Thursday, November 23, 2006

Inferiority Complex, Atau Bermental "Demang'?

Pro-kontra kedatangan aktor pencetus ‘war against terrorism’, George W. Bush, adalah produksi persuasif media massa. Kita dipaksa merespon perdebatan tersebut, hampir setiap hari, hingga kita terkadang merasa keletihan.

Semua orang berlomba untuk berpendapat, mengirimkan pesan-pesan publik agar masyarakat ikut berusaha menghayati perbandingan antara: penghormatan tamu negara dengan solidaritas muslim, dana penyambutan yang berlebihan dengan alokasi untuk kepentingan rakyat yang lebih mendesak, hingga potensi keuntungan dialog soft power dengan skeptisisme berdasarkan ketiadaan manfaat dari kunjungan 10 jam tersebut.

Dibalik pro-kontra ini, ada satu hal yang menarik untuk diperdebatkan lebih lanjut. Yakni, penyambutan yang berlebihan ini seringkali dikaitkan dengan mentalitas kita sebagai bangsa inferior.

Seremoni yang kabarnya menguras dana sekitar 6 miliar itu, seakan makin menegaskan posisi sub ordinat kita. ‘Hamba’ yang berjuang terlalu keras untuk menyambut, dan melayani ‘tuan’-nya.

Realitas ini turut melengkapi sikap ketidak-beranian pemerintah, yang selama ini kita pertanyakan. Mengapa kita enggan meminta re-negosiasi proyek-proyek milik Amerika yang berpotensi merugikan kita. Atau, mengapa kita terbiasa mengikuti agenda liberalisasi dan privatisasi, yang menghasilkan kesenjangan akut dalam perekonomian antar negara.

Benarkah bangsa kita menderita inferiority complex? Sejenis sindrom, dalam psikologi Adlerian, dimana kita selalu merasa memiliki kelemahan, putus asa dan tidak percaya diri. Termasuk belum benar-benar dapat melepaskan diri dari ‘mental terjajah’, serta sudah terbiasa dengan relasi tuan-hamba.

Apakah posisi kita yang tertinggal ini disebabkan oleh perasaan inferior itu, atau lebih karena tata dunia global yang terlanjur mendesain hubungan antara negara maju-negara dunia ketiga, dengan relasi hegemoni-sub ordinasi?

Untuk menyingkap pertanyaan ini, kita sepertinya belum memiliki penjelasan akademis yang dapat diandalkan. Bukan karena adaptasi inferiority complex dalam budaya suatu bangsa masih kontroversial, dan masih dianggap pseudo-science. Tapi juga, karena dampak kolonial terhadap kehidupan (masa depan) bangsa terjajah memerlukan pemetaan psikologis dan historis yang kompleks. Seperti yang dirintis kelompok Subaltern Studies, yang mengkaji atribut umum sub ordinasi masyarakat Asia Selatan dan keterkaitannya dengan narasi kolonialisme (Postcolonial Theory - A Critical Introduction, 1998:1).

Bermental ‘Demang’
Daripada kita mengambil kesimpulan yang simplisitis, lebih bijak bagi kita untuk menunggu penelitian-penelitian apokaliptik mengenai inferiority complex yang mungkin diderita bangsa kita. Dan karena kita sudah terbiasa hidup dalam dunia yang deterministik, maka kita pun memerlukan penjelasan lain untuk membenarkan kondisi ketertinggalan bangsa.

Salah satu hipotesis yang memadai, yang membuat bangsa kita terperosok dalam ketertinggalan, adalah keberadaan penguasa yang bermental ‘demang’. Kelompok penguasa (dan juga pemimpin) bermental ‘demang’ ini bisa muncul, dan berkembang dari mana saja.

Mereka bisa saja para pengambil kebijakan dan pejabat publik (dari pusat hingga daerah), yang menggunakan otoritasnya demi keuntungan pribadi. Sebagian besar politisi busuk, yang disebut peneliti CSIS J. Kristiadi, berasal dari partai ‘kartel’. Atau, oknum ilmuwan dan teknokrat yang sekedar menjadi spin doctor (sempalan superfisial) penguasa dari kebijakan-kebijakan yang menyesatkan.

Termasuk orang-orang, menurut mantan economic hit man Amerika John Perkins, yang menjadi bagian dari sekelompok kecil elite yang korup, dengan kekayaan berlimpah disekitar lautan kemiskinan masyarakatnya.

Eksistensi para ‘demang’ inilah yang membuat potensi (sosial dan ekonomi) Indonesia tidak berarti apa-apa. Untuk sementara, merekalah yang pantas untuk kita jadikan sumber kesalahan dalam carut-marutnya pengelolaan republik ini.

