baru -dari jumlah 149 mahasiswa yang mendaftar di kampus ekstensi Fikom Unpad.

Visi dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa baru mengenali dan mengeksplorasi diri mereka, lingkungan baru dimana mereka akan berada, serta sikap-sikap dan tingkah laku yang diperlukan; sebagai modalitasmengenali, mengeksplorasi dan .ng-masing. dalam menjalani transformasi diri menjadi mahasiswa.

Untuk itu, melalui outbond training diciptakan lingkungan tanpa-stres, yang memberikan kenyamanan bagi setiap mahasiswa baru untuk mencoba hal-hal baru dan melakukan kesalahan, namun terus di-encourage untuk mencapai keberhasilan.

Bagi HIJAU DAUN, menjamin suasana belajar yang menyenangkan secara emosi adalah mutlak diperlukan. Seperti diyakini riset-riset terbaru mengenai pembelajaran di seluruh dunia, emosi positif bukan hanya sangat membantu proses belajar, tapi juga dapat meningkatkan keterlibatan dan umpan balik dari pembelajar, sekaligus menciptakan memori yang kuat.

Selain belajar di alam, suasana yang menyenangkan dapat terbentuk ketika belajar dilakukan bersama-sama dengan orang lain, ketika ada humor dan dorongan semangat, waktu istirahat dan jeda yang teratur, serta antusiasme yang disebarkan oleh semua orang yang terlibat dalam proses pembelajaran tersebut.

Dengan suasana belajar tanpa tekanan, kampus ekstensi Fikom Unpad dan HIJAU DAUN mendesain agar lima indikator keberhasilan yang menjadi perhatian penting dari kegiatan outbond training Metamorfikom 2007 ini dapat tercapai, yakni: kepedulian, kepemimpinan, etika, kedisplinan dan cinta almamater.

Pengenalan Diri

Dalam kegiatan outbond sebagai rangkaian ospek, selain kekhawatiran mengenai sulitnya mengontrol kegiatan massal di luar kampus yang identik dengan kontak fisik dan budaya senioritas, pertanyaan eksistensial lain mengenai outbond adalah mengapa harus melakukan kegiatan di alam?

Kegiatan di alam bukan sekedar memungkinkan terbangunnya suasana baru antar mahasiswa, atau bagian dari filsafat penghijauan global yang marak belakangan ini saja, tapi kegiatan di alam juga memberikan ruang yang lebih luas bagi kita untuk mengenali diri kita dan orang-orang di sekitar kita.

Dengan berada di alam, kita menanggalkan apa yang disebut John Naisbitt sebagai wired species; identitas kita yang terbentuk karena pengaruh tekhnologi di sekitar kita. Di alam bebas, kita berhenti sebentar, keluar dari hingar bingar kehidupan yang bagi beberapa dari kita sungguh melelahkan.

Melalui kesederhanaan dan nir-tekhnologi, berada di alam mendorong kita untuk mengenali perasaan-perasaan terdalam kita, emosi dan kepekaan sosial kita, yang dapat kita ekspresikan secara manusiawi, lebih bebas dan tidak superfisial.

Pada titik inilah model outbond training memiliki irisan filosofis dengan visi dari kegiatan ospek secara umum. Bahwa sebelum mahasiswa baru mengenali perubahan-perubahan yang terkait dengan status identitasnya sebagai mahasiswa, mahasiswa baru semestinya disediakan sebuah wahana pembelajaran untuk lebih mengenali diri mereka sendiri.

Karena, kehidupan perkuliahan memang tempat dimana perubahan-perubahan banyak terjadi dalam diri kita. Bagi banyak ahli psikologi perkembangan, bagian terpenting dari proses perubahan ini adalah kemampuan mengenali diri sendiri.

Dengan mengenali diri sendiri, setiap mahasiswa akan memiliki seperangkat keyakinan mengenai diri mereka, dan dapat mengintegrasikan dimensi-dimensi kualitas dari diri mereka dengan nilai-nilai kebaikan yang diakui masyarakat mengenai 'karakteristik mahasiswa yang baik'.

Kebaikan Simulasi

Selain sebagai wahana belajar untuk lebih mengenali diri dan lingkungan sosial di sekitar kita, outbond training juga didesain untuk menyediakan pembelajaran berbentuk simulasi dan permainan-permainan psikologis.

Simulasi dapat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan setiap orang belajar dengan melibatkan seluruh pikiran -otak kanan dan otak kiri- serta semua indera pada tubuh kita.

Prinsip dari simulasi adalah kita belajar dari apa yang kita kerjakan secara langsung, dan dengan umpan balik yang relevan. Kita belajar cara mengelola sesuatu dengan mengelolanya, kita belajar bekerjasama dengan melakukan suatu proyek secara bersama-sama, ataupun kita belajar memimpin dan lebih peduli dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan hal tersebut dapat muncul secara nyata.

Pengalaman yang nyata dan konkret dapat menjadi guru yang jauh lebih baik daripada sesuatu yang hipotetis dan abstrak. Dengan menjamin bahwa pada simulasi tersedia peluang untuk terjun langsung dalam suatu kegiatan, mendapatkan umpan balik, merefleksikan dan melakukannya kembali.

Proses inilah yang disebut Janet Murray, peneliti senior MIT -Massachusetts Institute of Technology, sebagai memindahkan apa yang kita pelajari dalam dunia 'simulasi' menuju dunia 'nyata'. Simulasi memberikan pengaturan kembali segi-segi kognitif dan perubahan dalam kehidupan emosional kita, sebagai akibat dari keterlibatan emosi ketika kita melakukan simulasi. Berbekal desain yang tepat, simulasi dapat menjadi bagian dari pengalaman hidup kita dan membantu membentuk pandangan-dunia kita.

Dengan demikian, kegiatan outbond memungkinkan belajar bukan mengonsumsi informasi semata, tetapi juga berkreasi. Ketika mahasiswa baru memadukan pengetahuan dan keterampilan baru yang mereka dapat, ke dalam struktur diri dan stuktur tingkah laku mereka.

Melalui outbond training, dan diperkuat oleh rangkain kegiatan ospek lainnya, diperkenalkan berbagai hal yang akan membentuk karakteristik mahasiswa nantinya. Apakah kita, para mahasiswa, akan menjadi 'manusia kamar'-nya Albert Camus, yang hidup hanya untuk diri sendiri, atau menjadi senyawa terpenting dari kelompok 'creative minority'-nya Arnold Toynbee, yang hidup dan hakikat eksistensialnya terkait dengan kebaikan masyarakat.

Bagaimanapun, kita berharap bahwa ospek dapat menjadi wahana belajar terbaik yang akan ikut berperan dalam membentuk kualitas diri mahasiswa baru di masa depan.