Dan, seperti yang kerap diutarakan banyak pakar yang optimistik: dengan kondisi yang mencemaskan saat ini, Indonesia tetap memiliki beragam resources yang memadai untuk bangkit kembali.

Meski, harus kita hayati secara pervasif, bahwa selagi masih ada pemimpin yang bermental ‘demang’, maka gagasan Indonesia Bangkit, dalam jangka waktu yang panjang, akan sekedar menjadi wishful thinking, sekedar impian suntuk kita belaka.

Wednesday, November 22, 2006

we will not die of darkness

Dalam sebuah kelas sekolah dasar di kawasan utara Jakarta,
Ibu guru bertanya kepada anak-anak,
'Siapa di antara kalian yang sudah sarapan hari ini?'
Kira-kira separuh dari mereka mengacungkan tangan.

Guru itu kemudian bertanya kepada anak-anak yang tidak mengacungkan tangan,
'Mengapa kalian tidak sarapan hari ini?'
Sebagian menjawab bahwa mereka sudah terlambat, jadi tidak sempat makan. Sebagian lagi mengatakan bahwa mereka belum merasa lapar. Ada pula yang mengatakan bahwa mereka tidak menyukai sarapan yang disajikan.

Semua memberikan jawaban-jawaban yang senada dengan diatas, kecuali satu anak.
'Karena,' jawabnya, 'sekarang bukan giliran saya'
'Bukan giliranmu?' tanya sang guru.
'Apa maksudmu?'
'Dalam keluarga kami ada lima orang anak,' ujar anak itu,
'Tapi ayah tidak cukup punya uang untuk membeli makanan supaya tiap orang
bisa sarapan setiap hari. Kami harus bergiliran untuk sarapan, dan hari ini
bukan giliran saya…'

Di masa, ketika tekanan dalam hidup semakin ketat, ketika kemenangan seringkali ditentukan oleh kekuatan, dan ketika menjadi orang-orang terlemah tidak lebih dari dosa yang tak tergantikan, dan mesti menghadapi gerbang kematian sendirian…

Adalah lebih mudah bagi kita, untuk hidup hanya bagi diri sendiri
Dibutuhkan keberanian untuk hidup dengan kepekaan…
'It is not more light that is needed in the world
It is more warmth
We will not die of darkness
But of cold'

Sunday, November 19, 2006

politisi aneh

Dimana-mana, politisi itu sama.
Mereka berjanji akan membangun jembatan, sekalipun tidak ada sungai disitu.

Thursday, November 16, 2006

sama seperti kematian

cinta,
sama seperti kematian,
mengubah segalanya

Sunday, November 12, 2006

the only choice is how

God ask no man whether he will accept live.

That is not the choice.

You must take it.

The only choice is how

sekecil apapun baranya...

Dan jika cinta memang ada diantara kita.
Aku tak akan pergi jauh darimu.
Hidup terus di hatimu.
Menghangatkanmu dalam kedinginan.
Menenangkanmu dalam kemarahan.
Membawa senyum dalam saat-saat sepi.
Aku tidak tidur : Aku tidak mati.
Akulah kekuatan bagimu.
Selalu ada Sekecil apapun baranya...

Untuk Gadis di luar sana,
Bandung, 110906

-Surat 7-

Dan Dia-lah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan Rahmat-Nya (hujan). Hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan.

Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati. Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.

Surat 7, ayat 57

All The Love In The World?


Tahun 2004 yang lalu, kita masih ingat dengan jelas, drama penyanderaan di sebuah sekolah dasar di Ossetia Utara, Russia. Drama akibat konflik berkepanjangan antara pejuang Chechnya dengan pemerintah Russia.

Aksi penyanderaan memang berhasil diatasi pasukan elite Russia, namun dengan menewaskan seratus lebih siswa sekolah dasar, dan melukai ratusan anak-anak lainnya.

Saat sekarang, di Irak, setiap bulan, sekitar 1000 manusia tewas, diantaranya anak-anak dan wanita dari warga sipil, yang dilindungi haknya dalam konvensi perang yang disepakati dunia.

Di Beit Hanoun, dan Beit Haniya, Israel menegaskan tidak akan menghentikan serangan sampai pejuang militan Palestina menghentikan serangan roketnya, meski menewaskan anak-anak dan warga sipil.

Kita semua tahu, bahwa sedalam apapun konflik kepentingan yang ada dalam perang, dan dari sudut pandang manapun, anak-anak memang tidak pantas untuk menerima kekerasan akibat dari peperangan tersebut.

Meski, kita juga tahu, dunia kita dibangun diatas puing-puing kekerasan dan peperangan.

the beginning


bandung, 13 november 2006, 00;17

it's the beginning, for me, to write, to express everything which comes from my mind.







I hope, it's give an enlightment for me, and for all of you


gracias. ciao